Melepaskan [Cerpen]

Gambar dari sini

Diyanti tak lantas percaya ketika banyak orang yang mengatakan padanya bahwa hidup ini sederhana dan begitu mudah untuk dilewati. Buktinya ketika kali ini dia dihadapkan pada sebuah kenyataan pahit, batinnya seketika menjerit. Segala filosofi tentang kesederhanaan hidup, melepaskan dan mengikhlaskan tiba-tiba lenyap. Kali ini dia benar-benar merasa sulit melangkah.
Sejam sebelum jam kuliahnya dimulai, dia sudah menyeruput secangkir kopi di sebuah warung berbilik bambu di pinggir sebuah jalan alternatif di tengah kota Bandung tak jauh dari kampusnya. Warung kopi ini memang tersembunyi, yang datang kesini hanya karyawan dari pabrik yang menjamur di sekitar sini.
Hanya butuh waktu tiga menit menunggu, secangkir kopi hitam yang diseduh dengan air panas setengah dari takaran lazimnya sudah terhidang di meja. Sang pemilik warung sudah maklum dengan pesanan anak muda yang satu ini.
Diyanti tidak lantas menyentuh cangkir itu, tidak sekarang ketika asap masih mengepul dan aroma kopi menyeruak membungkus udara, tidak juga tiga puluh menit kemudian, ketika asap itu sudah tidak lagi terlihat dan suhu secangkir kopi itu sudah setara dengan udara sekitar.
Warung kopi itu masih sepi, hanya ada Diyanti yang duduk di bangku paling ujung, bangku yang menghadap langsung ke arah jalan dengan kendaraan berseliweran. Kedua bola matanya hanya memandang lurus ke jalan di depan warung itu dan tanpa aba-aba meneteslah buliran bening di pipinya. Diyanti membiarkannya, dan tak melakukan upaya apapun seperti segera ia mengusapnya dengan ujung lengan kemejanya atau mencari tisu. Ada rasa perih yang menggelanyut di dadanya yang membuat ia tak mampu menahan diri untuk tidak menangis.
Sang pemilik warung mendekati tempat duduk Diyanti, dia duduk tepat di hadapannya dan menghalanginya dari pemandangan jalanan. Pemilik warung itu mengenal Diyanti bukan hanya sebagai pelanggan kopi di warungnya.
“Sudahlah nak, tak perlu kau tangisi kepergian kakakmu.” Kalimat itu meluncur seketika dan membuat Diyanti tersentak.

“Dari mana bapak tahu tentang kematian kakak saya?” memandang dengan penuh tanya dan pipi yang masih berurai air mata.
Pemilik warung hanya tersenyum dan memalingkan wajah seraya berujar “Untuk apa kau menangis?”
“Wajar saja saya menangis, saya telah kehilangan orang yang tak hanya menjadi kakak tetapi juga ayah dan ibu bagi saya. Setelah lelaki yang harusnya kupanggil ayah minggat dari rumah, ibu mulai sakit-sakitan dan tak mampu lagi bertahan. Sejak saat itu aku hanya memilikinya dan kini dia sudah pergi.” Kalimat terpanjang yang mampu Diyanti keluarkan sebagai pembelaan.
“Aku bertanya untuk apa? Untuk siapa? Apakah karena kau benar-benar sayang kepada kakakmu? Kau menghawatirkan keadaannya di alam sana? Atau kau menangis karena kau iba pada dirimu sendiri?”
Untuk kesekian kalinya Diyanti  tersentak dan mulai tidak nyaman dengan kehadiran bapak tua di hadapannya itu. Memperetelinya dengan pertanyaan yang jelas memojokkannya. Diyanti semakin tidak mengerti maksud dan arah pembicaraan mereka. Diyanti hanya bungkam dan mulai mengacuhkan pembicaraan pemilik warung kopi itu.
“Kau menangis karena iba pada dirimu sendiri. Bukan karena kau demikian sayang kepada kakakmu.” Sekali ini Diyanti tidak tahan dan hendak beranjak dari tempat duduknya, membayar kemudian pergi. Tetapi orang tua di hadapannya terus saja mencercanya dengan pernyataan dan pertanyaan yang semakin tak mampu dijawabnya sekaligus menusuk ke dadanya yang dibenarkan salah satu sisi dirinya.
“Bukankah setelah ini kau tidak lagi memiliki orang yang selalu melindungimu, memenuhi kebutuhanmu dan akhirnya membuatmu kesepian, kehilangan, dan kau merasa sendirian. Perasaan macam itu membuatmu menangis dan mengasihani diri sindiri.”
Diyanti menatap wajah orang tua di hadapannya yang kini mulai tertunduk lesu. Air mata di pipinya mulai mengering karena tersapu udara dan panas mentari yang mulai beranjak naik. Diyanti mengerenyitkan dahi dan berjuta pertanyaan ingin ia muntahkan di hadapan pemilik warung yang sok tahu dan tidak memahami perasaannya. Namun sebelum Diyanti meluncurkan pertanyaan itu, lelaki di hadapannya melanjutkan kalimatnya yang belum tuntas.  Diyanti hanya diam, dia ingin tahu kalimat apa lagi yang akan keluar dari mulut pemilik warung itu.
“Jadi siapa yang sesungguhnya kau kasihi? Kakakmu atau dirimu sendiri?” Sesaat Diyanti terdiam kemudian dia merogoh uang dari sakunya, menyimpannya di meja seharga kopi yang belum dia sentuh itu, lantas beranjak pergi.
Pemilik warung itu mafhum dengan kondisi anak  muda yang beberapa saat lalu duduk di hadapannya. Ia pun sesungguhnya merasakan hal yang sama.
Seminggu yang lalu sebelum warung ini tutup, sebelum Diyanti tidak nampak batang hidungnya di kampus. Pak Teno, lelaki pemilik warung itu menemui keluarga dari orang yang menabrak putri semata wayangnya, dan ia hanya bertemu kerabat jauhnya sedang Diyanti, adik dari orang yang menabrak putrinya tak sadarkan diri ketika tahu bahwa selain seorang perempuan usia belia, kecelakaan itu merenggut nyawa kakaknya yang mengendarai sepeda motor dan terlempar sejauh 15 meter.
Selama seminggu terakhir Pak Teno menutup warungnya, begitu juga Diyanti absen dari kelasnya dan otomatis tidak mengunjungi warung kopi langganannya itu. Pak Teno hanya mengurung diri di rumahnya yang kini benar-benar sepi, makanan disentuhnya tanpa nafsu, dia seorang diri di kota besar ini. Dia merasakan kepahitan yang sama, setiap hari melewatkan hari dengan melamun dan meratap. Sampai suatu hari ia tersadar betapa ia iba pada dirinya yang kini sendiri. Ia sampai pada sebuah kesadaran bahwa manusia itu mencintai dirinya sendiri dan mencintai orang-orang yang cinta kepadanya.

Bandung, Mei 2013

Comments

Popular posts from this blog

Yang Terbaik Bagimu* (Puisi untuk Ayah)

Hanya Isyarat [Rectoverso]

5 Upaya agar Bisa Konsisten Ngeblog

Dapet Kerjaan Gara-gara Ngeblog

Seni Membuang Barang [Edisi Pakaian]

Tamasya Ingatan (Sebuah Surat untuk Fathia Mohaddisa)