Seperti Apa Pasangan Idamanmu?
Jika pertanyaan ini
dilontarkan saat usia saya masih remaja, tentu jawabannya akan berderet seperti
list belanjaan bulanan. Semua kualifikasi dari mulai fisik, materi, filosofi, idealisme,
kultur dan berbagai tuntutan tidak tahu diri lainnya.
Beranjak dewasa, tepatnya
setelah lulus kuliah, saya mulai agak sadar bahwa saya tidak akan mendapatkan
semua hal yang saya inginkan. Bukannya saya tidak menemukan orang dengan
kualifikasi idaman. Tetapi kesadaran saya tentang diri sendiri mulai terbangun.
Memandang sosok idaman itu seperti halnya memandang matahari, jangankan punya
keinginan untuk mengejarnya, bahkan mata saya tak sanggup menantang sorotan
cahayanya.
Akhirnya saya mulai merangkum
dua hal dari kriteria pasangan idaman. Cukup dua hal saja saya pikir tidak akan
sulit mencarinya. Pertama, penyuka seni. Kedua, humoris. Apakah ini terdengar
muluk-muluk?
Alasan saya suka dengan
lelaki penyuka seni, bukan karena seniman yang identik dengan anti kemapanan,
rokok dan kopi itu menarik tapi lebih karena saya ingin punya pasangan yang
memiliki pemikiran terbuka (open minded). Harapannya, dia tidak akan
ngomel-ngomel ketika saya menua dan masih tergila-gila dengan buku atau
hobi-hobi konyol lainnya. Kedua, humoris, karena semakin tua, saya semakin
butuh banyak tertawa.
Saat ini, di usia menjelang
27 tahun, sekitar sebulan menuju pernikahan (Insyaallah) apakah saya menemukan
orang ideal semacam yang saya rumuskan? Jawabannya ya saya menemukan lelaki
ideal. Dan tidak, saya tidak menemukan lelaki dengan kualifikasi yang saya sebutkan.
Bagi saya pada akhirnya, menikah
itu menemukan orang yang dengannya saya merasa cukup sehingga tidak butuh lagi
orang kedua atau ketiga, merasa cukup sehingga tak keberatan menerima
kekurangan dan kelebihannya, merasa cukup dengan dirinya sehingga bahkan saya bersedia
melepaskan keinginan-keinginan pribadi, melepaskan ego diri sendiri. Selain itu
saat usia mulai menua, saat tidak lagi bisa merasakan seks yang hebat. Yang saya
butuhkan hanya teman bicara meski tanpa kata-kata. Dan orang semacam itu, tentu
tidak didapatkan dengan mudah di emperan jalan.*
Jadi, jika hari ini saya
ditanya tentang pasangan idaman, saya memilih dia karena bersamanya saya merasa
cukup pun dia merasa cukup dengan saya. Jika kami tak pernah kehabisan obrolan sepanjang 12 tahun perkenalan
kami, saya yakin kami bisa melewati sepuluh, dua puluh, tiga puluh tahun
setelah ini. Semoga.
* Menuliskan ini sambil mengenang tulisan Dewi Kharisma Michellia tentang Rekan Bicara yang entah mengapa begitu melekat di pikiran saya.
wuw, catatan yang bagus. btw, next motnh nikah? yay! selamat menempuh hidup baru Fir!
ReplyDeleteMohon doanya ya Mbak :)
Delete