Ketika Hujan Turun (Suara Pemred, 29 Januari 2017)

Oleh: Nufira S.
Entah kapan terakhir kali Masni jatuh demikian lelap dalam tidurnya seperti kali ini. Dia bermimpi kedua anaknya dibawa pergi oleh seseorang dan menghilang di balik kabut asap. Tangan kiri Masni mendekap erat anak ketiganya yang belum genap enam bulan, mengerang di pangkuannya. Sedang tangan satunya lagi menggapai-gapai meraih bayangan dua anaknya yang terus berjalan ditelan pekatnya asap, namun yang dia dapatkan hanya kekosongan.
Begitu pula saat ia terjaga, sambil mengerejapkan mata, kedua tangannya serta merta menggapai-gapai mencari ketiga anaknya yang biasa tidur di sekitarnya. Anak paling bungsu, menempel rapat di pelukannya, sedang dua anaknya yang lain tidak ada di sana. Masni tersengat.
Orang pertama yang harus dicari Masni adalah suaminya sendiri. Tanpa perlu susah payah dicari, Masni melihat lelakinya itu tengah duduk menekuk kepalanya sambil memeluk lutut di seberang kamar. Masni bangkit seketika, menghambur ke arah suaminya lalu mengguncang-guncangkan lengan lelaki itu, hingga memantul-mantulkan rambutnya yang bergelombang.

Dimana anak-anakku? Kau bawa kemana Jantan dan Noni?Masni meronta-ronta sambil menangis memecah kesunyian di sekitar mereka.
Tadi malam, sebelum Masni tertidur amat lelap yang tak pernah dia alami tiga bulan terakhir ini dan kemudian dia sesali, mereka masih makan bersama. Masni menghidangkan manggalo mersik[1], makanan khas suku Sakai di pedalaman Riau. Di hadapan anak-anaknya dia tak menampakan wajah khawatir melihat persediaan manggalo mersik yang tinggal sedikit.
“Untung persediaan manggalo mersik masih cukup. Sengaja tidak Ibu jual ke tetangga biar kita tetap bisa makan,” ucap Masni sambil membagi makanan.
Biasanya, manggalo mersik disajikan bersama gulai ikan atau sayur-sayuran. Tetapi di masa sulit seperti ini, mereka harus puas mengunyah makanan yang menyerupai kerak nasi yang bergumpal kecil dan keras itu dalam diam, tanpa lauk pauk. Anak-anak pun tak rewel, mereka makan apa yang dihidangkan ibunya. Setelah selesai makan, mereka kembali berbaring di samping ibunya sambil sesekali mengeluhkan napas yang sesak atau badan yang gatal-gatal.
Pada hari-hari biasa, sebelum bencana kabut asap melanda dusunnya, Masni kerap pergi ke hutan untuk mencari ubi manggalo. Ubi beracun yang mesti diolah terlebih dahulu sebelum dimakan untuk menghilangkan racunnya. Kemudian dia jajakan pada warga sekitar dengan harga murah, namun bisa cukup untuk menutupi kebutuhan keluarga disamping mengandalkan suaminya yang berladang dan berburu ikan di sungai.
Kini, suami Masni tidak bisa lagi mengolah ladang atau menangkap ikan di sungai sebab jarak pandang yang terbatas karena kabut asap, serta sungai yang airnya surut karena kemarau tak banyak menghasilkan ikan. Namun, suaminya itu jarang tinggal di rumah. Lelaki itu kerap jengah mendengar anak-anaknya meringis kesakitan sambil menunjuk dada. Terkadang anaknya yang masih bayi menangis lemah namun masih bisa diredakan jika diberi susu ibunya.
Beberapa hari terakhir, sejak terjadi perbincangan serius antara suami istri itu. Masni tak pernah menjauhkan ketiga anak-anaknya dari jangkauannya. Noni yang sudah bersekolah kelas tiga SD, sudah beberapa minggu tak masuk sekolah. Pun tak pernah dia izinkan kemana-mana.
Begitu juga dengan Jantan, anak lelakinya yang biasanya begitu cerewet dan lincah memasuki usia lima tahun kerap merengek meminta bermain-main di luar rumah tak pernah diizinkannya. Sekalipun, Jantan hanya duduk-duduk di beranda rumah, segera dipanggilnya untuk tetap di sisinya.
Anak-anak seusia mereka tentu bosan tinggal di rumah seharian. Mereka kerap memaksa untuk bermain di luar bersama anak-anak lain. Tetapi, Masni membujuknya untuk tak keluar dengan banyak cara. Misalnya, bercerita tentang hantu yang berkeliaran sepanjang waktu, karena siang hari matahari tak kelihatan muncul. Mendengar cerita itu mereka akhirnya menurut dan merapatkan dirinya di tubuh ibunya yang semakin kurus.
Pada malam hari, Masni juga selalu terjaga. Jarang sekali dia terlelap tidur. Bukan hanya karena dia kesulitan tidur, tetapi juga karena sedikit-sedikit salah satu anaknya terbangun mengeluhkan rasa sakit dan Masni harus mengelus-elus anaknya hingga mereka tenang.
Kabut asap yang menyelimuti dusunnya akibat kebakaran hutan telah begitu banyak mengusik ketenangan hidupnya. Bukan hanya kini dia tidak lagi bisa mencari ubi manggalo ke hutan, suaminya juga tidak bisa berladang dan mencari ikan. Anak-anaknya tidak bisa bermain dan bersekolah. Terlebih dengan persediaan makanan yang semakin menipis, dia tidak bisa memberi makan anak-anaknya hingga kenyang.
Bukan sekali dua kali dia membiarkan anak-anak dan suaminya makanan lalu dia mengambil sisanya yang tinggal sedikit. Masni kemudian memakannya perlahan-lahan, sedikit demi sedikit agar dikira bagiannya sama seperti mereka. Suaminya yang melihat ini tentu tak bisa dibodohi dan tak kuasa melihatnya. Dia memberikan bagiannya untuk dibagi dengan istrinya. Sekali waktu dia pernah mengambil dari jatah anak paling besar untuk diberikan pada ibunya, yang tentu membuat anak itu merengek melihat makanannya berkurang.
Mereka pun seolah-olah hidup seorang diri. Sebab saat melongok ke luar pintu, tak dilihatnya lagi rumah tetangga yang hanya dibatasi kebun atau lahan  kosong. Kabut asap telah mengepung dan memisahkan mereka dari kehidupan.
Maka, ketika suatu malam Masni terlelap sejenak dan meraba-raba menghitung jumlah anaknya dan ia hanya merasakan ada satu anaknya di sampingnya, dia begitu kaget dan tersentak. Orang satu-satunya yang harus bertanggung jawab ketika dua anaknya direnggut dari sisinya adalah suaminya sendiri.
Aku ibunya. Aku yang akan mengurus dan memberi mereka makan! Raung Masni. Yang tetap ditanggapi dengan bungkam oleh suaminya.
Jeritan dan raungannya Masni pagi buta begini barangkali telah membangunkan tetangganya yang berjarak beberapa meter dari rumahnya. Namun, tak ada yang penasaran menengok mereka, untuk sekadar bertanya apa yang telah terjadi. Peristiwa semacam ini kerap terjadi dan orang-orang tahu apa yang mereka persoalkan. Namun, tentu tak akan ada yang menyangka perihal mimpi Masni tentang dua anaknya yang ditelan asap dan mendapati dua anaknya benar-benar menghilang dari sisinya.
Ayah macam apa kau, yang begitu tega melakukan ini kepada anak-anaknya sendiri!” Masni berteriak sekuat tenaga di depan telinga suaminya yang terus membatu. Berharap suaminya bergeming.
Hingga perlahan, suaminya mengangkat kepala. Tanpa berani menatap mata istrinya yang telah memerah, atau rambutnya yang kusut masai. Dia membuka mulutnya dengan suara bergetar.
Justru aku tak tega melihat mereka.Air mata telah menggenang di kelopak mata lelaki itu. Aku mencintai mereka. Setidaknya saat ini, mereka sudah tidak lagi kelaparan dan mengeluh sakit dada.Tangisan suaminya akhirnya pecah. Tangisan ini mungkin telah coba dia tahan sekuat tenaga. Entah apa yang sesungguhnya ia tangisi, apakah penyesalan pun terselip di sela-selanya?
Masni tergugu, dia menatap suaminya dalam diam. Bukan karena kini suaminya meraung-raung dan bersimbah air mata. Dia mendengar suara yang begitu asing sekaligus dia rindukan.
Tidak mungkin. Pikir Masni.
Suaminya yang merasakan hal serupa menghentikan tangisannya. Dia menatap Masni yang kini mematung. Mereka sama-sama mendengar suara hujan menandak-nandak di luar rumah.





[1] Olahan makanan dari ubi manggalo, khas suku Sakai Riau.

Comments

Popular posts from this blog

Yang Terbaik Bagimu* (Puisi untuk Ayah)

Hanya Isyarat [Rectoverso]

5 Upaya agar Bisa Konsisten Ngeblog

Dapet Kerjaan Gara-gara Ngeblog

Seni Membuang Barang [Edisi Pakaian]

Tamasya Ingatan (Sebuah Surat untuk Fathia Mohaddisa)