Cinta Platonik
Foto dari sini
Aku bener-bener ga ngerti dengan apa yang ada di pikirannya.
Masa cuman gara-gara status di-like, twitt di-retweet atau di-favorite aja udah
kesenengan begitu. Wajar sih, karena yang nge-like itu Kak Rendi, cowo paling kece seantero
sekolah, apalagi dia ketua OSIS, siswa teladan pula. Wajar saja Melati
terlonjak-lonjak kegirangan ketika salah satu statusnya di-like. Tapi, hey bukan
cuman Melati yang postingannya di-like Kak Rendi. Bahkan karena keramahannya, dia
senang membubuhkan jempol di status siapapun, aku juga pernah di-like.
“Dia menyukai hampir setiap status yang aku buat lho.” Ujar
Melati saat aku nyuruh dia biar ga cepet gede rasa. Toh aku tahu, status Melati
belakangan ini seputar keinginannya buat masuk OSIS SMA atau memuju-muji
beragam fasilitas dari sekolah swasta yang baru saja kami masuki.
Aku jengah dengan sikapnya, terlalu terburu-buru
menyimpulkan bahwa Rendi itu naksir dia. Memang sih, Melati temanku ini cantik,
banyak anak cowo yang senang mengajak dia ngobrol atau ngebecandain dia di
kelas. Kita berteman sudah sejak SMP, rumah kita deketan, aku cuman gamau dia
kecewa lagi, nanti kalo dia mewek-mewek kan ke aku juga larinya.
Sebenernya semua kejadian ini bukan tanpa alasan. Barangkali
karena beberapa kali kita pernah ketemu dan Kak Rendi pasti tersenyum saat
berpapasan dengan kami.
Seperti saat beberapa hari yang lalu, guru matematika ga
masuk. Kami memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Aku mengajak Sekar juga,
dia sekelas dengan kami. Aku mencari ensiklopedia, ketertarikanku pada sains
membuat aku senang menghabiskan waktu berlama-lama di perpustakaan. Melati
membawa buku PR nya, ada tugas yang belum dia selesaikan. Sementara Sekar, dia
pasti memburu novel, dia senang sastra.
“Nia, makasih udah ngajak ke perpus.” Ujar Melati disertai
senyumnya yang lebar.
“Kenapa? Kan kita biasa ke perpus Mel.” Amel adalah
panggilan kecil dia.
“Liat deh di bangku paling ujung, apa pangeran. Hihihi.”
Terdengar nada puas dan senang dari kalimatnya. Dan ternyata, oh God! Kak Rendi
juga ada di perpus. Dan dia melihat ke arah kami sambil tersenyum. Kontan saja
Melati gak bisa diem.
“Dia ngeliatin ke arah kita terus, Nia.” Bisik Melati seraya
menyikut tanganku, memaksaku untuk mengangkat wajahku dari ensikopledia dan
memandang ke arah Rendi. Dan benar saja, Rendi sedang menatap ke arah kami
bertiga yang duduk beberapa meter dari mejanya, dia tersenyum. Aku pun balas
tersenyum sambil mengangguk.
“Gimana dia gak ngeliatin terus, kamunya juga lirik-lirik ke
mejanya dari tadi.” Aku tahu temanku ini sudah kelewatan, sudah sewajarnya
seseorang yang merasa diperhatikan merasa perlu mengangkat wajah dan balik
melihat.
Bel pun berbunyi tanda pergantian jam. Aku lega. Aku sudah
tidak tahan lagi melihat kelakuan Melati yang menyikutku, menepuk pahaku,
bahkan menarik rambutku hanya untuk membuktikan bahwa Rendi memperhatikan terus
meja kami.
“Tar kita jadi ya ke Gramed?” tanyaku pada kedua temanku,
saat beberapa langkah menjauhi pintu perpustakaan. Tetapi tak ada jawaban.
Astagaaa... pantas saja. Melati tengah terbengong saat sang ketua OSIS baru
saja melewati kami, dan melangkah menuju kelasnya.
“Senyumnya itu lho....” ujarnya sambil cekikikan. Maka
setelah kejadian like status juga pertemuan kami di perpus. Tema tentang Kak Rendi
mendominasi obrolan kami. Melati tak henti-hentinya berbicara dan
menyambung-nyambungkan beragam kejadian pada kesimpulan yang dia inginkan.
Bahwa Rendi naksir padanya.
Sampai saat pulang sekolah kami bertiga ke Gramedia. Kami
bertemu dengan Kak Rendi di deretan buku terbaru.
“Aku yakin dia mendengar pertanyaanmu tadi, dan menyusul
kita ke sini, cuman buat ketemu aku.” Aku semakin geli mendengarnya. Aku yakin
temanku ini sudah mengalami erorr yang paling parah.
“Dia mau nyari buku fisika kali, bentar lagi katanya mau
olimpiade.” Ujarku dengan nada sebal namun kupaksakan tersenyum.
“Oh iya, aku juga liat twitt dia. Eh, kemaren juga dia
retweet postinganku lho.” Dia sampai merasa perlu berjingkrak-jingkrak di
perjalanan saat kami pulang. Seperti biasa, senyum lebar Kak Rendi yang selalu
terpasang saat berpapasan dengan kami itulah penyebabnya.
Menghadapi orang jatuh cinta itu aneh. Kalau cinta melekat,
tahi kucingpun terasa coklat. Aku lupa itu kalimat siapa. Tetapi aku rasa pas
dengan kelakuan Melati yang sudah tidak bisa lagi dinasehati dan bertingkah
memalukan di depan umum.
***
Pendaftaran untuk menjadi anggota OSIS telah dibuka. Aku dan
Melati salah satu yang mendaftar, sedang Sekar mendaftar club sastra. Pada jam
istirahat kami mendatangi sekre OSIS, Rendi sendiri yang melayani pendaftaran
di hari pertama. Kami hanya mengambil formulir, Melati so akrab bertanya ini
itu tentang latihan dasar kepemimpinan yang akan dilaksanakan tiga hari dua
malam.
Kalau bukan aku yang mengajaknya pergi, pasti dia sudah kena
omel banyak siswa lain yang mengantri untuk mengambil formulir juga. Kami
keluar dari ruang OSIS, aku yakin Melati dongkol.
“Melati...” ada yang memanggilnya. Suara yang kami kenal.
“Ini bukumu ketinggalan di ruang OSIS.” Rendi menyerahkan
buku bersampul cokelat itu dan berhasil membuat tangan melati bergetar. Kali
ini dia hanya menelan ludah dan tak berkata apa-apa.
“Benar itu bukumu?” Melati masih terbengong dan aku yang
mengiyakan.
“Untung belum jauh, kalo tidak aku pasti harus ke TU mencari
tahu kalian kelas berapa. Ok aku balik ke sekre ya.” Ujarnya sambil melangkah
ke arah sekre.
“Dia tahu namaku. Padahal tadi kan aku gak ngenalin
diri.” Ujarnya dengan mata yang masih menatap ke arah sekre. Sekalipun sosok
Kak Rendi sudah menghilang di tengah kerumunan siswa yang mendaftar.
“Dia pasti tahu, tuh namamu terpampang di sampul buku.”
Ujarku dengan nada sebal.
“Kamu kenapa sih, kayanya dari kemaren-kemaren gak seneng
banget liat temen bahagia.” Melati menatapku, menelisik ke dalam mataku.
Aku hanya membisu.
“Oh aku tahu, kamu ngiri kan? Kamu suka juga sama Ka Rendi
tapi sayang sekali Ka Rendi naksirnya sama aku. Ya...aku. kamu ga liat matanya
bersinar saat melihatku?” Obrolan itu diakhiri dengan ejekan Melati dan mukaku
memerah. Aku memang mengakui bahwa aku menyukai Kak Rendi tetapi caraku
mengaguminya elegan. tidak lantas berjingkrak-jingkrak saat disenyumin, atau
status fecebook aku di-like. Sebelum semuanya jelas siapa yang Rendi suka. Aku
menjelaskan panjang lebar tetapi Melati tetap tak percaya dan habis-habisan meledek
aku ngiri padanya.
Kecuali setelah terjadi sebuah kejadian, yang membuat
semuanya terang, seterang mentari. Siang itu, sehari setelah kami mengumpulkan
form pendaftaran OSIS, Kak Rendi sengaja datang ke kelas kami. Aku dan Melati yang
sedang berada di depan kelas dihampirinya.
“Aku udah baca biodata kalian, aku liat Kania, namamu Kania
kan?” tanyanya padaku dan aku mengangguk, aku tidak melihat bagaiman reaksi
Melati. “Kania, kamu suka The Sigit? Kebetulan aku punya dua tiket konsernya,
sayangnya cuman ada dua, jadi maaf aku cuman bisa ngajak kamu aja. Mau kan?” Aku mengangguk. Kali ini
aku merasa manang. Apa kubilang, jangan geer dulu, buktinya Kak Rendi sukanya sama
aku. Ini sudah jelas. Dia ngajak aku ke konser ko.
Dan setelah kejadian itu Melati tak mengajakku berbincang
dalam waktu yang lama. Ia pasti sangat terpukul. Kini aku duduk bersama Sekar
dan Melati pindah ke belakang. Hal ini lebih parah dari dugaanku. Bukan cuman
dia yang patah hati, tetapi persahabatan kami jadi hancur. Aku yakin sebentar
lagi dia baikan, ini pelajaran buat dia yang selalu saja kegeeran.
Hari itu akhirnya tiba, Kak Rendi menjemputku dengan motornya,
dia tampak lebih keren dengan setelan kaos, kemeja kotak-kotak dengan semua
kancingnya terbuka serta celana jins belel.
Aku melirik ke halaman rumah Melati, apakah dia melihat kami
berdua boncengan. Tapi aku tak melihat tanda-tanda itu.
“Makasih yah udah mau nemenin aku nonton, aku ga ada temen.
Kamu ga sibuk kan?”
“Engga ko, seneng malah diajakin ke konser The Sigit. Ga
nyangka Ka Rendi juga suka.” Siapapun yang melihatku pasti melihat rona bahagia
di wajahku.
“Sebenernya aku sekalian pengen nanya-naya sesuatu sama
kamu. Tapi aku malu. Seneng juga akhirnya bisa ngobrol berdua sama kamu.”
“Pengen nanya apa, Kak?” aku menyiapkan telinga, hatiku
buncah dengan bahagia.
“Errr... sebenernya aku malu. Jangan ngetawain aku yah.”
“Ga ko, janji ga akan ngetawain.” Aku semakin penasaran.
“Kamu deket sama Sekar kan? Anak Club sastra. Aku liat
kalian sering bareng-bareng. Aku suka sama dia sejak liat dia di penerimaan
siswa baru, kayanya unik deh orangnya... aku pengen nanya-nanya ten.. dia..
kal... temen... ba..”
Suara Kak Rendi timbul tenggelam di telingaku. Aku
berpegangan pada besi di jok yang kududuki. Badanku tiba-tiba lemas. Dan
kemudian gelap.
Comments
Post a Comment