Galaksi Kinanthi yang Ikut Terkubur Bersama Kenangan


“Kinanthi”
Itulah novel yang banyak diingat dan disebut-sebut di acara Kemah Menulis Antitesa beberapa minggu yang lalu. Terlepas dari, entah karena penulis novel itu adalah penyelenggara dari acara itu sehingga yang datang adalah para fansnya, yang pasti dada saya selalu bergetar ketika nama tokoh itu disebutkan. Novel itu, kisah beserta tokoh di dalamnya ikut terkubur di hati saya seiring terkuburnya kenangan yang membersamainya. Dan kali ini Kinanthi mendorongku untuk menggalinya kembali yang otomatis mengangkat kembali kenangan-kenangan yang terbenam itu ke permukaan. Aku ingin menulis surat untuknya. Begini:


Menjumpai,

Kinanthi Hope



Kali pertama aku berkenalan denganmu Thi, tersebab kehausanku membaca buku dan akhirnya mengobrak abrik rak buku teman dan menemukanmu tergolek disana. Kesan pertamaku melihatmu, terlihat menarik, unik sekaligus rapuh. Dadaku bergetar melihatmu Thi. Maka hari itu aku mulai membaca kisahmu satu persatu. Aiiih aku mulai terpikat dan tidak mau berhenti membaca sampai kamu dibawa ke Bandung, adegan di Museum Geologi, hingga ke Saudi Arabia dan Amerika kemudian kembali ke Gunung Kidul. Air mata membersamaiku menikmati kisahmu Thi.


Kisahmu demikian mengharu biru. Kata-katamu menyihirku hingga aku tak mampu berucap apa-apa. Aku begitu empati padamu karena kala itu aku merasakan hal yang sama seperti yang pernah kamu rasakan Thi. Aku mencintai seseorang ketika aku beranjak remaja. Kelas 2 SMP tepatnya. Semua orang terdekatku menentangnya, bahkan mengacuhkanku ketika tahu aku menerima cintanya. Yang aku tahu dulu dia teramat tergila-gila padaku. Dan aku merasakan hal yang sama.

Tetapi hubungan kami tidak lama, beberapa bulan kemudian, kami berpisah dan tak pernah berjumpa. Tak pernah ada kata pisah yang terucap. Aku masih menyipan namanya di sudut hatiku yang tak pernah tergantikan oleh siapapun. Hingga suatu hari aku pergi dari Gununghalu ke Cililin untuk melanjutkan sekolah SMA dan dia di Gununghalu. Bahkan kita sama-sama dari gunung Thi, kamu dari Gunung Kidul dan aku dari Gununghalu. Kebetulan sekali.

Saat itulah aku mendengar kabar bahwa dia telah bersama seseorang, aku tidak tahu harus bagaimana, apakah aku harus tertawa atau menangis. Aku kira tidak akan ada yang mampu menggantikanku di hatinya seperti aku yang tak pernah mampu menggantikan dia dengan sosok lain. Aku pun memutuskan untuk mengakhiri perasaan ini. Menyimpannya di sudut hatiku dan tak pernah lagi akan aku buka.

Dan kamu tahu Thi, beberapa tahun berselang, dia kembali, menjadi sosok seorang teman. Hatiku berontak, satu sudut hatiku ingin mencegahnya dan sisi hatiku yang lain berbahagia dengan kembalinya dia ke dalam hidupku, bagiku kabarnya saja sudah menjadi cukup. Dia bilang, aku adalah perempuan pertama yang mampu merasa membuatnya jatuh cinta. Ah dia pasti lupa pernah mengatakannya Thi.  

Aku bilang kita senasib Thi, mengapa? Karena sejak SMP hingga saat ini, bahkan saat tulisan ini dibuat, kami tidak pernah bertemu lagi. Aku mencintai dia, mengingat sosoknya sebagai seorang anak SMP dengan seragam putih biru dan tas gendong berwana perpaduan hitam dan oranye. Hanya itu sepotong ingatan yang kusimpan selamanya di hatiku Thi. Foto yang dia upload di media sosial bahkan tak pernah mampu menggantikan bayangan itu.

Dia kembali bukan hanya sebagai teman Thi, lebih dari itu bahkan lebih dari hubungan kami saat remaja. Kami memiliki impian membangun masa depan bersama. Aku mulai membangun kembali bangunan cintaku Thi.

Lebih cepat kuakhiri ceritaku saja Thi, karena banyak kejadian yang tak kuingat lagi, teramat menyakitkan atau begitu indah untuk aku kenang. Hal terakhir yang selalu menyadarkanku adalah bahwa lelaki mencintai seseorang wanita lewat matanya sedangkan perempuan mencintai lelaki lewat telinganya. Di kehidupan yang dia jalani barangkali dia bertemu seorang perempuan yang mampu memikat hatinya. Mengikis sedikit demi sedikit perasaan yang pernah dia punya untukku Thi. Sedangkan aku merasa cukup dengan mendengar suaranya, mendengar kabarnya. Tetapi ketika dia memilih orang lain maka bagiku pun merasa cukup Thi, cukup sampai disini saja perasaanku harus tertinggal.

Apa kau bisa membayangkan Thi, aku memulai kisah ini dengan sebuah benih cinta yang kutanam  di sudut hatiku, aku sirami dia setiap hari, aku beri dia dengan pupuk terbaik, aku siangi dia dari rumput liar atau parasit. Benih itu tumbuh dengan baik Thi bahkan di luar bayanganku ia menjadi pohon yang rindang kokoh dari terpaan. Daunnya lebat Thi, batangnya besar, akarnya mnghujam ke dasar hatiku. Kabar yang kudapatkan bahwa dia pada akhirnya memilih orang lain bak petir di siang bolong, menghantam pohon cintaku tanpa tendeng aling-aling. Pohon yang tumbuh bertahun-tahun itu tumbang Thi. Hancur. Akarnya tercerabut dari dasar hatiku. Yang tersisa adalah batang pohon yang membusuk dari waktu ke waktu.

Tak hanya cukup disana penderitaanku Thi, ada yang lebih hebat lagi, ada luka yang menganga di permukaan hatiku Thi, tempat dimana pohon itu pernah tumbuh. Luka yang mesti kusembuhkan dalam waktu yang lebih lama lagi Thi.

Saat kutuliskan kisah ini, kejadian tumbangnya pohon itu terjadi setahun yang lalu, tetapi barangkali ketika kau lihat wajahku, tak ada lagi sisa-sisa kesedihan akan kau lihat. Kau tahu kenapa? Enam bulan setelah kejadian itu, aku menyibukan diriku sendiri dengan membaca banyak kisah. Kisah tentang melupakan, tentang melepaskan tentang apa itu pilihan apa itu kesempatan. Aku bertemu denganmu Thi, aku menangis sejadi-jadinya, aku membaca kisahmu berulang-ulang baik itu di kamar, di taman, hingga di bis. Aku pernah menangis di bis sambil memeluk kisahmu.

Aku pun bertemu Rey[1] yang mengisahkan tentang perjalanannya menyusuri masa lalunya, sampai aku ingin menjadi Si Gigi Kelinci (yang namanya sama denganku) dia begitu setia pada suaminya. Aku pun bertemu Karang[2] dengan masa lalu yang menyedihkan. Bertemu Dam[3] yang mengisahkanku akan dongeng ayahnya yang mencari arti kebahagiaan dengan membuat danau. Terakhir aku bertemu dengan Sekar[4], aku begitu empati dengannya, menanti lelaki yang mencintai orang lain adalah siksaan, bagi dirinya sendiri juga bagi lelaki itu. Dan hei, inilah jawabannya. Aku ingin bahagia, aku juga ingin dia bahagia Thi, aku teramat mencintainya. Maka aku harus melepaskannya. Membiarkannya bahagia meski bukan denganku, membiarkan dia berbahagia dengan pilihannya. Inilah cara terbaik bagiku untuk mengobati luka menganga di hatiku. Aku harus melepaskan, merelakan.

Maka, sejak saat itu aku menyibukan diri dengan aktivitasku, kuselesaikan studi dan mulai bekerja. Namanya perlahan terkubur, juga kisah-kisah yang dulu pernah menemaniku kusimpan di rak buku dan kukunci rapat. Begitu pula dengan kisahmu Thi. Hingga beberapa minggu yang lalu aku bertemu dengan orang yang menceritakan kisahmu padaku dengan begitu indah. Dan banyak orang yang mencintai kisahmu aku ingin sedikit menyapamu dan memberikan kabar terakhirku.

Enam bulan setelah masa penyembuhan itu, aku bertemu dengan sesorang yang mengatakan padaku bahwa:

“Lelaki mencintai wanita dari 100 ke 0, sedangkan wanita mencintai laki-laki dari 0 ke 100. Itulah kenapa laki-laki harus banyak ‘nyekil’ ke wanita.”

Aku hanya tertawa, aku membenarkan kalimatnya. “Oh, pantesan dulu pernah ada orang yang membuatku jatuh cinta dari 0 ke 100, tetapi saat udah di angka 100 dia ninggalin aku, mungkin kadar cinta dia udah di titik nol.”

“Itulah kenapa aku akan berusaha mencintaimu dari 100 ke 1000 bahkan ke tak terhingga.” Ucapnya. Aku hanya menarik nafas panjang. Aku berharap ini bukan sekedar gombalan, aku pun berharap dan berusaha untuk dapat mencintainya dari 0 ke tak terhingga.

Thi, aku tidak tahu pada akhirnya siapa yang kau pilih, Zaxy atau Ajuz, aku belum membaca kisahmu yang terlahir kembali. Tetapi aku selalu berharap, seperti halnya dirimu, aku puin ingin menemukan pelabuhan cintaku yang terakhir, aku teramat lelah.

Salam hangat untukmu Thi, semesta menyayangimu....
***

Maka bagiku, sebuah kisah bisa menemaniku, bisa juga terkubur bersama kenangan atau bangkit kembali setelah sekian lama karena kejadian-kejadian. Biarkanlah kali ini saja aku mengenang potongan masa lalu itu. bukan untuk kuulangi atau kusesali. Hanya ingin kujadikan pelajaran, bahwa hati bisa terluka bisa berbahagia karena pilihan. Hari ini aku memilih berbahagia dengan hidupku, berbahagia dengan pilihanku. Apakah kamu juga begitu?

Bandung, 18 Juli 2013


[1] Tokoh dalam novel Rembulan Tenggelam di Wajahmu karya Tere Liye
[2] Tokoh dalam novel Moga Bunda di Sayang Allah karya Tere Liye
[3] Tokoh dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya Tere LIye
[4] Tokoh dalam novel Senja Bersama Rossie karya Tere Liye

Comments

Popular posts from this blog

Yang Terbaik Bagimu* (Puisi untuk Ayah)

Hanya Isyarat [Rectoverso]

5 Upaya agar Bisa Konsisten Ngeblog

Dapet Kerjaan Gara-gara Ngeblog

Seni Membuang Barang [Edisi Pakaian]

Tamasya Ingatan (Sebuah Surat untuk Fathia Mohaddisa)