Catatan Kecil tentang Pertemuan [2]
“Badanmu
nggak nambah tinggi.” Itulah
kalimat pertama yang dilontarkan lelaki itu kepada saya dalam pertemuan pertama
kami setelah sebelas tahun tak berjumpa. Bayangkan! Sebelas tahun! Tidak adakah
kata yang lebih romantis dan puitis semacam ungkapan kerinduan dan sejenisnya?
Kenapa hal pertama yang muncul
malah komentar tentang tinggi badan saya yang entah tersumbat apa tak pernah
bertambah sejak sekolah menengah pertama? Saya tahu dia sedang bercanda, sebab setelahnya
dia terbahak. Saya pun menamparkan tangan ke
pundaknya.
Barulah beberapa hari kemudian dia mengungkapkan perasaan
bangganya pada diri sendiri sebab pada pertemuan pertama kami dia bisa membuka
percakapan dengan kalimat paling jenius. Jenius sebab kami sama-sama menunggu
kalimat apa yang akan muncul setelah sebelas tahun nggak bertemu, kemudian
kalimat itu akhirnya sama-sama membuat kami cair dan perasaan canggung berlalu
begitu saja.
“Setelah
sebelas tahun nggak ketemu, kenapa kamu tambah ganteng?” Ini bukanlah kalimat pertama saya. Tapi
inilah kalimat pertama yang muncul di kepala saya saat dia membuka helm full
face miliknya. Butuh waktu
beberapa lama untuk mengumpulkan keberanian serta menanti waktu yang tepat untuk mengutarakan pikiran gila saya itu.
Saat akhirnya kalimat itu meluncur dari bibir saya, dia mengaggap itu sebatas “ngabubungah”, hanya untuk membuat dia berbahagia. Saya
terus mengatakannya hingga besoknya, besoknya dan besoknya lagi. Dia menuduh saya salah lihat, mata saya
rabun, saya tengah menggosip dan sebagainya. Tapi saya terus ngotot
mengulang-ngulang kalimat yang sama. Sampai suatu saat nanti dia percaya bahwa itu benar adanya.
Hari itu kami membuka kotak yang, thank God, bukan pandora. Kotak itu tak
lain adalah diri kami yang sama-sama kami buka setelah sebelas tahun
membiarkannya tertutup, tak mengizinkan satu celah pun terbuka. Selama ini kami hidup dengan
ingatan purba yang kami bangun tetang diri masing-masing. Barangkali dia
berpikir bahwa saya akan tumbuh lebih tinggi dari semasa sekolah. Saya sendiri
mengenangnya tak lebih dari sekadar anak empat belas tahun yang sesekali bengal
dan susah diatur. Kini saya tahu, bahwa
orang itu ternyata telah tumbuh lebih tinggi, dewasa, matang dan tentu saja semakin tampan.
Jadi, jadi, selama ini saya berteman baik dengan seorang lelaki tampan? Itulah
pikiran konyol yang berulang kali muncul di kepala saya lalu saya menertawakan
kebodohan ini. Mungkin kamu
bertanya-tanya, bagaimana mungkin seseorang merasa menjadi teman paling dekat, padahal hanya memiliki modal ingatan yang seadanya?
Hmm... Barangkali karena saat
saya berhubungan dengan seseorang saya tidak lagi mempertimbangkan seperti apa
postur tubuhnya atau paras wajahnya. Saya hanya mengenal karakternya, saya
mengenal bagaimana dia bersikap kepada saya dan seperti apa obrolan panjang
kami lewat pesan singkat.
Sebelum pertemuan
itu akhirnya terjadi, saya sempat merenung sejenak. Apakah dia benar-benar
ada di muka bumi ini? Apakah saya tidak sedang mengalami delusi? Saya
memiliki kekhawatiran jika selama ini saya sebenarnya ngobrol lewat telpon
dengan orang yang tak pernah ada, seseorang yang diciptakan oleh imajinasi saya
sendiri. Saya menepati janji untuk bertemu dan menunggunya di suatu tempat lalu
tak pernah ada yang datang. Saya begitu takut dengan pikiran saya sendiri.
Pertemuan itu
akhirnya terjadi. Sosok itu memang benar-benar nyata. Bisa saya sentuh
tangannya, saya cium parfumnya lalu saya amati lekukan di wajahnya. Orang yang menganggap
bisa memahami saya bahkan lebih dari saya memahami diri sendiri, orang yang
tanpa ragu berujar “aku akan membelamu apapun posisimu” itu benar-benar ada.
Pertemuan ini
juga membuka ketakutan-ketakutan kami. Dia yang selalu bilang takut nggak mau
pulang malah bisa bersikap lebih santai. Malahan saya yang
menahan-nahan dia untuk pulang dan merengek nggak mau berpisah. Ngg... sedikit
memalukan memang, sebab setelahnya dia kerap menyebut saya manja. Hancur sudah image
"perempuan dewasa" yang saya bangun bertahun-tahun.
Perihal ng-addict,
barangkali ada benarnya. Setelahnya saya ingin bertemu lagi dan lagi. Benar
kata orang, karena tahu bagaimana nyamannya
saat bersama, bertemu bukannya mengobati kangen tapi malah membuat kangen makin
menggila. Sial!
wkwkwk keren.
ReplyDelete