Dengarkan Aku!

Aku kerap melihat ia tertegun lama setiap kali terjaga dari tidurnya, lantas kemudian caci maki mulai meluncur dari bibirnya, ia memaki dirinya sendiri. “How come… mengapa lagi-lagi?” Biar kutebak, ia pasti habis bermimpi sosok yang sama, sosok yang bisa jadi mendominasi hari-harinya entah sekian abad atau milenia. Itulah yang sering ia lakukan, semacam ritual dalam ritme hidupnya. Terkadang aku lihat juga ia kepalkan tangannya dan meninju bantal atau kasur tipisnya, untungnya tak pernah ia layangkan tinjunya padaku, karena rasanya pasti akan sakit.
Tapi kurasa kali ini ia lebih baik, bukan seperti dulu, beberapa tahun yang lalu, hal tersebut ia lakukan dengan bersimbah air mata. Bahkan ketika ia kehabisan energi untuk terisak sekalipun, lelehan itu tetap meluncur mantap di kedua pipinya. Kali ini mungkin ia lelah menangis.
Ahhh bukankah sudah aku nasehati ia berulangkali, “Kau pasti lelah, ketika kau banyak berharap kepada selain Sang Penggenggam Kehidupan.” Tapi entahlah ia mendengarkanku atau tidak. Aku tahu dia berbeda denganku yang dengan setia mendengarkan celotehannya siang malam seraya dia senderkan kepalanya padaku.

Aku tak habis pikir, kenapa seringkali ia menghabiskan waktunya untuk menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong atau membuka-buka folder di laptopnya dengan wajah nanar. Semangat hidup yang redup, gairah yang lesu, hari-harinya semakin monokrom saja. Padahal, aku tau persis, dulu bahkan masih berlangsung hingga sekarang, ia selalu menyempatkan diri untuk membaca kisah-kisah hebat, petualangan-petualangan penuh tantangan serta kata-kata arif nan bijak tentang saripati kehidupan. Tapi ia tak kunjung berkaca, tak kunjung belajar dari bacaan-bacaannya. Aku benar-benar tak habis pikir.
Dia kecewa, aku tahu. Aku sungguh tahu. Ini bukan kali pertama ia dikecewakan, oleh orang yang sama barangkali. Tetapi aku pun amat tahu, selalu ada seribu maaf di kantung hatinya, sekalipun yaa..memaafkan bukan berarti tidak ada kecewa yang tersisa, bukan berarti tidak ada kesedihan yang menjalari hatinya.
“Hei… ada banyak orang yang merasa sedih di dunia ini, kau tak sendiri!!!” Aku teriaki ia sekali waktu ketika ia mulai menghembuskan nafas jengah dengan berbagai keluhan dan perasaan “sendiri”.
“Dengar…dengar...dengar...dengar… kau tahu kan ada banyak kisah tentang kesediahan yang kau jumpai, sedih bukan berarti tidak menerima takdir-Nya, sedih juga bukan berarti kau tak mampu melanjutkan hidup. Kau dengar?” Ahhh pada akhirnya aku hanya mampu menelan ludah, bagaimana mungkin ia mampu mendengar teriakanku yang hanyalah sebuah tembok, bukan..aku bukan tembok ratapan di Jarusalem sana aku hanyalah tembok di kamarnya yang berukuran 3X4 ini.

00:35
24 / 07 / 2012
Warung Kopi 24 Jam @Violet79

Comments

Popular posts from this blog

Yang Terbaik Bagimu* (Puisi untuk Ayah)

Hanya Isyarat [Rectoverso]

5 Upaya agar Bisa Konsisten Ngeblog

Menulis sebagai Passion, Pekerjaan atau Hobi?

Dapet Kerjaan Gara-gara Ngeblog

Tamasya Ingatan (Sebuah Surat untuk Fathia Mohaddisa)