wahai waktu, tolong bawakan aku pada masa ketika aku belum mengingat apapun, namun akan kutemukan dia mendekatkan wajahnya di telingaku dan merapalkan bait-bait doa untukku. wahai waktu, tolong bawakan aku pada masa kecilku ketika aku masih bisa mendapati wajahnya di depan tungku kemudian memasakan kami sarapan ketika mama sedang tidak enak badan. Jujur saja, masakannya lebih enak dari masakan mama, pernah sekali waktu aku ungkapkan ini pada mama dan mama mengiyakan. wahai waktu, tolong bawa aku pada masa kanakku ketika aku lupa dengan sebuah surat di ujung juz amma, atau ketika aku hanya berhasil menghafal sebuah ayat ketika orang lain mampu membacanya bahkan sambil berlalri, dia hanya berujar bahwa kelak aku mampu menghafalnya. wahai waktu, tolong bawa aku pada masa remajaku ketika aku marah dan membanting pintu ketika ia memintaku melakukan sesuatu, lantas aku menangis di balik pintu kamarku dan meneteskan air mata dengan segenap perasaan benci, kenapa harus aku?
Aku mulai berkisah, tentang satu sahabatku yang lahir di negeri orang, lalu menjalani kehidupan keluarga imigran yang sederhana. Setiap kali ibunya hendak menghidangkan daging ayam sebagai lauk, ibunya pergi ke pasar untuk membeli bagian punggungnya saja. Hanya itu yang mampu ibunya beli. Sahabatku pun beranjak besar tanpa tahu bahwa ayam memiliki bagian lain selain punggung. Ia tidak tahu ada paha, dada, atau sayap. Punggung menjadi satu-satunya definisi yang ia punya tentang ayam. Aku meghela napas. Kisah ini terasa semakin berat membebani lidah. Aku sampai di bagian bahwa aku telah jatuh cinta. Namun orang itu hanya mampu kugapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang cuma sanggup kuhayati bayangannya dan tak akan pernah kumiliki keutuhannya. Seseorang yang hadir sekelebat bagai bintang jatuh yang lenyap keluar dari bingkai mata sebelum tangan ini sanggup mengejar. Seseorang yang hanya bisa kukirimi isyarat sehalus udara, langit, awan, atau hujan. Seseorang yang selamanya haru
“ Creativity without discipline will struggle, creativity with discipline will succeed. ” ― Amit Kalantri, Wealth of Words Membuat postingan di blog, terlebih membuat postingan yang bagus, bukanlah perkara mudah. Seorang blogger harus bisa menangkap ide lalu menuangkannya ke dalam bentuk tulisan yang menarik. Tak selesai sampai di sana, sebelum di-posting, tulisan harus melewati proses editing, khawatir ada typo atau ada informasi yang keliru. Seorang blogger juga harus mencari gambar yang pas dengan isi tulisan. Dan yang lebih sulit dari itu semua adalah mengupayakan agar bisa konsisten ngeblog. Setidaknya itulah yang saya rasakan sependek pengalaman saya sebagai blogger. Dari segala tantangan yang dihadapi tentu ada banyak upaya yang bisa kita lakukan agar bisa terus konsisten ngeblog. Dan inilah 5 hal yang selalu saya coba agar bisa terus ngeblog: 1. Bergabung dalam Komunitas Blogger Ada banyak komunitas blogger yang bisa ditemukan di sosial media. Saat in
Get comfortable being uncomfortable. That's how you break the plateau and rich that next level. - Chalene Johnson Suatu hari, saya sempat melihat status blogger ternama meminta alamat blog untuk dikunjungi. Tapi beliau mensyaratkan blog yang sudah TLD. Karena dengan begitu katanya bisa dilihat keseriusannya dalam ngeblog. Saat berbincang dengan Icha Planifolia lewat telepon, kami berbincang banyak tentang blogging. Begitu juga dengan masalah TLD ini. Saya mengeluh bahwa saya sempet minder karena blog belum TLD. Kesimpulan simpel saya, TLD itu blog dengan belakangnya .com bukan blogspot atau wordpress seperti milik kami. Kami memang sama-sama sempet pengen migrasi ke .com, tapi untuk beberapa pertimbangan kami sama-sama mengurungkan niat. Ketakutan kami hanya satu, kalau lupa memperpanjang, halaman blog akan menghilang. Ini juga yang jadi pertanyaan saya selama ini. Kalau lupa perpanjang apakah bisa otomatis dikembalikan ke blogspot? Apakah posting
Bagi penganut minimalist lifestyle, get rid of things adalah hal yang esensial. Bahkan dalam buku Marie Kondo berjudul The Life-Changing Magic of Tidying Up yang membahas tentang seni beres-beres dan merapikan ala Jepang, membuang barang adalah pintu pertama yang harus dilalui seseorang jika ingin membuat rumah terlihat rapi. Metode yang terdapat dalam buku ini pun menjamin orang yang melakukannya tidak akan kembali membuat rumah berantakan. Saya pikir, ini adalah sebuah ide yang masuk akal. Bayangkan ketika di dalam suatu ruangan terdapat kasur dan lemari saja, tentu ruangan tersebut akan terlihat lebih lengang dan rapi. Beda halnya ketika dipenuhi rak, baju menggantung di sana sini, barang-barang berserakan. Sekalipun disusun serapi mungkin, kesan berantakan dan sesak akan terlihat. Barangkali itu pula alasan sebagian besar orang minimalist begitu fanatik dengan warna tertentu misalnya warna netral (hitam, putih abu), tujuannya ya meminimalisisr kesemrawutan. Tapi, y
Untuk Fathia Mohaddisa Hari ini aku menuliskan sebuah surat singkat untukmu. Sengaja kutulis di sini. Hey, apakah aku latah dengan kebiasaan orang-orang yang menulis surat terbuka? Sebenarnya aku mau bilang tidak. Tetapi bukankah setiap tulisan yang dipubikasikan adalah sebuah surat terbuka. Sekalipun secara bentuknya bisa berupa puisi, novel atau artikel. Kali ini, biarkanlah tulisan yang kusebut surat singkat ini hanya semacam tamasya ingatan pada masa-masa yang telah terlewat. Terlebih ini adalah hari yang istimewa. Hari ini, Fath, 3 september 2014, kamu resmi menjadi ibu. Bagiamana rasanya menjadi ibu? Bagaimana rasanya setelah mengandung sembilan bulan? Sesakit apa rasanya melahirkan? Aku ingin membredelimu dengan pertanyaan-pertanyaan macam begitu. Pertanyaan yang tidak butuh jawaban sebenarnya. Karena paling jawabanmu, "Nanti juga kamu ngerasain sendiri." Ah rasanya baru kemarin, kita sekamar berdua. Sibuk mengerjakan skripsi. Sarapan bubur tiap pagi.
Comments
Post a Comment