~Solitude

Mentari belum sempurna benar memanggang taman itu, gedung lantai lima di hadapannya masih menghadang sinar mentari, membuat lembab sekeliling. Sejuk tepatnya.

Sedang perlahan di belakang sana mentari merambat naik, menarik bayangan itu seinci demi seinci membuatnya semakin pendek, semakin mendekati kaki gedung.

Dia masih duduk disana, diantara empat meja dan bangku terbuat dari semen yang atasnya dilindungi kanopi. Air tergenang di meja dan bangku lain juga sedikit di meja yang ditempatinya, tapi tak lama juga mentari akan menguapkan genangan air itu. Begitu juga kelopak matanya ada danau kecil di bola mata coklatnya, tapi entahlah apa mentari mampu menguapkannya juga.

Bola mata itu menatap nanar dedaunan yang basah bekas hujan semalam, menyilaukan ketika diterpa mentari yang cepat merangkak naik. Kedua tangannya tertumpu di atas meja, jemarinya dianyam. Kulitnya yang putih tampak pucat.

"Kau boleh melakukan apapun selama kau merasa itu lebih baik. Tapi tolong, jangan sekali-kali membuat hidupmu rumit!"

Ia mendengar jelas suara itu, suara seseorang yang ia tahu akan mengatakan itu kalau tau apa yang dilakukannya sekarang.

"Hufff. . . ." Ia menarik nafas panjang, berat. Seberat beban yang ia tanggung sekarang.
"Aku tak mengerti kenapa jadi serumit ini!"Ujarnya.

"Karena kau membuatnya rumit!" Lagi-lagi suara seseorang itu terdengar, kali ini dengan intonasi yang lebih tinggi. Mungkin ia jengah, melihatnya sekarang yang lemah.

Tapi kemudian tokoh kita yang sedang terduduk itu menggeleng.
"Tidak, tidak! Aku terbawa arus hidup ini. Aku tak dapat memilih untuk sekedar terhenti dari arus waktu yang menyeretku."

Kupu-kupu kecil warna putih terbang rendah, menyentuh rerumputan yang sudah tersorot mentari. Tapi di posisi duduk dia masih lembab. Mentari belum menjangkaunya. Bisa saja ia berjalan mendekati rumput yang terkena mentari untuk sekedar menghangatkan tubuhnya, semoga saja ikut mencairkan hatinya yang beku. Tapi tidak dilakukannya.

Suara orang bercakap-cakap mulai terdengar dari arah gedung. Ini hari Sabtu, tapi aktivitas tetap berlanjut di Fakultas ini. Padahal kesini ia mencari tepatnya melarikan diri dari keramaian.

Ia membetulkan posisi duduknya, melemparkan pandangan ke arah lain.

"Mungkin kau hebat, tapi belum tentu kau kuat bertahan." Lagi-lagi tanpa dia minta, bayangan seseorang itu kembali memenuhi atmanya, mengabaikan inderanya yang masih berfungsi, bahwa ia sendirian disana. Tapi ternyata benar, kau tidak bisa melupakan seseorang hanya karena ia kini berada jauh bermil mil dari tempatmu berada, tapi ia masih lekat di sebuah ruang yang entah dimana namun terasa tanpa sekat.

"Iya aku mengerti, berulangkali kau mengatakannya, 'Tak penting seberapa hebat aku, yang penting adalah seberapa kuat aku mampu bertahan.' Tapi bolehkah aku berhenti disini sejenak, memikirkan kembali semuanya? Aku lelah!"
Akhirnya ia menjawab suara itu, suara yang bahkan sumbernya adalah ruang tak terdefinisi itu. Yang kemudian terdengar lagi suara seseorang itu.

"Hah,kau lelah? Aku bosan! Bosan melihatmu seperti ini. Kamu tau? Terlalu banyak kau habiskan waktu untuk berhenti, sedang langkahmu baru bergerak tak lebih jauh dari langkah anak kecil yang baru belajar berjalan, kemudian jatuh. Tapi kau jatuh terlalu lama, kau malas bangkit. Kau malah merutuki diri sendiri, merasa lelah seolah sudah jauh melangkah. Sedang anak kecil itu, ia berdiri lagi, lagi dan lagi. Sampai ia akhirnya bisa berjalan, berlari, sesukanya, semaunya! Lihat anak kecil itu, itu kamu 20 tahun yang lalu! Ayolah..Hidup terlalu singkat untuk tak berbuat*"

Rahangnya terkatup, itu penjelasan terpanjang dari sesorang itu selama beberapa menit ini. Ia sering berdiam diri seperti ini. Lalu ia mengangguk lemah, kemudian berdiri dan melangkahkan kaki ke arah Selatan, dari tempat ia duduk. Tempat duduk yang kembali lengang, sepi tapi kemudian hangat, tersentuh mentari. Akhirnya.

"Aku memang lemah, aku terlalu lemah untuk sendiri. Aku butuh kekuatan yang Maha."
Ia mempercepat langkah ke arah gedung lantai lima itu, mencari sebuah ruang di lantai dua untuk memberikan infak kepada setiap sendi dan bagian tubuhnya. Shalat Dhuha.


*kutipan lirik lagu Letto, judulnya..Apa ya?Saya lupa :D

Comments

Popular posts from this blog

Yang Terbaik Bagimu* (Puisi untuk Ayah)

Hanya Isyarat [Rectoverso]

5 Upaya agar Bisa Konsisten Ngeblog

Dapet Kerjaan Gara-gara Ngeblog

Seni Membuang Barang [Edisi Pakaian]

Tamasya Ingatan (Sebuah Surat untuk Fathia Mohaddisa)