Maharani
“Izrail yang baik, sekarang aku bisa tenang menyambutmu datang.
Terima kasih karena sudah bersabar. Mari.”
Lampu kereta menyorot tajam ke arahnya. Getarannya merambat pada
kaki mungilnya yang menapaki rel. Deruman suaranya yang semakin keras membawa
perempuan itu pada pemandangan gelap yang pekat. Inilah detik kekalahannya.
****
Maharani melemparkan telepon genggamnya ke atas kasur kemudian dia
menjatuhkan dirinya. Rona-rona kecantikan tergurat jelas di wajahnya. Di
usianya yang sudah melampaui seperempat abad, dia tampak masih remaja. Pipinya
tirus dengan rambut yang tergerai ikal membuat dia nampak semakin cantik
sekalipun bulatan hitam melingkari kelopak matanya.
Napasnya keluar satu-satu, sesekali tersengal membuat dadanya
kembang kempis. Siapapun dapat melihat beban berat yang sedang ditanggungnya.
Hasan baru saja keluar dari kamar mandi dengan hanya berbalut
selembar handuk. Dia membuka lemari dan memilih kemeja. Helaan napas Maharani
merambati gendang telinganya. Hasan menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak
beres tetapi dia memilih diam dan membiarkan kekasihnya itu bercerita tanpa dia
minta.
“Kau mau kemana?” tanya Maharani ketika dia melihat Hasan memakai
kemeja dan celana katun. Setelan resmi yang biasa digunakan Hasan ke kantor.
“Aku harus bekerja sayang. Bukankah kita sudah sering
membicarakannya? Aku harus banting tulang demi keluarga baru kita.”
“Tapi hari ini kan libur? Kenapa kau tak tinggal saja? Kepalaku
pusing.” Ujar Maharani setengah merengek. Dia bangkit dari tidurnya dan menarik
perhatian Hasan untuk memalingkan wajah padanya. Mata mereka beradu.
“Angga tidak mau menceraikanku.” Suara bergetar Maharani meluncur
bak sebuah bom yang meledak di telinga Hasan. Maharani hanya menunduk, tubuhnya
berguncang kemudian dia terisak hebat.
Hasan terpaku melihatnya, dia seperti menemukan sosok yang tak lagi
dikenalnya. Kecantikan Maharani yang dulu begitu membiusnya tak pernah berubah.
Tetapi ada yang hilang. Dia tidak lagi menemukan keanggunan, kelembutan hati
yang dulu ditunjukkan Maharani. Hal yang dulu memaksa dirinya untuk bertindak nekat
merebut perempuan itu dari suaminya.
Hasan mulai mendekati dan merengkuh perempuan yang dikasihinya
dengan segenap jiwanya itu. Tak ada kalimat yang ingin dia ucapkan. Dulu dia
yang meminta perempuan itu untuk meninggalkan lelaki yang tak pernah dicintai
Maharani. Dia meminta berulang kali, bukan karena ia ingin memaksa. Lagi pula
siapa yang ingin dicintai dengan terpaksa. Hasan merasa, hanya dia yang layak
memiliki perempuan ini. Dan gayung pun bersambut, wanita mana yang tidak akan
terpesona pada ketampanan desertai kemapanan yang dimiliki Hasan.
Tangis Maharani tak kunjung reda. Hasan melepaskan dekapannya
kemudian menatap wajah perempuan itu lekat.
“Aku akan pulang cepat. Kau istirahatlah. Nanti kita bicarakan
lagi. Tenang ya, semua akan baik-baik saja.” Ia mengelus kepala Maharani
kemudian beranjak menuju pintu rumah yang mereka sewa sebulan terakhir.
Hasan memanaskan motor kemudian menerobos keramaian ibu kota menuju
tempat lain. Bukan kantornya. Hasan butuh waktu untuk dirinya. Dia harus
memikirkan semuanya. Setiap keputusan yang tak pernah dia pikirkan panjang
lebar. Hasan hanya mengikuti perasaannya yang terpesona dengan perempuan itu,
dia ingin memilikinya. Dan dia harus mendapatkan apa yang dia inginkan. Itu
saja. Keinginan yang akhirnya membawa petaka besar.
Sebisa mungkin ia membujuk hatinya dan mengusir setiap
penyesalannya. Dia sudah melangkah dan dia akan menghadapi semuanya.
****
Rizal melangkah tergesa memasuki pekarangan rumah adiknya. Berbagai
jenis bunga ditanam di pot warna merah bata yang berjejer rapi. Kelihatan benar
pekarangan itu tak terawat baik oleh pemiliknya. Daun kering berserakan disana-sini.
Tanahnya retak-retak kekurangan air.
Angga menyambut baik kehadiran kakaknya, dia sendiri sedang
menikmati kopi pahit sambil membuka-buka koran ketika tanpa kabar sebelumnya
Rizal mengetuk pintu rumahnya.
Kalimat basa-basi seperti bertanya kabar, bagaimana pekerjaan di
kantor dan sedikit membahas tentang kenaikan BBM yang merupakan isu terhangat
hari ini menjadi bahan obrolan mereka. Sekalipun mereka sama-sama tahu bahwa
pertemuan tiba-tiba ini hendak membicarakan permasalahan yang lebih krusial.
“Bagaimana kabar Rani?” Rizal membuka obrolan yang menjadi tujuan
utama kedatangannya ke rumah adiknya ini.
“Kamu udah tahu kabar yang beredar kan? Dia udah pergi dengan
lelaki bangsat itu.” Tidak ada kemarahan yang terlihat dari wajahnya yang
menyunggingkan senyum satire. Tetapi intonasi bicara dan dari hembusan napasnya,
Rizal tahu betapa berat semua ini bagi Angga. Dia tahu bahwa lelaki di
hadapannya ini tak pernah bisa mencintai perempuan lain. Baginya Maharani
adalah satu-satunya pilihan. Hingga dua tahun yang lalu mereka mengikat janji. Hingga
hari ini, saat ikatan itu telah terurai, tercerai berai.
“Kau sudah menceraikannya?” ucap Rizal.
“Tidak, aku tidak akan melepaskannya. Sampai kapanpun.”
“Kalian sudah tidak lagi bersama. Kenapa kau bertahan dengan
hubungan yang jelas-jelas tidak membuat kalian bahagia.” Rizal sudah tidak
membendung amarahnya. Dia menganggap adiknya telah meruntuhkan harga dirinya
dengan membiarkan istrinya digoda lelaki lain dan sekarang dia diam saja
melihat semua ini. Seandainya Rizal berada di posisi Angga, mungkin dia sudah
membunuh mereka berdua. Melaporkan mereka pada polisi atau apalah selain diam
saja seperti lelaki di hadapnnya ini.
“Dia harus merasakan sakit seperti yang aku rasakan. Dia tidak akan
bebas dengan mudahnya. Lagian aku akan selalu maafin dia dan ngasih dia
kesempatan kembali. Seperti sebulan lalu dia terbaring di rumah sakit, dia
sekarat dengan kanker yang dideritanya. Aku mengampuninya, sekalipun dia
mengaku bermain di belakangku.”
Rizal merasa pembicaraan ini sia-sia. Kedatangannya kesini untuk
membantu menyelesaikan permasalahan adik satu-satunya itu telah membuat dia
jengah dan menyerah.
****
“Kenapa ketika aku menagis seperti ini Hasan pergi meninggalkanku?”
Ujar Maharani dalam hati. Apa yang membutakan Maharani selama ini untuk bersama
Hasan? Sebelumnya dia memiliki segalanya, kecantikan, suami yang baik serta
setia, dan kebutuhan rumah tangga yang berkecukupan.
Maharani merasa bahwa semuanya masih belum cukup ketika dia bertemu
Hasan, rekan kerjanya. Lelaki yang ketika bersamanya dia merasa dicintai,
dihargai, dan dia pun merasakan hal yang sama. Hasan, adalah lelaki yang
mengutuhkannya. Akan tetapi, kehidupan ternyata tidak memberikan dia segalanya.
Kehidupan hanya menawarkan dia pada pilihan-pilihan.
Maharani beranjak dari tempat tidurnya. Ia mengganti baju dengan
pakaian terbaik yang dia miliki. Sebuah terusan berwarna merah marun yang
demikian kontras dengan kulit putihnya. Dengan senyum terkulum Maharani keluar
dari kamar seluas 5X5m yang didiaminya bersama pasangan haramnya sebulan
terakhir. Dia merasa kotor, hina dan terluka dengan segala kekejaman hidup yang
menderanya. Dia juga merasakan sakit teramat sangat di perutnya. Kanker yang
menggerogoti organ tubuhnya. Kesakitan lahir dan batin yang ingin segera ia
akhiri.
Kali ini dia menyerah. Hatinya telah buta. Dia melangkahkan kaki
dengan gontai menuju rel kereta api yang berada tak jauh dari rumah
kontrakannya.
“Bukankah hidup adalah pilihan? Dan inilah pilihanku.”
Bandung, 10 Mei 2013
Comments
Post a Comment