KUTUKAN SANG JAWARA

Seorang santri mencium punggung tangan Ajengan Sobur. Lama dan takzim. Kemudian dia lepas sebelum air mata dan tangisnya ruah. Santri mukim terakhir di pesantren itu meninggalkan ruang tamu Ajengan Sobur dengan seucap salam.
Setelah kepergian seorang santri itu, pesantren pimpinan Ajengan Sobur kini resmi tidak memiliki santri mukim. Satu persatu meninggalkan pesantren karena mencari pekerjaan di kota, atau menuntut ilmu ke pesantren lain. Yah, keculai setiap sore dan malam hari. Masih ada anak-anak warga sekitar yang belajar mengaji di pesantren ini.
Gambar dari sini


Banyak warga yang menggunjingkan kejadian keluarnya satu persatu santri dari pesantren tersebut.
“Anak muda sekarang lebih banyak membuka facebook daripada membuka kitab Safinah.” Ujar salah satu warga.
“Metode belajar di pesantren membosankan dan konvensional. Tidak akan efektif untuk para santri.” Tambah salah seorang warga yang lain.
Ajengan Sobur telah gagal pada akhirnya. Bukan gagal mengajarkan ilmu agama kepada para santri. Bukan pula gagal menghasilkan ajengan baru yang mampu menghafal seribu bait nadzom Alfiah. Atau gagal memimpin pesantren dengan baik. Dia telah gagal mengenyahkan persepsi yang bercokol di dadanya sejak lama. Sejak ayahnya melimpahkan tanggung jawab untuk mengurus pesantren ini.
Ajengan sobur beringsut mendekati tempat salat. Tersungkur dengan hati nyeri. Bayangan puluhan tahun silam memenuhi ingatannya.
“Dahulu, tersebutlah seorang jawara yang menguasai daerah ini.” Begitulah Mama Ajengan mengawali kisah tentang daerah tempat tinggal mereka. Ajengan Sobur baru beranjak remaja saat pertama kali mendengar kisah ini.
“Ketika seorang ulama mensyiarkan Islam ke daerah kita. Jawara tersebut merasa geram dan menantang ulama tersebut untuk mengadu kekuatan.” Mama menghentikan ceritanya sejenak. Menatap jauh ke luar jendela. Seolah mencoba memungut detail cerita dari kotak memorinya. Agar dia mampu menyampaikannya sebagaimana yang pernah diceritakan kakek buyutnya.
“Agama orang-orang di kampung ini dulu apa, Ma?” Ajengan Sobur remaja bertanya. Membuat ayahnya harus menoleh pada anak semata wayangnya.
“Memuja benda keramat, gunung atau pohon.”
“Ohh... Animisme dinamisme yah, Ma?” Ajengan Sobur remaja mengingat-ingat pelajaran IPS di sekolah.
Mama Ajengan mengangguk dan melanjutkan ceritanya. “Biidznillah, jawara itu kalah dalam pertarungan dengan ulama. Sesuai janjinya dia harus mengizinkan warga di daerah ini masuk Islam dan bebas menjalankan ajaran Islam.”
“Apakah itu berarti agama Islam masuk ke daerah ini dengan kekerasan?” Ajengan Sobur remaja mengerutkan kening.
“Bertarung dengan jawara kampung ini adalah satu-satunya cara untuk menyebarkan Islam. Jika tidak, selamanya warga kampung dan keturunannya tak akan pernah mengenal Islam. Bahkan jika ada warga yang berani belajar Islam kepada ulama tersebut secara diam-diam dan ketahuan, kepalanya langsung dipenggal.”
Ajengan Sobur remaja bergidik ngeri. Dia akhirnya memahami kenapa ulama tersebut berani menerima tantangan Sang Jawara. Semua hal yang identik dengan jawara bermunculan di kepalanya. Golok, pelet, dan santet.
“Kemenangan ulama terhadap sang jawara disambut warga dengan gembira. Ternyata selama ini warga kampung sangat menderita karena menjadi korban pemalakan ataupun kekerasan Sang Jawara. Tak terima dengan kekalahannya, Sang Jawara melontarkan kutukan terhadap kampung ini.”
“Kutukan?”
“Ya. Sang Jawara mengutuk kampung ini. Tak akan ada satupun pesantren yang berdiri dalam waktu yang lama, selama pesantren tersebut menggunakan air untuk kebutuhan sehari-hari dari Sungai Cidadap.”
Pikiran Ajengan Sobur remaja pun langsung terlempar pada sebuah sungai yang membelah daerah ini. Airnya dibendung dan dialirkan pada irigasi yang mengairi pesawahan. Terutama di daerah yang tak terlewati langsung oleh aliran sungai Cidadap. Termasuk daerah yang dia tinggali.
“Tapi.. kita juga...” Ajengan Sobur remaja menghentikan kalimatnya saat ayahnya mengangguk dan memberikan isyarat dengan tangannya agar tak memotong ceritanya.
“Inilah yang akan kupesankan padamu, Sobur.” Mama Ajengan menatap lekat-lekat bola mata hitam anak lelakinya. “Pesantren yang telah dibangun kakek buyutmu ini hidup dari aliran irigasi yang berasal dari sungai Cidadap.”
Ajengan Sobur remaja tak berani menyela pembicaraan ayahnya. Yang dipikirkannya, betapa beraninya kakek buyutnya itu melawan kutukan Sang Jawara.
“Kelak, kau akan memimpin pesantren ini. Maka aku merasa perlu membicarakannya denganmu. Agar kau meneruskan tonggak kepemimpinan dengan bijaksana.”
Ajengan Sobur tersadar dari lamunannya. Obrolan puluhan tahun silam dengan ayahnya memang telah mengubah persepsinya. Awalnya dia enggan menerima kepemimpinan pesantren. Ketakutannya akan kutukan Sang Jawara itu benar terjadi. Seperti yang menimpa pesantren lain. Apakah juga akan terjadi pada pesantren yang dia pimpin?
Tidak adanya santri mukim di pesantrennya, sesungguhnya bukan karena anak muda sekarang telah berhenti tertarik mempelajari ilmu agama. Bukan karena metode pembalajaran yang tradisional dan tidak variatif. Ini semua tentang persepsinya. Tentang ketakutan yang bercokol di dadanya. Ajengan Sobur kembali tersungkur pada sejadahnya, lebih rendah. Kutukan itu ada, hanya ketika ada orang yang mempercayainya. Dia bahkan melupakan pesan ayahnya tentang memimpin dengan bijaksana, bahkan untuk bijaksana sejak dari pikirannya sendiri.

3 Maret 2014
Nufira Stalwart
#10 #MenantangDiri #30HariMenulis

Comments

Popular posts from this blog

Yang Terbaik Bagimu* (Puisi untuk Ayah)

Hanya Isyarat [Rectoverso]

5 Upaya agar Bisa Konsisten Ngeblog

Menulis sebagai Passion, Pekerjaan atau Hobi?

Dapet Kerjaan Gara-gara Ngeblog

Belajar tentang Gaya Hidup Minimalis dari 5 Youtubers Ini