Kisah Zero to Hero dari Langitan

Ini film tahun 2011, well kemana saja saya selama ini? Barangkali ini sedikit pembelaan bahwa saya bukan kaum sufi (suka film). Saya dibesarkan dengan bacaan, dan pada akhirnya lebih menikmati cerita lewat tulisan tinimbang lewat visual (film). Ketika saya menyukai sebuah film, biasanya saya memutar ulang film itu sampai beberapa kali, dan susah memulai melirik film lain kalau tidak merasa bahwa film itu “gue banget”.
Begini, pagi ini setelah menyelesaikan deadline tulisan, saya mulai memilih film untuk sekedar bersenang-senang di pagi ini. Dan saya pilih film yang telah lama ngendap di netbook saya dan belum saya tonton. Tendangan dari Langit. Nah, tulisan ini pun bukan kritik atau review, tepatnya curahan hati secara pribadi. 
Tidak semua film Indonesia itu jelek, itu hal yang saya percaya sejak lama. Setidaknya inilah salah satu film yang bisa saya nikmati. Film tahun 2011 yang baru saya tonton hari ini. Komentar saya pertama kali, saat melihat para pemain adalah hadirnya Sujiwo Tedjo, tokoh sastrawan yang saya gandrungi tulisannya. Dan benar saja, saya belajar tentang cinta dari beliau lewat film ini. Ketika wahyu bertanya tentang bagaimana menyeimbangkan antara kecintaan dia pada seorang gadis Bromo bernama Indah, dengan kecintaaan dia pada sepak bola. Tedjo menjawab, cinta itu menyatu, tunggal, hening, kalo kamu mencintai dua-duanya kamu akan melukai salah satunya. Oke seberapa ngefanspun saya sama beliau, saya berani berteriak ga setujuuuuuu! Ok begitu.

Bromo, yah inilah hal yang membuat mata saya menyala ketika melihatnya. Sekaligus selalu merasa miris, ironis dengan kondisi masyarakat disana. Eksotis sekali negeri ini Tuhan! Hal lain yang saya percayai sejak lama pula. Saya sempat menonton beberapa film yang setingnya di dataran tinggi jawa ini. Ga gagal pokonya!
Sepak bola, hal yang digandrungi banyak orang tak mengenal usia. Fanatisme dalam sepak bola, juga harus diiringi dengan kedewasaan dalam menaruh persepsi. Drama yang terjadi di lapangan selalu membuat saya merinding dan refleks berteriak.
Ini filemnya Persema ya? Celetuk saya dalam hati Tiba-tiba saya rindu untuk menyaksikan film tentang Persib. Tetapi ini jelas berbeda dari film tentang sepak bola yang pernah saya saksikan. Jika Green Street Holigan menyoroti fanatisme dari para pendukung kesebelasan masing-masing sampai menjurus pada anarkisme. Atau Will yang berkeinginan menuju Istanbul menyaksikan langsung Liverpool. Tendangan dari Langit menyoroti sepak bola dari sudut pemain.
Hal lain yang membuat sebuah cerita berupa film atau buku ga akan gagal dan pasti ada penikmatnya adalah tentang kesedihan, kejatuhan atau kekalahan. Kalah dalam sebuah perebutan, ataupun kalah dengan kenyataan, kondisi atau situasi. Tetapi pada akhirnya si tokoh mampu bangkit dari kesedihannya, dari keterbatasannya. Begitu juga yang saya lihat dari film ini. Saya menyukai film yang menyentuh sisi melankolis saya sekaligus membawa saya bangkit dan tercerahkan. Katakanlah zero to hero.
Saya anggap film ini adalah salah satu percikan api yang saya tangkap diantara gesekan rel dan roda kereta api. Saya jadikan pengalaman yang mencerahkan.
Beberapa kali saya tertawa dengan adegan atau dialog pemain. Benar-benar menghibur dan saya tersentuh di beberapa adegan klasik antara anak dan ayah, dimana posisi orang tua yang selalu merasa lebih tahu yang terbaik untuk ayahnya dengan posisi anak yang selalu bergairah untuk mencoba hal baru dan ngeyel. I like it! Overall entah karena kecintaan saya pada filsafat cintanya sujiwo tedjo ataukah saya menggandrungi sepak bola dalam negeri, saya menikmati sajian ini. Demikian...

31 Agustus 2013

Comments

  1. Suka banget sama jawaban Tedjo itu... Well, ulasan yang cukup menarik... :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Yang Terbaik Bagimu* (Puisi untuk Ayah)

Hanya Isyarat [Rectoverso]

5 Upaya agar Bisa Konsisten Ngeblog

Dapet Kerjaan Gara-gara Ngeblog

Seni Membuang Barang [Edisi Pakaian]

Tamasya Ingatan (Sebuah Surat untuk Fathia Mohaddisa)