Mencari Riri [Cerpen]

Rumah panggung berdinding anyaman bambu dan berkusen kayu dicat coklat tua berdiri di atas sebuah tanah luas dengan berbagai tanaman di halaman depannya adalah rumah yang ditunjukan oleh pemilik warung di pinggir jalan yang tadi kulewati sebagai rumah milik pak Arif, ayah dari seorang gadis yang kucari keberadaanya sebulan terakhir.
Puunteen...[1] Teriaku, ketika sampai di halaman rumah, tepat di depan pintu yang menghadap ke arah matahari terbit itu. Melihat tidak adanya tanda-tanda pintu itu akan terbuka dengan kedatangan sang pemilik rumah, aku mengulanginya beberapa kali. Jawabannya hanya sepi. Beruntung tak lama setelah itu, dari belakangku muncul seorang ibu dengan pakaian terciprat lumpur disana sini, kaki telanjang dan bertopi kerucut menghampiriku dengan wajah penuh tanda tanya.
Milarian saha jang?[2] ujarnya seraya mendekati posisi aku berdiri.
“Betul ini rumahnya Pak Arif? Saya teman kantornya Riri.”
Sesaat kutangkap dari raut wajahnya, wanita itu menutupi kekagetannya lantas mulai tersenyum dan ber-ooh serta mempersilahkanku masuk ke rumah.

Mangga mangga dilebet.[3] wanita itu mendahuluiku memasuki pintu yang ternyata tidak di kunci. Aku melangkahkan kakiku menaiki bale-bale dan menginjakan kaki di muka pintu rumah yang berlantaikan kayu. Meski sederhana, rumah ini terlihat bersih dan rapih, tidak terlalu banyak barang di ruangan itu. Hanya ada lemari yang menyentuh langit-langit berisi jejeran barang pecah belah seperti gelas, teko yang bermotif disusun dengan estetis oleh sang pemilik rumah. Sebuah teve 17 inci berada di tengah lemari. Selain itu ada sederetan kursi berbentuk leter L terlihat ketika aku memasuki pintu rumah itu. Selebihnya di dinding rumah itu terdapat dua foto berfigura dan sebuah kalender bergambar seorang artis cantik, kalender dengan lebel Toko Mas Anugerah, sudah pasti itu merupakah hadiah dari salah satu toko mas ketika tahun baru menjelang.
Kuperhatikan dua foto yang menggantung. Ada sedikit kelegaan, tersebab disana terlihat seseorang memakai toga dan menenteng map ijazah dan senyum melengkung manis. Seseorang yang sebulan terakhir tak kulihat mata sendunya, seseorang yang menarik kakiku untuk menjejak di daerah ujung kabupaten Bandung ini. Aku sampai di tempat yang tepat setidaknya, meski seseorang yang kucari itu belum kulihat keberadaannya.
Aku dipersilahkan duduk seraya mengamati sekeliling, sementara wanita itu membersihkan diri di kamar mandi belakang. Terdengar suara kastrol berdenyit mengangkut seember air dari kedalaman sumur. Sebuah pemandangan berbeda dengan kehidupanku di kota. Aku serasa memasuki belahan dunia lain. Sesekali deru kendaraan di kejauhan terdengar samar-samar, selebihnya cicit burung dan suara gesekan daun mendominasi pendengaran. Kukeluarkan smartphone dari saku, barangkali ada yang menghubungiku dan kekagetan berikutnya melandaku. No service, emergency only. Kuhela nafas panjang, untuk kesekian kalinya.
Tak berapa lama, wanita itu sudah menenteng baki dengan segelas air teh panas di atasnya. Pakaiannya sudah berganti dengan pakaian bersih. Kulihat raut wajahnya mengingatkanku pada seseorang yang kukenal. Meski terlihat sudah berumur namun rona kecantikan masa mudanya masih melekat
Mangga dileueut jang.[4] Ujarnya seraya meletakan gelas di meja, tepat di hadapanku.
Aku mengangguk. Tersenyum sesaat dan tanpa babibu lagi kuutarakan kedatanganku jauh-jauh kesini. Aku mencari seseorang yang menghilang sebulan terakhir. Telepon genggamnya ikut tidak bisa dihubungi, email dan pesan di sosial network yang lainnya pun tak kunjung berbalas. Dan tak diragukan lagi aku datang ke tempat dan orang yang tepat. Kampung halamannya, kediaman kedua orangtuanya.
“Riri pernah nitip pesan, kalau ada orang yang mencarinya, dia menyuruh menemuinya di puncak bukit itu.” Kali ini wanita itu menggunakan bahasa Indonesia sekalipun terdengar rancu, mungkin hendak menyesuaikan dengan bahasaku yang sejak tadi tidak mengeluarkan bahasa daerah sekalipun aku mengerti bahasa tersebut.
Aku menengokan kepalaku ke arah telunjuk perempuan itu, terlihat sebuah bukit yang lumayan tinggi jika harus kudaki.
“Riri ada disana bu?”
“Iya, setiap pagi dia naik ke bukit itu, di atas ada sebuah rumah kecil milik bibinya. Dia baru akan pulang ketika sore hari.”
Tak seperti dugaanku, di puncak bukit itu masih ada yang menghuni. Segera aku meminta izin untuk menemui Riri. Wanita itu mengangguk.
“Sebentar, saya panggilkan dulu Alfi untuk mengantar ke atas. Tasnya disimpan saja, jalan ke atas nanjak.” Seraya melirik tas ransel di sampingku. Aku pun melirik motor yang kuparkir tak jauh dari halaman rumah. Wanita itu mengerutkan kening.
“Kesini naik vespa?” ujarnya dengan penuh keheranan.
“Iya bu, saya kira tidak seberat ini jalan yang harus ditempuh. Ternyata hampir tujuh jam, karena beberapa kali vespa saya harus diistirahatkan. Sekalian saya titip tas sama vespa ya bu.” Jelasku panjang lebar menjawab keheranan wanita itu.
Beberapa saat wanita itu menghilang dari hadapanku, dengan tergesa menuju ke arah barat. Tak lama kemudian kembali dengan seorang anak lelaki usia Sekolah Dasar di belakangnya dengan wajah cemberut, mungkin karena waktu bermainnya terganggu. Tetapi ketika melihatku, raut wajahnya berubah seketika.
Anter si aa iyeu ka Tangkil.”[5] Anak lelaki itu mengangguk, aku pun  pamit dan mensejajarkan langkah dengan anak lelaki berkaus merah dan celana selutut itu. Kulitnya putih agak merah karena terpanggang matahari.
“Tadi lagi main apa?” tanyaku memecah sunyi diantara langkah kami.
Maen langlayangan di lapang . Aa rerencangan teteh ti Bandung nya?[6] aku hanya mengangguk. Perjalanan mendaki bukit selanjutnya tak kusiakan dengan mengorek informasi tentang apa yang dilakukan Riri selama sebulan terakhir. Meski tak banyak yang kudapatkan, setidaknya dari anak lelaki yang merupakan adik bungsu Riri ini aku tahu sebulan terakhir Riri naik turun bukit setiap pagi dan sore hari, di atas bukit jika tidak melamun, Riri berkutat dengan laptop atau kamera dslr-nya.
“Masih lama gak?” tanyaku setelah merasa lututku mulai pegal dan nafas ngos-ngosan, sedang anak lelaki dihadapanku tak terlihat kelelahan. Futsal setiap minggu serta kebiasaan sesekali naik gunung yang kulakukan tak cukup membantu, tak sedikitpun terlintas bahwa medan ke puncak bukit benar-benar menanjak dengan jalan setapak yang tanahnya licin. Di sekeliling kulihat berbagai pohon ditanam, beberapa tanah dipagar bambu menunjukan tanah itu merupakan ladang yang berempunya.
“Itu sudah terlihat rumah bibi.” Aku menengadahkan kepala, sekitar lima menit lagi.
Staminaku serasa bangkit kembali, sesaat lagi aku akan bertemu gadis kurang ajar itu, pergi tanpa pamit atau berbasa basi. Diluar perkiraanku, ternyata makin tinggi kami mendaki, semakin banyak pula pemukiman yang kami temui. Mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani atau berkebun di ladang. Hal pertama yang kupikirkan adalah, dimana anak-anak mereka bersekolah? Lintasan pikiran itu terjawab seketika ketika segerombol anak, tiga perempuan dan dua anak lelaki berseragam SMA berjalan beriringan di belakang kami. Ternyata sekolah SMA paling dekat dari sini berada di dekat rumah orangtua Riri. Setiap hari mereka naik turun bukit demi mendapatkan pendidikan. Aku tertegun beberapa saat.
“Itu rumahnya a, teh Riri biasanya duduk di saung atas, naik aja.” Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih seraya memberi beberapa lembar uang receh. Alfi segera lari dengan girang ke sebuah warung sederhana beberapa meter dari tempatku berdiri.
Kulemparkan pandanganku ke sekeliling. Sebuah rumah panggung berdiri di hamparan tanah merah dengan berbagai tanaman sayur tumbuh di sekeliling rumah tersebut. Aku mulai menapakan kaki menaiki dataran yang lebih tinggi di lereng yang sengaja dibuat membentuk tangga. Entah kenapa jantungku memompa darah lebih cepat hingga aku dapat mendengar suara detak jantungku sendiri, aku menyadari bahwa setiap tangga yang kutiti akan membawaku selangkah lebih dekat dengannya. Dan di beberapa tangga yang tersisa aku mulai melihat genting sebuah gazebo yang disangga empat kayu kemudian ah itu dia gadis itu, bersandar di salah satu tiang dengan berselonjor kaki, laptop di pangkuannya. Dan tiga detik aku melihat pemandangan itu, dia menoleh menyadari ada seseorang yang datang.
Tidak ada sedikitpun raut kekagetan atau keheranan di wajahnya. Tidak pula terlihat wajah perasaan bersalah karena tiba-tiba menghilang tanpa pesan apapun sebulan lalu.
“Lama banget nyusul kesininya, nyaris sebulan ini.” Ujarnya dengan sesungging senyum yang kadar kemanisannya tak pernah berkurang sejak pertama kali kami bertemu.
“Udah tau aku lemot dan telmi.” Ucapku seraya mendekati saung untuk meluruskan kaki yang sedari tadi bekerja keras.
Beberapa saat kami membiarkan suasana sehening dini hari. Aku menyapukan pandangan ke sekeliling, karena ini tempat paling tinggi, maka aku dapat melihat perkampungan di bawah sana, sawah menghampar seperti karpet hijau yang digelar. Di dekat kakiku, daun mentimun berserak merambat di tanah. Ada juga tanaman kacang-kacangan yang berjejer rapi di gundukan tanah yang dibuat semacam pematang sawah.
“Pantesan betah lama-lama disini. Indah kaya di surga.” Ujarku dengan senyum tersungging.
“Kaya yang pernah ke surga aja.”
“Eh, semua yang ada di surga indah-indah kan? Kamu lebih tau apa yang disabdakan Tuhan di kitab suci. Harus kusebut apa pemandangan yang menyenangkan mata seperti ini kalau bukan surga?”
Aku menelisik wajahmu, tak ada yang berubah, raut muka serius namun elegan itu masih tertangkap kornea mataku. Matamu terpaut ke cakrawala sesekali mengedip bahkan dengan cara yang indah. Sesungguhnya keindahan makhluk yang satu ini yang menjadi pusat dari semua keindahan yang kulihat.
“Sudah cukup kaburnya. Kembalilah!” demikian to the point nya kalimatku, langsung ke inti tujuanku datang kemari.
Kudengar jelas ia menghela nafas panjang dan berat. “Kau datang kesini cuman mau bilang gitu? Kirain bener-bener ngerasa kehilangan.”
“Jelas-jelas kehilangan, sekarang Jimmy sering ngadat karena gak ada lagi yang muji-muji dia. Patricia pun jarang keluar dari sarangnya karena gak ada lagi objek indah yang bisa dia abadikan.” Kalimat yang akhirnya melebarkan senyumannya bahkan membuat dia tertawa. Jimmy adalah Vespa P110x tahun 80’an yang selalu menemaniku beraktivitas dan Patricia adalah DSLR Canon Eos 1000D milikku, mata ketiga yang selalu tergantung di leherku ketika bepergian. Mereka berdua adalah benda mati yang kami buat hidup. Seringkali kami mengajak benda-benda itu ngobrol seolah mereka mampu mendengar dan memahami kalimat yang kami lontarkan. Setelah itu kami akan tertawa bersama sambil berteriak “Sakit Jiwa!”
“Aku memiliki kehidupan di sini. Tidak di tempat lain. Karena ini adalah rumah tempat aku bisa pulang kapanpun dengan kondisi diriku seperti apapun.”
Pandangan mataku jatuh dan tertumbu pada tanah merah di hadapanku. Setelah berhasil menemuimu, aku ternyata tidak mampu membawamu kembali.
“Setidaknya biarkan aku untuk terus dapat menghubungimu dan mengetahui kabarmu. Kau tahu aku hampir gila ketika tiba-tiba kau menghilang dan tidak bisa kuhubungi.” Kalimat yang mencuat langsung dari dasar hati itu akhirnya meluncur deras. Aku menggigit bibir melihatmu yang dengan santainya tersenyum.
“Bukannya sejak dulu kau memang gila?”
“Gila yang ini jelas beda, gila nomor wahid. Kau ingat kan tentang penyakit gila? Semakin kecil nomornya, semakin parah gilanya.”
Tak ada sedikitpun empati terlihat dari ekspresinya, dia malah tertawa lepas dan puas.
“Ketika aku pergi, aku yakin kau satu-satunya orang yang tahu kemana harus mencariku. Well meskipun telat, akhirnya hanya kau yang bisa menemukan tempat persembunyianku. Dan biarkan aku tetap disini dengan kehidupan sederhana yang kupunya.”
Aku mengangguk, mengamini kalimatnya. “Kau bisa memiliki seseorang, memiliki hatinya, memiliki raganya, tetapi kau tak akan pernah bisa memiliki jiwanya, memiliki takdir hidupnya.” Ujarku dalam hati.


[1] Punten adalah sapaan dalam bahasa Sunda yang berarti permisi
[2] Mencari siapa ya?
[3] Silakan masuk
[4] Silakan diminum
[5] Antarkan Kakak ini ke Tangkil
[6] Main layangan di lapang. Kakak temannya kakak perempuan saya dari Bandung ya?


Bandung, Arpil 2013

Comments

Popular posts from this blog

Yang Terbaik Bagimu* (Puisi untuk Ayah)

Hanya Isyarat [Rectoverso]

5 Upaya agar Bisa Konsisten Ngeblog

Dapet Kerjaan Gara-gara Ngeblog

Seni Membuang Barang [Edisi Pakaian]

Tamasya Ingatan (Sebuah Surat untuk Fathia Mohaddisa)