Tibet

Hari ini, dengan cuaca cerah di sebuah saung beratap jerami.
Aroma kopi menyeruak, perlahan menelusup ke rongga hidungku. Kopi yang bijinya ditumbuk, murni tanpa tambahan apapun, termasuk butiran gula. Pahit memang, tapi kekuatan aroma dan kepekatan pahitnya itu yang membuatku tak bisa tak menyentuhnya walau sehari. Kuteguk ia perlahan. Lalu kualihkan kembali pandangan pada laptop yang berdenyar. Kelip-kelip hijau terlihat di lampu indikator modemku. UMTS. Kampung ini masih perawan, belum tersentuh sinyal yang lebih tinggi dari itu. Kuseret pointer menuju bookmark toolbar mail, klik, beberapa saat kemudian muncul list unread mail. Ada email baru dari nama yang kukenal. Belum sempat kubuka, aku terdiam lama membaca subjek email itu.
***

Tujuh tahun lalu, setelah lima menit bel istirahat sekolah berbunyi.
“Aku ingin ke Tibet!” Setengah berteriak, kalimat itu meluncur dari seseorang bersuara cempreng yang duduk di sampingku. Teriakan yang tidak lantas membuat orang sekitar menoleh atau melemparkan pulpen padanya seperti di film-film, sekalipun sama, ini perpustakaan.
Aku menoleh padanya sesaat. “Makin gila aja ni anak.” Bagaimana tidak kubilang gila, kemaren dia bilang ingin ke Bukit Tinggi gara-gara baca cerita yang berlatar di kota itu. Kemarin-kemarinnya lagi ia ingin berpetualang gara-gara baca Tom Sowyer nya Mark Twin. Tapi akulah yang lebih gila, karena masih saja mau mendengarkan racauannya.
“Pokonya aku bakalan ke Tibet Dam! Tibet! Macam Tintin di cerita ini.” Ujarnya kemudian seraya memperlihatkan buku yang sedang dibacanya. Tintin di Tibet.*
Kenapa pula buku itu harus nyelip di antara sekian rak di perpustakaan ini yang didominasi oleh buku teks? Perpustakaan yang tak ada larangan ngobrol disini, riuhnya tak kalah dengan kantin di belakang sekolah. Perpustakaan yang merangkap sebagai tempat diskusi anak-anak organisasi di eskul, tempat belajar kelompok hingga tempat curhat yang paling nyaman karena didesain untuk lesehan. Lebih tepatnya karena tak tersedia meja atau kursi disini. Perpustakaan di sebuah sekolah di ujung kabupaten Bandung.
“Caranya?”

“Aku akan menabung.” Ujarnya mantap.
Esok lusa, kutemukan selonjor bambu menggantung di kamarnya, dengan lubang sebesar uang logam di atasnya. Kau tahu, suhunya yang lembab membuat kau hanya bisa menyimpan uang logam ke dalamnya. Coba saja kau masukan selembar uang kertas ke dalamnya, ketika kau membukanya uang kertas itu telah berjamur. Jadi hanya uang logam dengan nilai seribu yang paling besarnya.
***

Lima tahun yang lalu, ketika telepon genggam masih barang mewah.
“Kau betah sekali tinggal di kampung halaman kita.” Ujarnya dengan terkekeh di ujung pesawat telepon sana.
“Aku memang teramat cinta pada tempat ini. Aku yakin kampung kita tak kalah indah dengan Tibet.”
“Oiya, feelingku berkata, tahun depan aku ke Tibet.”
“Bah, kau bahkan bilang gitu, setahun, dua tahun, tiga tahun lalu.”
“Ya, kalo tidak tahun ini mungkin tahun depan, atau tahun depannya lagi. Setelah omset penjualanku cukup untuk menambah tabungan kesana.” Tambahnya sambil kembali terkekeh.
Dia memang seorang enterpreneur sejati. Pertama kali aku mengenalnya, tak pernah aku tahu bahwa aneka gorengan yang laris manis setiap istirahat di kantin Bu Teti itu adalah bikinan ibunya. Aku mengetahuinya seteleh tiga tahun mengenalnya, mengenal kebiasaannya yang selalu tiba paling pagi di sekolah untuk mengantarkan gorengan, lantas pulang sekolah tak pernah keluyuran kemana-mana tetapi menjinjing dua keresek penuh bahan baku masakan di kanan kiri tangannya yang ia beli dari sebuah grosir dekat sekolah.
Dia tak pernah cerita. Gengsi mungkin. Hal yang wajar kukira untuk seusia anak SMP. Namun hari ini bisnisnya itu terus berlanjut, meski bukan lagi ibunya yang membuat, tetapi pemilik kost tempat ia tinggal selama ia mengenyam pendidikan di sebuah sekolah ternama di tengah kota Bandung
“Enterpreneur itu bukan cuman punya kemampuan membuat produk, namun juga memasarkan produk. Marketing man!” aku hanya mengangguk tanda setuju. Entah dari mana ia dapatkan kalimat itu.
***

Dua tahun lalu, aku lupa musim apa saat itu.
Yang aku ingat kepulangannya dari kota ke kampung kami, maka di hari itu ia mengunjungi rumahku membawa atlas besar. Ini kegilaan ke sekian dan ke sekiannya lagi selama kami berteman akrab.
Atlas itu dilengkapi keterangan tempat dan budaya serta kekhasan tempat tersebut.
“Air terjun ini, berapa tingginya? Aku lihat tak lebih tinggi dari Curug Malela.”
“Niagara! Aku tak tahu pasti berapa tingginya, tapi untuk melihatnya kau perlu melintasi ratusan negara dari sini pakai pesawat.”
“Ah, ngapain jauh-jauh? Hanya 50KM dari sini ada kopiannya.”
“Jelas beda, butuh perjuangan lebih untuk mencapainya.”
“Lalu mengenai Tibetmu? Kau batalkan dan menggantinya dengan pergi kesini.”
“Oh tentu tidak, aku akan mengunjungi keduanya.”
Aku menarik bibirku ke sebelah kanan saja. Senyum tak seimbang. Mana mungkin? Aku tahu, untuk hidup saja ia perlu menjajakan gorengannya. Apa pula dengan khayalan-khayalan itu.
***

Hari ini, ketika hanya ampas yang tersisa di gelasku.
Aku di Tibet. Itulah subjek emailnya padaku, kulihat di sampingnya, email delapan jam yang lalu. Ku klik dengan jemari bergetar. Muncullah fotonya memakai pakaian tebal dan sarung tangan dengan selonjor bambu di tangan kanan dan satu bakwan di tangan kiri. Dua benda yang paling akrab dengannya. Latar belakangnnya tenda-tenda bertebaran seperti jamur, dan sebuah plang Everest Base Camp 5.200mdpl. Dia menulis:

“Adam, kau mengenal dua benda ini? Mereka mengantarkan aku ke Tibet Dam.”
Nb: Kau pasti tahu tabunganku tak sebanyak itu hingga menyampaikan aku ke atap dunia. Seminggu yang lalu aku tiba di China untuk mengikuti students exchange.

Aku mengambil gelas di hadapanku, hendak kuseruput, namun gumpalan hitam itu bergerak perlahan mendekati ujung bibirku.


*Kalimat ini terinspirasi dari catatan perjalanan Daniel Mahendra berjudul Perjalanan ke Atap Dunia

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

REVIEW: Bulan Merah (Kisah Para Pembawa Pesan Rahasia)

SELEMBAR KERTAS

Mengalahkan Diri Sendiri