Tokoh Anomali dalam Roman Sitti Nurbaya

Sosok anomali itu selalu ada di setiap generasi. Saya mendapati sosok itu dalam Roman Sitti Nurbaya. Roman yang ditulis oleh Marah Rusli di tahun 20'an ini memang dikenal hingga sekarang. Contohnya saja, nama Siti Nurbaya selalu disebut-sebut dalam obrolan berkaitan dengan kawin paksa, "Memangnya zaman Sitti Nurbaya?"
Selain tentang kawin paksa, roman ini bercerita tentang kasih tak sampai antara Sitti Nurbaya dan Samsul Bahri. Nah, ada dua tokoh yang menarik perhatian saya, yaitu Sutan Mahmud dan Ahmad Maulana. Keduanya, adalah tokoh anomali yang dimunculkan di tengah masyarakat yang menganut adat poligami (jumlahnya bisa lebih dari empat).

Misalnya saja Sutan Mahmud, ayah dari Samsulbahri. Dia merupakan keturunan ningrat. Sempat membuat kakaknya geram karena Sutan Mahmud menikahi perempuan yang biasa saja, tidak "berbangsa", dan hanya menikahi perempuan itu seorang diri. Padahal adat menyebut hina seorang lelaki yang tidak mencari perempuan lain.

"...Sekalian Penghulu di Padang ini beristri dua tiga, sampai empat orang. Hanya engkau sendirilah yang dari dahulu, hanya perempuan itu saja istrimu tidak berganti-ganti, tiada bertambahtambah. Bukankah harus orang besar itu beristri banyak? Bukankah baik orang berbangsa itu beristri berganti-ganti, supaya kembang keturunannya? Bukankah hina, jika ia beristri hanya seorang saja? Sedangkan orang kebanyakan, yang tiada berpangkat dan tiada berbangsa, terkadang-kadang sampai empat istrinya, mengapa pula engkau tiada?"
"Pada pikiranku, hanya hewan yang banyak bininya, manusia tidak," jawab Sutan Mahmud dengan merah mukanya. "Kalau perempuan tak boleh bersuami dua tiga, tentu tak harus laki-laki beristri banyak."

Menariknya, diksi yang digunakan Sutan Mahmud adalah "tidak harus" ini menunjukan bahwa sebenarnya dia mengetahui hukum Islam yang memperbolehkan poligami.
Kemudian Ahmad Maulana, paman dari Sitti Nurbaya yang memilih menikahi satu istri karena alasan rumah tangga bukan sekedar pemuas hawa nafsu atau mendapatkan jemputan dari pasangan, tetapi atas dasar cinta kasih kepada seorang perempuan saja.
Mencermati dialog-dialog mereka, lama-lama saya terpikir bahwa sebuah karya bisa jadi merupakan protes dan di sini saya mendapati ini adalah sura batin penulisnya melihat adat yang demikian. Ketidaksetujuannya dia curahkan dalam sosok-sosok anomali tersebut. Enaknya jadi penulis gitu yah, kalo mau protes, ga mesti koar-koar sendiri. Ide-idenya bisa di suarakan lewat tokoh.
Sekian!

Comments

  1. Anomali di jaman sekarang, di kehidupan nyata, ada ndak? Apa saja? Mungkin bisa diulas pada posting selanjutnya. Hehe...

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Yang Terbaik Bagimu* (Puisi untuk Ayah)

Hanya Isyarat [Rectoverso]

5 Upaya agar Bisa Konsisten Ngeblog

Dapet Kerjaan Gara-gara Ngeblog

Seni Membuang Barang [Edisi Pakaian]

Tamasya Ingatan (Sebuah Surat untuk Fathia Mohaddisa)