Seni Membuang Barang [Edisi Pakaian]



Bagi penganut minimalist lifestyle, get rid of things adalah hal yang esensial. Bahkan dalam buku Marie Kondo berjudul The Life-Changing Magic of Tidying Up yang membahas tentang seni beres-beres dan merapikan ala Jepang, membuang barang adalah pintu pertama yang harus dilalui seseorang jika ingin membuat rumah terlihat rapi. Metode yang terdapat dalam buku ini pun menjamin orang yang melakukannya tidak akan kembali membuat rumah berantakan.

Saya pikir, ini adalah sebuah ide yang masuk akal. Bayangkan ketika di dalam suatu ruangan terdapat kasur dan lemari saja, tentu ruangan tersebut akan terlihat lebih lengang dan rapi. Beda halnya ketika dipenuhi rak, baju menggantung di sana sini, barang-barang berserakan. Sekalipun disusun serapi mungkin, kesan berantakan dan sesak akan terlihat. Barangkali itu pula alasan sebagian besar orang minimalist begitu fanatik dengan warna tertentu misalnya warna netral (hitam, putih abu), tujuannya ya meminimalisisr kesemrawutan.

Tapi, yang saya tangkap dari gaya hidup yang satu ini bukan tentang rapi atau berantakannya saja. Seperti yang selalu saya singgung dalam tulisan sebelumnya, bahwa minimalist ataupun maxsimalist adalah sebuah pilihan. Kita bebas memilih yang mana saja selama bisa membuat bahagia. Bagi para penganut minimalist, memiliki sedikit barang adalah pilihan yang membahagiakan. Bukan hanya karena agar terlihat rapi dan terhindar dari sifat konsumtif,  tetapi memastikan juga bahwa kita hanya dikelilingi benda yang bisa membuat bahagia saat memilikinya. Jika kita hanya menyimpan benda untuk alasan-alasan semacam “hanya ingin saja” atau pemberian seseorang dan nggak enak kalau membuangnya lebih baik direlakan saja.

Pada awalnya, saya merasa kesulitan jika harus membuang sesuatu. Tetapi saat membaca buku Marie Kondo, ada teknik tertentu yang bisa dilakukan. Salah satunya adalah berbenah berdasarkan kategori. Kita bisa memulai dari pakaian, lalu buku, kertas, pernak-pernik dan terakhir benda sentimental (penuh kenang-kenangan). Jika memulainya dengan urutan seperti ini, berbenah akan terasa lebih mudah. Itu pula yang saya rasakan. Sejauh ini, saya baru mencoba menyortir pakaian. Mungkin selanjutnya saya akan bercerita lagi di sini kalau sudah mencoba membereskan yang lainnya sesuai dengan urutan yang dianjurkan.

Saat ini saya hanya tinggal berdua dengan suami. Saya membandingkan jumlah pakaian kami. Pakaian dia hanya memenuhi seperempat lemari dan ternyata hidup dia baik-baik saja. Mungkin karena umumnya lelaki seperti itu. Saya pun mulai meminimalisir pakaian (sekalipun tidak mungkin akan seminim yang dimiliki suami), setidaknya saya harus memastikan bahwa saya hanya menyimpan pakaian yang memang nyaman dan akan sering saya pakai. Sisanya lebih baik saya relakan untuk alasan-alasan seperti berikut:

1. Kekecilan
Ada satu pakaian yang warna dan bahannya saya suka, tapi beberapa bulan terakhir berat badan saya meningkat drastis dari 45kg menjadi 55kg. Saya pikir saya sudah tidak punya kesempatan untuk memakai baju itu lagi karena saya nggak punya rencana buat menurunkan berat badan. Saya menghilangkan pikiran bahwa suatu saat nanti badan saya akan kembali kurus. Saya merasa suatu saat seperti itu kemungkinan kecil datang lagi. Yang pasti saat ini, pakaian itu tidak muat. Dan saya tidak keberatan merelakannya. Di luar sana saya yakin ada orang-orang yang lebih membutuhkannya.

2. Nggak nyaman
Ada beberapa alasan mengapa saya merasa nggak  nyaman. Misalnya, karena warnanya ngejreng atau bahannya nggak menyerap keringat. Jadi, pakaian tersebut jarang saya pakai dan hanya memenuhi lemari tanpa pernah bergeser dari tempatnya.

3. Ada perasaan tidak percaya diri saat memakianya
Oya, setelah menikah, saya berazam untuk memakai rok atau dress sebagai pakaian luar. Kecuali hanya untuk daleman, tentu saya akan memakai legging atau celana panjang. Otomatis, saya menyortir sebagian besar celana panjang dan hanya menyisakan beberapa. Saya merasa tidak percaya diri jika harus memakai celana panjang karena saat memakainya saya merasa  menjadi orang lain yang tidak saya kenal. Saya hanya akan menyimpan dan memakai pakaian yang “gue banget” ceritanya.



Saya mengumpulkan pakaian yang masuk dalam tiga kategori tersebut dan mengirimnya ke rumah orangtua. Mengirim barang ke rumah orangtua adalah salah satu hal yang dilarang dalam buku Marie Kondo jika tujuannya hanya untuk numpang nyimpen. Tetapi kali ini saya berpesan pada ibu saya untuk memberikan pakaian yang masih layak pakai pada orang-orang membutuhkan yang tinggal di sekitar rumah. Setidaknya, ada dua kebahagiaan yang saya dapatkan. Pertama,  lemari saya hanya diisi pakaian yang saya suka. Kedua, ada orang lain yang bisa mendapatkan manfaat dari pakaian yang saya relakan. 

Comments

  1. Nice share mbak.. saya kemaren nyoba bebersih lemari juga karna pengen nyobain si minimalist lifestyle.. dapet dua bungkus plastik gede buat dikasihin ke sodara dengan alasan udh kekecilan dan lain sebagainya, tapi rasa rasanya lemari nya masih tetep penuh.. mungkin harus bebersih ulang dan harus lebih 'ikhlas' ngelepas baju baju yang gak mungkin di pake lagi meskipun kenangan nya banyak kali ya ��

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau untuk baju, saya nggak masalah sih karena baju yang saya miliki terbilang sedikit dibandingkan umumnya perempuan. Tapi saya punya masalah pas nyortir buku, sampai saat ini belum beres-beres karena saya nimbun buku dari zaman kuliah. Rasanya sedih kalau harus melepas mereka sekalipun udah nggak akan kepake lagi huhu masih nyiapin mental buat ngebuang.

      Delete
  2. Duhh.. beberes ini memang susah banget, saya rasakan sendiri susahnya, trus coba tegas memindah-tangan-kan pakaian-pakaian tersebut ke orang lain, tetep happy ajah.. suka kehalang sama yang namanya "nanti kalau saya mau pakai bagaimana?" dududu..

    Jadi pengen baca bukunya Marie Kondo juga.. Kali bisa jadi lebih tegas buat beberes. ^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya kayanya harus baca mbak. Di buku ini ada tips bagaimana agar kita nggak terikat dengan barang peninggalan masa lalu, ataupun yang mungkin dibutuhin di masa yang akan datang (sekalipun bisa jadi nggak butuh, kalaupun kejadian, ada tips cara mengatasinya), tapi fokus pada apa yang kita butuhkan sekarang.

      Delete
  3. Aku termasuk yg minimalist. Paling ga suka kalo liat rumah berantakan, penuh dengan barang2 ga kepake. Pasti mba lgs aku buang dengan senang hati.. Cuma kdg aku dpt tentangan dr babysitterku wkwkwkwk... Pernah tuh aku udh masukin kardua brg2 yg mau diksh ke tukang loak, eh dia lgs sisihin bbrp mainan anak, dengan alasan "aduh ibuuuu, ini mainan jgn dibuang. Fylly msh suka main dgn ini. Kasian bu kalo dia cari2 mainannya g ada". Fylly itu anakku, dan sepertinya sih aku ga prnh liat jg anakku msh mainin brg yg aku buang td :p.

    Tp kalo utk pakaian, ga ada cerita deh itu. Prinsipku pokoknya, aku beli 1 brg, aku hrs buang 1 brg supaya ada tempat :p.

    Ga pgn jg kan ngundang tikus kalo rumah numpuk ama brg2 yg ntah apa gunanya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Keren, Mbak... saya juga pernah denger ada orang yang beli satu keluar satu. Ada juga yang cuman punya beberapa setel baju dengan warna yang cuman hitam-putih-abu doang saking minimalisnya :D

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Yang Terbaik Bagimu* (Puisi untuk Ayah)

Hanya Isyarat [Rectoverso]

5 Upaya agar Bisa Konsisten Ngeblog

Dapet Kerjaan Gara-gara Ngeblog

Tamasya Ingatan (Sebuah Surat untuk Fathia Mohaddisa)