Seperti Dendam, Mendaki Gunung Pun Harus Dituntaskan (Bagian 1)

Foto: Dokumentasi pribadi
“Mau apa naik gunung?” Orangtuaku selalu bertanya demikian setiap kali aku meminta izin untuk naik gunung.
Dulu, setahun yang lalu mungkin, aku memberikan jawaban begini, "Pengen belajar dari alam."
Dan orang tuaku menjawab "Emang gak bisa belajar selain dari alam?"
Aku pun diam.
Beberapa waktu lalu, saat hendak naik gunung, aku meminta izin orangtua. Aku kembali dihadapkan pada pertanyaan, untuk apa naik gunung?
Lalu kujawab "Pengen liat edelweiss."
Kali ini giliran orangtuaku yang diam. Mengiyakan. Sekalipun entah bakal liat edelweiss atau enggak, masalahnya, edelweiss cuman bisa tumbuh di puncak gunung, itupun dengan ketinggian tertentu, dengan kondisi tanah tertentu dan PH tertentu. Yes! Terkadang orangtua butuh jawaban realistis, bukan jawaban filosofis.
Aku pun selalu iseng bertanya kepada orang-orang, alasan kenapa mereka naik gunung. Jika memang harus ada alasan, tentu saja setiap orang memiliki alasan yang beragam.
"Refreshing, mumet dan banyak beban. Semoga dengan naik gunung bisa meringankan beban." ucap salah satu temanku.
"Biar gaya pake carrier sama pake kemeja planel. Ngg... kaya di 5Cm." ujar yang lain sambil nyengir.
Namun kemudian seseorang menimpali, "Jangan naik gunung dengan membawa beban dan masalah, lalu kamu melakukan pendakian sebagai pelampiasan. Ataupun naik gunung karena gaya-gayaan apalagi iku-ikutan. Naik gununglah karena kamu cinta sama alam."
Nah, nah, nah. Aku pikir tidak ada jawaban sebaik ini.
Manglayang, itulah gunung yang beberapa waktu lalu, aku dan sepuluh temanku daki. Tepatnya tanggal 15 Mei 2014. Manglayang berada di antara Bandung, Jatinangor dan Sumedang. Ketinggiannya hanya 1818Mdpl. Jarak dari bawah ke puncak 3Km saja. Yah, tentu saja dikalikan dengan berat beban carrier di punggung, jalan menanjak dan licin serta kegelapan, berhubung waktu itu kami melakukan pendakian malam hari.
Kami meninggalkan Bandung selepas magrib. Bersebelas: Aku, Muti, Hanun, Nana, Lutfi, Veri, Rama, Dimas, Deni, Fadli, dan Rafli. Kami sampai di pintu masuk pukul setengah sembilan.
Belum apa-apa, kami sudah disambut dengan anak tangga menanjak yang cukup membuat napasku ngos-ngosan, kemudian sampai di jalan setapak yang licin. Kami beruntung, hujan tidak turun, jadi selama perjalanan, kami tidak perlu menggunakan jas hujan. Aku pun merasa beruntung mengenakan sendal gunung, karena ada anggota tim yang menggunakan sepatu Convers dan berkali-kali terpeleset. Tentu saja untuk pendakian gunung yang lebih tinggi, sepatu gunung lebih baik dari sendal gunung. 
Sendal gunung, sebagai teman seperjalanan.
Kami sempat beberapa kali istirahat, sekalipun leader selalu meminta kami jalan terus karena kami diburu waktu. Jika kami sering istirahat, bisa-bisa kami tidak kebagian sunrise.
Semakin ke atas, jalanan semakin menanjak sehingga kami harus merangkak, berpegangan pada akar pohon atau tumbuhan di sekitar jalur pendakian yang sekaligus jalur air. Jadi, jika saat itu turun hujan, kami harus menghadapi derasnya arus air hujan. Sekali lagi, betapa beruntungnya kami saat itu cuaca cerah.
"Capek gak?" Ujar sebuah suara di belakangku.
"Lumayan!" Jawabku singkat.
"Coba lihat ke belakang!"
Aku membalikan badan dan terperangah demi melihat pemandangan di hadapanku. Aku melihat sebuah kawah kunang-kunang. Itulah Bandung dari ketinggian. Melihat jauh ke bawah membuatku sedikit melupakan terjalnya jalan yang akan kami hadapi di depan.
Ingin sekali aku mengabadikan pemandangan itu. Memotretnya. Tetapi, selain karena barang elektronik semua kusimpan di dalam carrier, aku sampai pada sebuah kesadaran bahwa ada saatnya kita menyimpan momen cukup di memori saja. Keuntungan mengabadikan momen dalam sebuah foto diantaranya kita dapat melihatnya di lain waktu atau mungkin menunjukan momennya pada orang lain. Tetapi bukankah itu membuat sebuah momen menjadi sesuatu yang biasa saja, yang bisa kita nikmati kapanpun setelah itu? Maka aku memilih untuk menyimpan pemandangan itu dalam memoriku. Semoga kelak, jika ingin kembali menikmatinya, aku harus kembali mendaki gunung, bukan hanya melihat potret. Yah semoga aku akan menikmatinya kembali.
Terlena beberapa saat dengan pemandangan di belakang, kami melanjutkan pendakian. Di hadapan kami, tanaman semakin rapat, jalanan semakin sempit, licin dan curam.
Beberapa kali leader kami mengingatkan, "Puncak semakin dekat! Puncak semakin dekat!" Hal itu cukup memompa semangat kami yang sudah semakin surut. Tetapi kenapa gak sampai-sampai ke puncak. Hingga setelah kami melewati batu besar yang populer dengan nama Batu Kuda, di sebuah daerah landai, kami menemukan orang yang berkemah. Ini puncak?
"Sampai ke puncak masih 30 menitan lagi!" Kata salah seorang yang berada di dekat api unggun.
Badan kami yang sudah sangat lemah tidak terima ternyata puncak masih sangat jauh. Mau tak mau kami harus lanjut. Terlebih sudah ada dua orang yang lebih dulu jalan di depan kami sebagai pembuka jalan. Kami masih berkomunikasi dengan menggunakan handy talky.
Untuk pertama kalinya kami melewati jalan menurun lalu kembali naik dengan track yang semakin curam lalu tiba-tiba di depanku ada suara tangis perempuan. Ternyata ada salah seorang anggota tim yang sakit dan menangis. Memang, setahuku dia memiliki penyakit asma. Kami mencoba menenangkan dan memberi motivasi bahwa dia pasti kuat, lagian kita sebentar lagi sampai puncak. Tetapi dia terus menangis dan meminta kami untuk kemah di tempat yang tadi kami lewati.
Kami semua terdiam. Kami naik sebagai tim, kami pun harus kemah dan turun sebagai tim. Kami harus melepaskan ego masing-masing untuk sampai ke puncak. Kami pun turun, kembali ke tempat yang tadi kami lewati dan menemukan orang yang berkemah. Kemudian kami mendirikan tenda. Membunuh pikiran-pikiran untuk sampai ke puncak.
Kami membuka bekal dan suasana sudah semakin hangat dengan guyonan.
"Kitu hungkul boga barudak teh, carape ge hareureuy mah angger." [1] Teriak seseorang.
Memang sepanjang naik, kami mengurangi suara, jangankan becanda atau tertawa, menjerit saat terpeleset pun banyak yang memberi isyarat sssstttt. Katanya takut menarik perhatian makhluk-makhluk hutan.
Saat kami membuka makanan, aku belum lupa alasan kenapa kami akhirnya harus mendirikan tenda di sini. Aku melirik teman yang tadi menangis dan kesakitan, sekadar ingin mengetahui kondisinya. Dia sedang ikut tertawa dengan guyonan dan dengan asyiknya menghirup sebatang rokok.

Bersambung....

Bandung, 8 Mei 2014
*Oya, judul tulisan ini diambil dari judul novel terbaru Eka Kurniawan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas


[1] Gini nih asiknya bareng-bareng mereka, lagi cape juga tetep aja becanda (terjemahan bebas :D)

Comments

Popular posts from this blog

Yang Terbaik Bagimu* (Puisi untuk Ayah)

Hanya Isyarat [Rectoverso]

5 Upaya agar Bisa Konsisten Ngeblog

Dapet Kerjaan Gara-gara Ngeblog

Seni Membuang Barang [Edisi Pakaian]

Tamasya Ingatan (Sebuah Surat untuk Fathia Mohaddisa)