Menulis dengan Cinta [Review Gathering Komunitas Taraje dan FTBM]
Membaca buku, membaca kehidupan.
Menulis buku menulis kehidupan. Itulah kalimat yang selalu saya cantumkan
ketika ditanya motto hidup, membaca dan
menulis dua hal yang saling melengkapi. Hal ini juga menjadi tema yang pas ketika
bertemunya Komunitas Taraje dan Forum Taman Bacaan Masyarakat kemarin (11/11)
di Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Melati Jln.Panyawangan No.8 Panghegar Permai.
Topik yang menjadi bahasan pertama
adalah perkenalan mengenai visi dan misi kedua belah pihak, mengenai TBM
disampaikan langsung oleh Heni Rohaeni yang akrab dipanggil Bunda Heni secara
gamblang tentang apa itu TBM dan apa yang diharapkan ketika bekerja sama dengan
Komunitas Taraje. Nah, Komunitas Taraje yang dulunya bernama Anak Muda Bikin
Buku ini berbasis di dunia cyber (kata yang akhirnya dijadikan pilihan selain
menyebut dunia maya) yang merupakan kumpulan para penggiat literasi. Ada
penulis profesional, penulis pemula, wartawan, fotografer dan lain-lain namun
dengan harapan profesi apapun yang dijalani selalu dekat dengan buku bersama
aktifitas menulis atau membaca.
“Menyebarkan virus membaca”
begitu ujar Bunda Heni ketika sampai di kesimpulan mengenai didirikannya TBM.
Selain membaca, minat masyarakat yang tinggi juga ditunjukan pada aktivitas
menulis, hanya saja kurangnya relawan yang mengasah minat ini pada masyarakat.
Maka disinilah sinergi yang diharapkan, yaitu muncul relawan dari Komunitas
Taraje yang mampu memberikan pelatihan menulis di TBM minimalnya yang ada di
sekitaran Bandung terutama yang baru berdiri.
Pembahasan pun tak cukup sampai
disana, Komunitas Taraje berharap kedepannya selain mampu menjadi relawan bagi
TBM juga mampu terjun dan “belajar hidup” dari “anak jalanan”. Adalah Kang Rio
anggota Komunitas Taraje yang dulunya pernah mengecap hidup di jalanan kini
telah menjadi dosen, banyak bercerita mengenai kehidupan di jalanan. Bagaimana belajar
dari mereka, karena ternyata mengenai kehidupan mereka lebih tau. Kemudian
mendekati mereka dengan perasaan cinta
dan peduli, bukan dengan perasaan diri lebih hebat dari mereka. Banyak hal yang
mencengangkan ketika Kang Rio bercerita tentang kehidupan mereka sesungguhnya
yang diwarnai kekerasan, free sex, konflik dll. Dan ternyata
perekonomian hanyalah masalah kesekian bagi mereka. Masalah sesungguhnya ada pada
kebutuhan akan kasih sayang, dipedulikan, perlindungan. So ini bisa jadi bahan
kita beraktualisasi diri, yaitu bermanfaat bagi sesama.
Selanjutnya, setelah break
makan siang dan shalat dzuhur ada penjelasan mengenai kategorisasi perpustakaan
juga dari seorang librarian yaitu Kang Haflah. Satu hal yang saya
dapatkan dari penjelasan Kang Haflah, jangan pernah sekali-kali meremehkan pekerjaan
pustakawan terutama yang bertugas di bagian katalogisasi, “Leukleuk” kalo orang
Sunda bilang mah. Dan tentu saja harus dilakukan dengan “152”, cinta :D
Kehangatan diskusi semakin
terbangun dengan kehadiran Ayah Salwa, pendongeng yang juga menjadi pendiri TBM
di daerah Soreang. Selain memberikan tips mendongeng, Ayah Salwa juga medongengkan
kami sepenggal cerita yang melambungkanku pada masa kanak-kanak yang haus
cerita. “Anak-anak yang lari ke jalanan atau ke hal-hal yang lain di luar
adalah mereka yang ayahnya tidak mampu mendongeng.” Sepenggal kalimat beliau
yang masih terngiang.
Ketika sampai di sesi akhir,
giliran Fatih Zam dari Komunitas Taraje yang berbagi tentang tips
menulis. Bangun relasi, itulah tips pertama yang dikemukakannya. Cari dan
kenali para editor akuisisi lewat cyber baik itu twitter atau facebook.
Nah, hari gini ga zaman lagi kita harus nulis dari awal hingga akhir terus baru
kirimin ke penerbit, ada cara lain yaitu presentasi langsung outline
dari tulisan kita ke editor akuisisi dan jika disetujui langsung diberi uang
muka dan kita menulisnya sesuai deadline.
“Itu kan buat Kang Fatih yang
udah nerbitin buku dan udah kenal sama orang penerbitan. Bagaimana dengan kami
yang belum nerbitin buku dan ga dikenal mereka?” ujar Icha ketika dibuka sesi
tanya jawab. Maka, jadilah novice dan jalin hubungan dengan para penulis
yang sudah terkenal yang akan menjadi jembatan agar karya kita
direkomendasikan. InsyaAllah dengan senang hati mereka membantu, bukan begitu?
Begitu bukan? :D
Nah, selain itu apa lagi?
Optimalkan media online! Jadikan social network sebagai tempat kita
muncul ke permukaan dengan karya kita, tambahkanlah teman-teman para penulis
dan penerbit, karena jangan sangka mereka memantau dan mencari tau barangkali
ada mutiara di antara timbunan pasir.
Dan tentu saja, selalu menjadi
petuah paling maknyos bahwa untuk bisa menulis kita harus banyak baca. Bahkan
konon porsi membaca ini harus lebih banyak dari menulis. Membacanya bukan hanya
buku tetapi juga membaca kehidupan a.k.a fenomena-fenomena kehidupan mulai dari
hal-hal yang kecil yang ada di sekitaran kita. Teringat juga kalimat seorang
pembicara dari koran Bandung Ekspress di sebuah Training Jurnalistik bahwa
untuk menjadi penulis itu butuh peka dan jujur. Peka akan lingkungan sekitar
dan dengan jujur menuliskannya dalam sebuah tulisan. Dan tentu saja, menuliskannya
dengan cinta. Demikian.
foto-foto by http://mataronis.blogspot.com
Comments
Post a Comment