Tibet
Hari ini, dengan cuaca cerah di sebuah saung beratap jerami. Aroma kopi menyeruak, perlahan menelusup ke rongga hidungku. Kopi yang bijinya ditumbuk, murni tanpa tambahan apapun, termasuk butiran gula. Pahit memang, tapi kekuatan aroma dan kepekatan pahitnya itu yang membuatku tak bisa tak menyentuhnya walau sehari. Kuteguk ia perlahan. Lalu kualihkan kembali pandangan pada laptop yang berdenyar. Kelip-kelip hijau terlihat di lampu indikator modemku. UMTS. Kampung ini masih perawan, belum tersentuh sinyal yang lebih tinggi dari itu. Kuseret pointer menuju bookmark toolbar mail , klik, beberapa saat kemudian muncul list unread mail . Ada email baru dari nama yang kukenal. Belum sempat kubuka, aku terdiam lama membaca subjek email itu. *** Tujuh tahun lalu, setelah lima menit bel istirahat sekolah berbunyi. “Aku ingin ke Tibet!” Setengah berteriak, kalimat itu meluncur dari seseorang bersuara cempreng yang duduk di sampingku. Teriakan yang tidak lantas membu