Catatan (terlambat) 24 Tahun


Saya katakan terlambat karena saya berulang tahun bulan lalu, tepatnya tanggal 23 April. Hal yang saya pikirkan pertama kali saat terjaga di pagi hari, tanggal 23 itu bukanlah berharap mendapat ucapan selamat pukul 12 malam, kejutan, tiup lilin atau kado. 
Pertama, karena memang saya dibesarkan dengan pemahaman "tidak ada perayaan ulang tahun". Saya teringat waktu kecil pernah bertanya kenapa saat saya ulang tahun, tidak ada kue, tumpeng atau kado seperti teman-teman saya yang lain. Orang tua saya hanya menjawab "Ulang tahun yang sesungguhnya bukanlah tiup lilin atau makan tumpeng, tetapi kamu bertambah usia disertai dengan bertambah dewasa, tidak meninggalkan salat, dan makin rajin belajar." Kira-kira begitulah, saya tidak terlalu ingat redaksi yang diucapkan ayah saya. Yang pasti saya merasa cukup dengan jawaban tersebut.
Kedua, yang saya pikirkan saat terbangun di pagi itu adalah saya merasa benar-benar takut mati.
Foto : Dokumentasi pribadi
Bangun sebelum subuh, salat beberapa rakaat sudah cukup membuat hari itu terasa anomali, membuat teman sekamar saya yang tahu persis rutinitas pagi hari saya terheran-heran. Entah kenapa saya merasa takut mati pada hari ulang tahun saya. Saya mulai berpikir, jika saya mati hari ini, barangkali saya akan dikenang sebagai orang yang meninggal tepat pada ulang tahun yang ke-24. Atau malah sama sekali tidak akan ada yang mengenang saya? Terbayanglah wajah orang-orang terdekat saya, apa yang akan mereka pikirkan jika saya mati. Akankah mereka datang ke pemakaman saya?

Ah, saya tidak layak berharap banyak, karena memang selama ini saya terlalu sering menyakiti rang lain. Terlalu banyak janji yang tidak saya penuhi. Terlalu banyak orang yang telah berbaik hati pada saya dan saya berhenti menyapa atau bertanya kabar kepada mereka. Terlebih, terlalu banyak hal yang belum saya selesaikan. Belum lagi kesalahan yang belum saya taubati. Masih terlalu banyak. Apakah saya akan termasuk pada deretan orang-orang yang mengatakan "Jangan cabut nyawa saya sekarang, Tuhan! Saya belum siap. Belum banyak hal baik yang saya lakukan." saya harap sih tidak.
 Maka, hari itu saya tiba-tiba menyebrang jalan teramat hati-hati. Menaiki tangga pelan-pelan. Kemudian tak lupa melakukan rutinitas tahunan yaitu mengirim pesan singkat kepada orangtua. Yah, hanya pesan singkat sekadar mengucapkan terima kasih atas dedikasi mereka merawat saya selama 24 tahun dan meminta maaf atas kebengalan saya yang entah kapan akan saya akhiri. Hal kecil yang selalu terasa berat untuk saya lakukan karena seharusnya saya memberikan hadiah atau sesuatu yang lebih baik kepada kedua orangtua. Saya sendiri tak kuasa menahan air mata saat membaca pesan yang saya ketik.
Yah, pada akhirnya, saya merasa resah dengan ketakutan akan mati di usia segini. Sekalipun saat beban yang saya pikirkan teramat berat saya menginginkannya sebagai solusi instan. Hanya saja, selalu ada pikiran "Sudah? Sampai sini aja akhir diriku?" Tidak... novelku belum selesai, belum bisa berbuat baik sama keluarga, belum bisa menjaga diri dari api neraka, belum... belum... belum... Maka sudah seharusnya saya mengakhiri catatan galau  ini dan mulai melakukan hal lain yang lebih nyata.
Demikian. Selamat malam!

Bandung, 1 Mei 2014

Comments

Popular posts from this blog

Yang Terbaik Bagimu* (Puisi untuk Ayah)

Hanya Isyarat [Rectoverso]

5 Upaya agar Bisa Konsisten Ngeblog

Dapet Kerjaan Gara-gara Ngeblog

Seni Membuang Barang [Edisi Pakaian]

Tamasya Ingatan (Sebuah Surat untuk Fathia Mohaddisa)