Niagara Mini Jawa Barat: Curug Malela [Sebuah Catatan Perjalanan]
Apakah kamu penyuka traveling ke alam bebas? Senang melebur
dengan alam dan merasakan denyut nadi kehidupan asri, belum terjamah polusi?
Maka boleh jadi Curug Malela menjadi pilihan yang tepat buat dikunjungi.
Lokasinya di di Kampung Manglid, Desa Cicadas, Kecamatan Rongga, Kabupaten
Bandung Barat, berbatasan dengan Kabupaten Cianjur di barat laut Bandung. GPS
menunjukkan posisi koordinat S07*00’38.1″ E107*12’22.0″ di atas batu tempat
memandang keindahan curug itu.
Bagiku sendiri yang merupakan orang Gununghalu, berjarak
20KM dari lokasi, adalah mimpi untuk bisa mengunjungi niagara mini ini, pesona
keindahannya sering kujumpai di situs-situs para traveler yang rata-rata dari
luar Bandung. How come! Aku sendiri yang deket kesana belum pernah, tapi
akhirnya bisa terlaksana juga pada tanggal 20 Agustus 2012 sehari setelah
lebaran kemaren, bersama tiga orang teman semasa putih biru yaitu Rhadi, Rena
dan Ahsai kami mengunjungi tempat ini. Hei, ternyata diantara kami cuman aku
yang belum pernah kesana, buat Rhadi sama Rena ini kali kedua, buat Ahsai ini
kali keempat. Hahaha ciut juga aku. Tapi setidaknya aku senang jalan sama orang-orang
yang berpengalaman. Karena kabarnya track menuju ke sana tu lumayan berat. Kami
pun berangkat menggunakan kendaraan roda dua.
Dari kecamatan kami hanya terhalang oleh satu kecamatan
yaitu Bunijaya, selanjutnya kami memasuki kecamatan Rongga dengan pemandangan
yang luar biasa, kanan kiri jalan adalah pohon tinggi dan hamparan kebun teh, aku
pun tak ingin melewatkan pemandangan ini, langsung aku abadikan dengan kamera
hp aku yang hanya beresolusi 1.3 Mpxl.
Memasuki desa Cicadas, jalanan mulai tak bersahabat, batu
runcing dan tanah kering yang mengepulkan debu ketika ban sepeda motor
melindasnya menjadi pemandangan kami, kebetulan ini adalah musim kemarau dan entah berapa lama tidak
duguyur hujan. Di pintu gerbang ada penjaga yang mengasongi kami karcis
Rp.2000/motor, kabarnya kalo hari-hari biasa tidak ada karcis masuk, mungkin
karena ini momen lebaran dan pasti banyak pengunjung. Setelah memasuki gerbang
selamat datang ternyata kami harus menempuh jalan yang lebih parah sejauh
kurang lebih 3Km.
Beberapa kali kami mengaduh karena melewati jalanan berbatu dan
tidak ada pilihan lain kami tetap harus melewatinya. Aku yang belum
mengenal medan merasa persendian mau pada copot, namun sumringah tak bisa
kusembunyikan ketika melihat penunjuk arah bertuliskan Malela dan akhirnya
menyampaikan kami ke tempat parkir motor. Sepeda motor yang berjejer, ternyata
tempat ini menjadi salah satu pilihan masyarakat sekitar atau masyarakat luar
untuk mengisi liburan.
Ada warung makanan juga, mulai dari bakso hingga es kelapa.
Namun, belum terdengar suara air, ternyata kami harus berjalan kaki terlebih
dahulu sejauh 1 KM menuju lokasi. Kami pun meniti satu persatu tangga dan
jalanan menurun menuju kesana, si sebelah kanan kami ada lembah. Kami
benar-benar dimanjakan dengan keindahan ini. Subhanallah…
Gemuruh air pun mulai terdengar, namun ketika aku lihat
curugnya masih berada jauh di bawah sana. Kami pun membeli makanan untuk
sekedar ngemil disana. Dan melanjutkan perjalanan yang menurun nyaris 45
drajat, ga kebayang gimana tar naiknya, pas turun aja udah cape banget. Setelah
jalanan yang rata dan lebar, selanjutnya kami melewati sawah dan dinding
tebing. Sekedar saran kalo kesini jangan pas musim hujan karena jalanannya
licin dan berbahaya, banyak batu runcing di setapak ini. Namun perjalanan melelahkan
itu benar-benar terobati ketika sampai di lokasi. Rasanya ingin teriak-teriak,
guling-guling dan salto(lebay)… Hei, ini merupakan salah satu impianku.
Beberapa saat kami istirahat di sebuah batu besar sambil
mekan kwaci. Tiba-tiba aku nyeletuk “Makan kwaci itu biasa, tapi kalo makan
kwaci di depan Malela itu baru ga biasa.” Disambut dengan kalimat temanku,
“Update status, upadate status!” Aku merogoh handphone di saku dan melihat ke
layar “How come! Ga ada sinyal.” Setelah pindah posisi ternyata muncul satu dua
aku segera buka fb dan update status kalimat itu.hahaaa…
Di tengah-tengah sungai ada batu yang lumayan lebar, kami
duduk-duduk disana. Karena ini musim kemarau jadi airnya tidak terlalu banyak,
biasanya kalo lagi besar cipratan airnya bisa nyampe ke tempat kami duduk. Di
lokasi pun ramai, bahkan ada yang sengaja bawa alat masak untuk bikin liwet dan
botram disini. Serius banget ya?
Aku yang tidak puas dengan hanya berdiam disini mulai
beranjak mendekati curug dengan melompati satu persatu batu dengan ekstra
hati-hati karena takut terpeleset. Di depan curug mulailah bernarsis-narsis ria
dengan kamera digital atau kamera hp.
Banyak pengunjung yang berenang di bawah curug, ada pula
yang naik ke atas. Aku hanya melongo dan ngiler pengen naik juga. Dan tiba-tiba
kulihat dua temanku beneran memanjat tebing untuk sekedar foto-foto aku pun
mendekati tebing dan membaca situsi apakah bisa kupanjat dengan kondisi tebing
nyaris 90 derajat, licin dan tidak ada pegangan. Namun dengan kenekatanku entah
iri dengan kedua temanku yang bisa nyampe keatas (yaiyalah, mereka berdua kan cowok) akhirnya aku berhasil naik
sekalipun sempat dicegah oleh kedua temanku itu tapi akhirnya aku nyampe atas
dan ditawari untuk berfoto dan bergantian memotret. Kulihat ke sekeliling,
rasanya dadaku kembung oleh keindahan yang tak terkatakan sekaligus kepuasan
pada diri sendiri karena berhasil menaklukan ketakutan diri sendiri. Aku pun
teringat kata-kata bapakku di telpon, Hati-hati! Maka aku pun tidak ingin tamat
riwayat disini sebagai seorang perempuan yang sok jago naik ke atas, nyiar-nyiar
picilakaeun.
Ketika itu pula, seketika akupun teringat kalimat ibuku, "Tong kaleuleuwihi!". Jangan berlebihan, maka akupun berujar pada diri sendiri "Enough!" saatnya turun.
Sebelum turun maka aku pun berpuas-puas teriak
dengan suara yang kalah keras dengan suara air.
Kamipun turun, dan setelah
turun dengan susah payah (aku) :D ada beberapa remaja yang ikutan naik juga
namun dilarang oleh penjaga, ternyata pas kami di atas pak penjaga yang
berseragam hansip itu berteriak-teriak ke arah kami menyuruh turun namun kami
anteng berfoto. Menyadari hal itu kami hanya tertawa kecil.
Alhamdulillah kami turun dengan selamat dan menghampiri Rena, seorang temanku yang hanya duduk di batu besar di bawah sana.
Di sebuah batu besar tepat di depan curug, aku duduk dan
memandang niagara mini yang airnya lagi surut ini, merangkai kata yang disimpan
dalam hati, mulai merenung dan mengangguk seolah faham. Lhaa… rugi banget kalo
kita kesini jauh-jauh cuman buat senang-senang ga ada hikmah yang bisa diambil.
Dari artikel yang kubaca juga, konon nama Malela sendiri
berasal dari nama tokoh masyarakat sekitar, yaitu Prabu Taji Malela. Makam
tokoh ini bisa ditemui di atas tebing sebelah kanan curug. Tebing yang konon
usia bebatuannya berkisar 5 hingga 10 juta tahun ini, terbentuk akibat letusan
Gunung Api Purba yang dulu banyak terdapat di selatan Bandung. Waaaw… hal ini
sudah kukira karena dilihat dari batuannya kayanya batu purba.
Nah, buat kamu yang berminat mengunjungi tempat ini ada
beberapa hal yang harus diperhatikan! Pastikan kendaraanmu ga
bermasalah soalnya tracknya lumayan berat. Bawa bekal dari rumah dan
jangan meninggalkan sampah. Come on… ini penting demi menciptakan habitat yang
baik buat para penghuni tetap Curug Malela ini. Hati-hati! Senada dengan
pesan bapak aku :D dan jangan berlebihan sesuai nasihat ibuku. Kalo airnya lagi dikit juga
harus tetep hati-hati soalnya pernah kejadian pas airnya dikit tiba-tiba banjir
bandang dan ada beberapa orang yang hanyut. Hal ini aku ketahui setelah pulang
dari sana :’(
Setelah puas kami pun melangkah pulang dengan berbagai
kesan. Terbayang track di depan sana tak mudah, jalanan menanjak dan berbatu
harus kami lalui kembali, namun tentu saja, semua itu terbayar.
Akhirnya aku pun teringat kalimat Daniel Mahendra di bukunya
Perjalanan ke Atap Dunia, “Ketika keinginan telah tercapai dan kita telah
berada disana, semua menjadi selesai dan berhenti seketika. Terkadang proses
untuk mencapai sesuatu acap kali jauh lebih bermakna ketimbang tujuan itu
sendiri.” Aku pun sampai pada perasaan itu dan memahami kenapa banyak
orang yang bilang “Yang penting proses! Proses man, proses!”
Demikian…
11:24 AM
3 September 2012
@Violet79
Subhanallah...bagus banget, air terjunnya Niagara versi Indonesia punya...berharap suatu hari nanti bisa ke sana..
ReplyDeleteini airnya lagi surut, kalo lagi banyak tu mirip niagara banget. Aamiin...mari mari berkunjung ^^
DeleteEhem...ehem... *Check sound*
ReplyDeleteSetelah diskusi kemarin, aku buka blog-mu. Semakin tidak karuan jadinya..haha
jiaaahhh.... konflik batin yang semoga segera mereda dan berhasil menemukan kalimat "Ahaaa ini yang aku cari!" ^^
Deletemedannya jelek yah disana setau saya ukhti, bisa juga pake ojeg
ReplyDeleteiya lumayan lah, liat aja di atas ada beberapa fotonya. Kalo ojeg, ya bergelimpangan juga mencari mangsa..tapi siap2 merogoh kocek agak dalam :D
Delete