[Review] Konstantinopel: Misteri di Balik Jari Kelingking yang Hilang
Pengarang: Sugha
Penerbit: DIVA Press
Cetakan: Pertama, April 2015
Jumlah Halaman: 272 Halaman
Harga: Rp. 40.000
"Aku akan membawa kalian semua bersamaku, satu per satu!"
Itulah pesan yang ditinggalkan oleh pelaku pembunuhan berantai dalam kisah ini. Pembunuhan berantai ini sampai berhasil menggoncang stabilitas negara karena terjadi di tengah hiruk pikuk menjelang Pemilu. Terlebih, para korban pembunuhan ini bukanlah orang biasa. Mereka adalah sekelompok anak muda Indonesia yang pernah berkuliah di Turki dan menamai kelompok mereka dengan sebutan Konstantinopel.
Selain anak pejabat, anggotanya juga merupakan orang penting di pemerintahan. Sebut saja, Ine Wijaya, korban pertama pembunuhan itu merupakan caleg terpilih yang tertabrak kereta api. Anggota kedua yang selanjutnya menjadi korban adalah Sandra Sienna Dewi, lewat kebakaran besar di sekitar tempat tinggalnya. Sekalipun kematian mereka terlihat seperti kecelakaan biasa, ada benang merah dari setiap kematian yang terjadi, yaitu hilangnya jari kelingking korban. Demikianlah, nyawa lima anggota Konstantinopel lain pun tengah terancam.
Selain anak pejabat, anggotanya juga merupakan orang penting di pemerintahan. Sebut saja, Ine Wijaya, korban pertama pembunuhan itu merupakan caleg terpilih yang tertabrak kereta api. Anggota kedua yang selanjutnya menjadi korban adalah Sandra Sienna Dewi, lewat kebakaran besar di sekitar tempat tinggalnya. Sekalipun kematian mereka terlihat seperti kecelakaan biasa, ada benang merah dari setiap kematian yang terjadi, yaitu hilangnya jari kelingking korban. Demikianlah, nyawa lima anggota Konstantinopel lain pun tengah terancam.
Adalah Putra Bimasakti, seorang pemuda fresh graduate lulusan terbaik STSN yang baru saja ditempatkan sebagai Staf Ahli Bidang Politik sekaligus asisten Wakil Kepala Badan Intelejen Negara. Dia harus ikut terlibat dalam memecahkan pola yang digunakan pelaku pembunuhan. Hal ini tentu saja untuk menghindari lebih banyak korban dan pelaku tidak lagi bebas berkeliaran. Mampukah Bima mengungkap misteri di balik kelingking yang hilang?
Saya membaca Konstantinopel (sesuai saran penulisnya) tanpa ekspektasi apapun. Hanya ingin masuk dan menikmati cerita di dalamnya. Alasan saya membaca ini sebenarnya karena ini novel teman sendiri. Tetapi, saat membacanya, saya lupa kalau yang nulis ini teman saya.
Menurut pengakuan penulisnya, novel ini ditulis sebelum dia mengenal apa-apa tentang teknis menulis. Saya tidak percaya itu. Karena novel ini tidak seburuk yang disebut-sebut penulisnya. Kekuatan Konstantinopel terletak pada alurnya yang cepat. Membuat saya ingin terus mengikuti cerita selanjutnya dan sayang untuk menunda membacanya dalam waktu yang lama. Terlihat sekali kalau penulisnya begitu menguasai genre ini dan telah memperhitungkan semua detail dengan baik. Sehingga saya dibikin menebak-nebak sebenarnya siapa pelakunya dan siapa lagi yang bakal jadi korban selanjutnya.
Seperti novel thriller pada umumnya, saya merasakan ketegangan saat terjadi adegan kejar-kejaran. Atau di bagian lain, tanpa sadar saya menahan napas sejenak saat si pelaku dengan dinginnya menekan pelatuk pistol yang mengarah ke tubuh korban. Nah, uniknya malah di beberapa bagian saya dibikin tertawa ngakak, baik karena tingkah para tokoh, dialog diantara mereka yang sekali waktu kaku atau lucu. Ditambah dengan munculnya kalimat-kalimat satir dan ironis. Dari sana pembaca bisa tahu bahwa penulis novel ini memiliki selera humor yang lumayan tinggi.
Seperti novel thriller pada umumnya, saya merasakan ketegangan saat terjadi adegan kejar-kejaran. Atau di bagian lain, tanpa sadar saya menahan napas sejenak saat si pelaku dengan dinginnya menekan pelatuk pistol yang mengarah ke tubuh korban. Nah, uniknya malah di beberapa bagian saya dibikin tertawa ngakak, baik karena tingkah para tokoh, dialog diantara mereka yang sekali waktu kaku atau lucu. Ditambah dengan munculnya kalimat-kalimat satir dan ironis. Dari sana pembaca bisa tahu bahwa penulis novel ini memiliki selera humor yang lumayan tinggi.
Saya merasa, satu-satunya kekurangan novel ini adalah KURANG TEBAL. Tersebab ruang yang sempit ini membuat penokohan tidak tergarap dengan baik. Tokoh Bima, Cinta, dkk. bukanlah tokoh yang akan terus saya ingat. Selain itu, ruang yang singkat ini membuat semuanya serba sekilas dan hanya di permukaannya saja, tidak mendalam.
Saya juga menyayangkan adanya kesalahan ketik dalam novel ini, jika dihitung bisa lebih dari tiga. Terutama yang paling fatal ada di halaman 18 disebutkan bahwa itu adalah pemilu tahun 2010. Padahal di awal, ini adalah pemilu tahun 2011. Saya sampai harus menghitung ulang, yang benar yang mana. Ini hanya sekadar catatan untuk perbaikan di cetakan selanjutnya.
Kalau tidak salah, novel ini ditulis sekitar 2011 dan dikirim ke penerbit tahun 2012. Namun, baru diterbitkan sebulan yang lalu. Penantian yang cukup panjang, bukan? Tentu saja selama itu pengetahuan dan pengalaman penulisnya terus bertambah dan berkembang. Maka dari itu dia meminta saya untuk tidak terlalu berekspektasi lebih. Saya kemudian berpikir, jika novel yang ditulis tahun 2011 saja bisa seperti ini, apalagi jika dia menulis novel sekarang? Over all, permulaan yang bagus. Novel selanjutnya dari penulis yang sama layak untuk dinantikan.
"Nufira yang cakep"-nya itu pesanan!!! |
Comments
Post a Comment