Review Bumi dan Beberapa Hal tentang Membaca
Gambar dari sini. |
Identitas Buku
Judul: Bumi
Pengarang: Tere Liye
Penerbit: Gramedia
Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2014
Jumlah Halaman: 440
halaman
Tak
banyak penulis Indonesia yang menggarap genre Fantasi dan Sci-Fi menjadi sebuah
cerita yang bagus. (Ah barangkali ini hanya pendapat saya saja yang bacaannya
masih terbatas.) Tere Liye adalah salah satunya.
Lewat
novel Bumi, Tere Liye mengangkat tema mengenai dunia paralel. Bercerita tentang
seorang anak belasan tahun yang bernama Raib. Seperti namanya, dia bisa raib
dari pandangan orang lain hanya dengan menangkupkan kedua tangannya ke wajah. Raib bisa tiba-tiba tak terlihat tanpa
repot-repot bersembunyi. Dia juga punya kebiasaan diam-diam memerhatikan
seseorang tanpa orang itu sadar bahwa dirinya sedang diperhatikan. Ah, bukankah ini
kemampuan yang mengasyikan? Tetapi, kemampuan yang dimiliki oleh anak berusia 15 tahun
ini bukan tanpa sebab. Ada misteri dibalik kemampuan itu yang baru akan
diketahui pembaca di bagian akhir cerita.
Bumi
adalah buku pertama yang saya baca setelah dua tahun berhenti membaca buku-buku
Tere Liye. Alasannya karena nyaris semua buku Tere Liye pernah saya baca dan
beberapa buku yang belakang terbit pernah saya baca secara bersambung di multiply
atau fans page beliau.
Sejak
dulu, bahkan sampai saat ini, saya masih menganggap bahwa cerbung Bangsat-Bangsat
Berkelas (yang kemudian diterbitkan dengan judul Negeri Para Bedebah dan Negeri
di Ujung Tanduk) adalah karya terbaik Tere Tiye (jika sebutan masterpiece
terlalu berlebihan).
Bumi adalah novel yang beberapa
bab awalnya sempat diposting dan saya ikuti di fans page Tere
Liye. Dulu sekali saya begitu antusias membacanya. Saya terhenyak saat
membacanya lagi beberapa waktu lalu dalam bentuk novel. Saya merasa cepat
sekali bosan. Saya berubah menjadi pembaca yang tidak sabaran mengikuti detail cerita
tentang mesin cuci rusak, adegan mengerjakan PR dan hal-hal lain yang kemudian
saya pikirkan apa pengaruhnya terhadap jalan cerita.
Saya
menganggap bahwa bacaan kita terus bertumbuh begitu juga dengan kemampuan
seorang penulis akan terus berkembang. Hal inilah yang menjadi dasar kenapa saya
membaca Bumi. Novel yang yang terhitung baru. Karena saya berekspektasi
kebaruan dari tulisan Tere Liye. Setelah membaca ini, saya merasakan ada sesuatu
yang baru dari satu sisi tetapi tidak dalam hal lain.
Saya
menemukan ada kebaruan dalam masalah tema tentang dunia paralel yang diangkat. Ini
menarik karena kesan Tere Liye sebagai penulis cerita romance dan tentang keluarga sangat
melekat di benak saya.
Akan
tetapi saya tidak menemukan kebaruan dengan gaya berbahasa. Saya masih
menemukan diksi yang khas. Membuat saya sesekali tergelitik membacanya. Sebuah
gaya yang akan ditemukan pada sebagian besar bukunya. Hal ini berarti Tere Liye sudah memiliki gaya berbahasa, pada satu sisi akan
membuatnya bisa dibedakan dengan penulis lain dengan genre sejenis. Pada sisi lain akan membuat pembaca setianya mudah bosan.
Bintang
tiga dari lima barangkali layak diberikan kepada novel ini karena kesungguhan penulisnya
untuk menyuguhkan cerita fantasi dan memberikan penjelasan ilmiah atau analogi
yang mudah dipahami. Cover bola dunia dan telapak tangan juga bisa mewakili cerita di
dalamnya. Saya termasuk orang yang sering menebak-nebak kenapa seorang
penulis memilih judul dan cover itu dan apa hubungannya dengan cerita di
dalamnya. Sebab cover adalah suguhan pertama penulis kepada pembacanya.
Ada beberapa hal yang menjadi catatan bagi saya sebagai pembaca,
berikut diantaranya:
Pertama, Stephen King mengatakan bahwa sebuah cerita bermula dari benak penulis
dan harus sampai di benak pembaca. Sebuah cerita fantasi tentu berawal dari
imajinasi penulis dan pembaca harus bisa menangkap isi pikiran penulis lewat
deskripsi dan narasi. Saya merasa ada beberapa detail cerita yang tidak sampai
dengan baik karena penulis terlalu tell, tidak show.
Misalnya,
menyebutkan pakaian dan beberapa benda di dunia paralel itu aneh. Tentu saja
pembaca membutuhkan deskripsi dari sebuah benda aneh yang dimaksud penulis itu
seperti apa lewat kekuatan deskripsi.
Kedua, tokoh sentral dalam novel ini berusia 15 tahun. Tetapi sepanjang
cerita saya masih menganggap bahwa si tokoh berusia di bawah itu. Raib memang
seorang remaja yang tergolong unik dibandingkan anak seusianya. Dalam frame
saya seorang anak SMA senang bermain-main sepulang sekolah
lalu memikirkan tentang cinta khas remaja. Raib, begitu juga temannya memilih
mengerjakan PR, ikut klub menulis atau membantu ibunya. Terlihat sekali bahwa penulis memiliki idealisme
yang tinggi untuk menunjukkan tokoh anomali yang bisa menjadi teladan bagi
pembaca remaja.
Ketiga, novel ini masih mengupas permukaannya saja dari sebuah tema besar
dunia paralel. Masih ada bayak hal yang menjadi pertanyaan. Kabar baiknya
buku ini masih terus berlanjut ke buku kedua.
Setelah
membaca Bumi, saya tersadar bahwa kemampuan membaca dan memahami bacaan kita akan terus bertumbuh saat
memiliki bacaan yang variatif. Fanatisme berlebih pada satu penulis hanya akan
membuat pikiran dangkal dan tidak berkembang.
Saya
kemudian mengingat pesan seorang teman, “Sukailah bukunya atau bencilah bukunya!
Bukan penulisnya!” Setelah dua tahun tidak membaca buku dari seorang
penulis yang sama secara terus menerus, saya baru bisa memahami pesan teman
saya tersebut.
Bandung, November 2014
Nufira Stalwart
Comments
Post a Comment