Karma
“Sekolah harus segera bertindak Bu,
jangan dibiarkan. Hal ini akan merusak kepercayaan masyarakat terhadap
Sekolah.” Ucap Mardi berapi-api saat melaporkan kepada kepala sekolah bahwa ada
salah satu siswa di sekolah tersebut tengah mengandung.
“Baik Pak, dewan sekolah akan
segera rapat dan memanggil siswa serta orangtuanya.” Ujar kepala sekolah dengan
nada berat. Bimbang antara membiarkan siswa itu tetap ada di sekolah atau
mengeluarkannya tanpa ampun.
Sudah jelas bahwa terjadinya
kecelakaan tersebut sebagian besar karena kesalahan sekolah tempat dia belajar.
Hal ini berarti merupakan kegagalan sekolah dalam membimbing siswa dengan pemahaman
yang baik.
Dua hari kemudian, setelah
diadakan rapat dewan sekolah kemudian memanggil orangtua siswa, maka Dita siswa
kelas delapan resmi dikeluarkan dari sekolah.
****
Tak berapa lama, Lilis sang istri
datang dengan sepiring pisang goreng yang lain, sambil meneriaki anak semata
wayangnya Resa untuk segera sarapan.
Yang dipanggil beberapa saat
kemudian muncul dengan seragam lengkap dan menghampiri meja ruang tengah.
“Res, kau sekolah baik-baik.
Jangan macam anaknya si Jupri. Kemarin dikeluarkan dari sekolah.”
Resa yang mendengar kabar itu dari
bapaknya tidak terlampau terkejut karena dia berteman baik dengan Dita dan
terlebih dulu tahu tentang didepaknya Dita dari sekolah. Di tengah perasaan
bangga bapaknya yang menguak salah satu aib siswa di sekolah tersebut, ada
perasaan duka di hati Resa karena dia kehilangan salah satu temannya.
“Hal seperti itu memang harus
ditindak cepat. Karena akan merusak nama baik sekolah juga kampung kita.”
Timpal Lilis seraya meniup-niup pisang goreng di tangannya. “kalau perlu harus
dibuang ke tempat lain. Sesuai dengan tuntutan agama.”
Mardi merasa dia telah melakukan hal
yang benar dengan melapor pada kepala sekolah. Terlebih karena posisi dia
sebagai aparat desa. Adalah salah satu kewajibannya menegakan norma dan nilai
di kampungnya.
***
Suara musik dangdut menggema dari
empat boks hitam yang berjejer di halaman rumah tersebut. Rumah yang kini
didekor untuk pesta dilengkapi kursi tamu yang berjejer menyesaki halaman rumah
yang tak seberapa. Dan tentu saja tenda biru.
Kabar dikeluarkannya Dita dari
sekolah telah menyeruak di seantero kampung. Maka beberapa hari kemudian kedua
pihak keluarga sepakat untuk menikahkan anak mereka. Adalah Rudi yang selama
ini menjadi kekasih Dita akhirnya bersedia menikahinya setelah desakan dari
keluarga.
Rudi adalah pemuda yang tengah
bekerja di kota sebagai karyawan di pabrik tekstil ternama. Sekalipun
penghasilannya terbilang lumayan, namun ia menyadari bahwa menanggung hidup
seseorang yang tidak lain adalah kekasih yang telah ia renggut kesuciannya itu
menyisakan beban yang berat. Pasalnya dia belum berniat serius ke jenjang
pernikahan.
Perkenalannya dengan Dita yang
masih remaja tanggung itu karena desakan kawan-kawannya yang seringkali
mengejek dia yang selama ini selalu sendiri.
Takdir bekata lain, hasrat yang
tak mampu dia bendung itu akhirnya membawa petaka berkepanjangan. Dita
dikeluarkan dari sekolah dan malu yang harus ditanggung kedua keluarga.
Ibu Rudi bersikokoh sekalipun
pernikahan mereka tersebab kecelakaan, ia tetap menginginkan pesta pernikahan
anak bungsunya itu tetap dilangsungkan. Maka beberapa hari kemudian terlaksanalah
pesta itu layaknya pesta pernikahan biasa. Sekalipun radius beberapa meter dari
rumah itu masyarakat sekitar saling berkasak kusuk tetang pernikahan ini.
Dengan janin berusia lima bulan di
rahimnya, Dita diboyong ke kontrakan Rudi di kota. Dan masyarakat mulai lupa
kejadian tersebut. Hingga beberapa bulan kemudian mereka sering mengunjungi
kedua orang tua mereka yang tinggal di kampung yang sama. Mereka membawa bayi
mungil yang tumbuh semakin besar dan sama menggemaskan seperti bayi-bayi lain.
***
Ritual pagi di rumah Mardi seperti
biasa selalu ada secangkir kopi dan sepiring gorengan yang dibuat oleh tangan
istrinya yang lihai memasak.
“Resa tidak dibangunkan Bu?
Bukankah beberapa hari lagi dia mau ujian nasional?” ujar Mardi dengan nada
heran karena pagi ini dia belum melihat Resa keluar dari kamarnya dan beberapa
hari ini tidak masuk sekolah.
“Tidak Pak. Badannya kurang
sehat.” Lilis menjawab singkat namun kegundahannya tak dapat dia sembunyikan.
Hal ini menumbuhkan tanda tanya besar di hati Mardi yang kemudian mendesak
bertanya ada apa.
“Kemarin ada surat panggilan dari
sekolah. Karena bapak sepertinya sedang sibuk di kantor desa, Ibu yang datang
ke sekolah.” Ujar Lilis dengan bibir bergetar dan mata yang terpaku pada
kaki-kaki meja ruang tengah.
“Ada perlu apa sekolah memberi
surat dan memanggil kita?” Darah mulai berdesir di dada Mardi, mukanya memerah
dan mata yang membulat. Kekesalannya semakin bertambah setelah yang ditanya
malah menangis dengan tubuh terguncang-guncang.
Mardi meremas rambutnya, berjuta
amarah menggunduk di dadanya. Ia membenamkan wajahnya ke pahanya. Gelas berisi
kopi yang mulai mendingin itu ia lemparkan. Tangannya memukul setiap benda yang
ia temui. Lantas keluar rumah dan membanting pintu kemudian pergi entah kemana,
selama berhari-hari.
Dua hari sebelum obrolah di ruang
tengah ini, Lilis mendapat surat dari sekolah. Melihat suaminnya yang setiap
hari sibuk di kantor, maka ia mendatangi sekolah sendirian. Sekolah meutuskan
untuk mengeluarkan Resa karena saat razia tas, mereka menemukan pil KB di
tasnya. Maka setelah diselidiki dan introgasi terhadap Resa serta kekasihnya
yang merupakan siswa di sekolah tersebut. Mereka memutuskan bahwa siswa yang
terlibat free sex dikeluarkan dari sekolah. Tanpa pertimbangan bahwa Resa
adalah anak aparat desa atau karena prestasi Resa yang tak terlalu buruk di
sekolah atau karena beberapa hari lagi mereka akan melangsungkan Ujian Nasional.
Bandung, 08 Juni 2013
Comments
Post a Comment