Perempuan Penjual Kesedihan
Lima tahun yang
lalu, kota kami dihebohkan dengan keberadaan seorang perempuan di sudut taman
kota dengan memegang plang, “Dibeli, kesedihan dengan harga tinggi.”
Gambar dari sini |
Kota kami
geger. Orang-orang membicarakan perempuan itu di angkutan umum. Ada juga yang
mengunggah fotonya di jejaring sosial. Berita tentang perempuan itu juga memenuhi
halaman-halaman surat kabar. Tak butuh waktu lama, wajahnya muncul di televisi lalu
disiarkan pada berita pagi dan petang. Berita mengenai sesuatu hal yang ganjil kerap
cepat sekali merebak.
Dunia memang
sudah jungkir balik, hingga ada orang yang berani membeli kesedihan. Memangnya
kesedihan itu semacam jagung bakar yang bebas diperjualbelikan di pinggir
jalan?
“Perempuan
sinting!”
“Ah, paling
cari sensasi.”
Orang-orang
mulai berspekulasi. Tetapi lebih banyak lagi yang merasa penasaran dan
benar-benar mengunjungi perempuan itu untuk menjual kesedihan.
Ajaib.
Sepulangnya menjual kesedihan, orang-orang itu lebih berbahagia dari sebelumnya. Apa yang sesungguhnya dilakukan
oleh perempuan itu? Tak pernah ada yang benar-benar tahu, kecuali pernah datang
menemui perempuan itu. Mereka membuat semacam perjanjian untuk tidak
mengungkapkan apa yang dilakukan perempuan itu kepada orang lain. Kecuali jika
ingin kebahagiaan mereka menguap dan kembali digantikan dengan kesedihan yang
bertambah-tambah.
Banyak orang
yang tergiur, lalu mulai mengunjungi perempuan yang sepanjang hari duduk di
sudut taman kota. Ada yang diam-diam datang pada tengah malam. Ada juga yang
terang-terang mengunjunginya pada siang bolong. Semakin lama, orang-orang sudah
tidak takut lagi dianggap gila karena mengunjungi perempuan itu. Toh pada
akhirnya sesuatu hal yang absurd atau ganjil akan berhenti dianggap begitu jika
semua orang melakukan hal yang sama.
Apakah Anda
penasaran sesungguhnya siapa perempuan itu? Demikian juga dengan saya. Saya ingin memenuhi rasa penasaran atas apa yang dilakukan oleh
perempuan itu saat transaksi jual beli kesedihan. Maka pagi itu, saya ikut
berdesakan dalam antrean.
Seperti halnya saya, orang-orang ingin menemui perempuan itu untuk menjual kesedihan
mereka. Saya mengamati orang-orang yang mengantre terdiri dari beragam usia, tak peduli dia
masih muda atau sudah tua. Tak peduli dia orang kaya atau rakyat jelata. Berita
ini juga sudah sampai ke luar kota dan banyak yang berdatangan ke kota kami.
Polisi
mengamankan antrean, lalu membuat rekayasa lalu lintas. Tetapi tidak
membantu sama sekali. Antrean itu membuat lalu lintas semakin semrawut, semakin siang
semakin parah. Karena hari itu, perempuan yang membeli kesedihan sudah
menghilang.
***
Bagaimanapun juga kedatangan
perempuan itu telah meningkatkan indeks kebahagiaan warga kota kami. Percaya
atau tidak, kami memang memiliki semacam badan negara yang mengukur tingkat
kebahagiaan masyarakat.
Orang-orang
pada akhirnya mulai bertanya-tanya siapa sesunggunya perempuan itu. Hingga ada seorang petugas dinas sosial yang mengatakan bahwa
perempuan berusia tiga puluhan itu pernah menghuni panti asuhan sebelum
beranjak dewasa. Ada cerita pedih dibalik kisah hidup perempuan itu.
“Saat dia masih
kecil, keluarganya dibantai oleh sekawanan perampok.” Begitu keterangan salah
seorang petugas dinas sosial pada sebuah wawancara di televisi. Saat kejadian
itu dia berusia lima tahun, dia selamat karena bersembunyi pada lemari di bawah
tangga. Dari lubang kunci dia melihat ayah, ibu dan saudaranya dibantai.
Kejadian itu menyisakan luka yang mendalam di hati si gadis kecil. Dia tumbuh menjadi
seorang anak yang pendiam dan asosial. Beberapa tahun yang lalu dia menikah
lalu tak lama kemudian bercerai karena suaminya diketahui berselingkuh dan
hanya menghabiskan kekayaan miliknya untuk bersenang-senang. Perempuan itu anak
orang kaya dan menjadi pewaris tunggal.
“Barangkali itulah alasan kenapa dia
mampu membeli kesedihan dari warga kota.” Tambah petugas dinas sosial itu sambil
terkekeh.
Demikianlah,
berita tentang latar belakang perempuan itu muncul di berita-berita. Tetapi tak
ada yang bisa mengungkap sesungguhnya apa yang dilakukan perempuan itu saat
transaksi jual beli kesedihan. Ternyata dari sekian banyak orang yang mengunjungi
perempuan itu, orang-orang mengaku tak ingat
apa-apa. Mereka tak bisa menjelaskan apa-apa.
Jika di dunia
ini banyak orang yang bersedih, saya kira perempuan itu adalah salah seorang perempuan yang paling bersedih. Saat semua orang mereka-reka
sesuangguhnya apa yang terjadi dengan perempuan itu, saya juga punya versi
cerita tersendiri. Kisah perempuan itu mengingatkan saya pada sebuah cerita
tentang seorang jawara yang sakit
gigi, tetapi dia tidak mau pergi ke dokter gigi. Dokter gigi dan tukang cukur
adalah dua profesi yang paling dia hindari karena takut mereka mengebor matanya
dengan bor gigi atau memotong lehernya dengan gunting cukur, berhubung banyak
orang yang berharap kematiannya.
Yang menarik
adalah bagaimana jawara itu
menyembuhkan sakit giginya. Dia memotong jari kelingkingnya hingga putus.
Sehingga dia memiliki kesakitan yang lebih parah dari sekedar sakit gigi. Mengobati
kesakitan dengan kesakitan yang lebih hebat.[1]
Kehidupan
memang tidak seperti perhitungan eksak yang menjumlahkan dua ditambah dua
menjadi empat. Dalam kehidupan, dua tambah dua bisa jadi tiga setengah, bisa
jadi satu atau bahkan nol.
Menurut saya
demikianlah yang dilakukan perempuan itu. Membeli kesedihan dari semua orang
untuk mengalihkan perhatian dari kesedihan yang dia rasakan sebelumnya. Sekalipun
transaksi jual beli itu masihlah menjadi tanda tanya bagi saya.
***
Lima tahun
berlalu. Kota kami ternyata berubah drastis. Orang-orang yang berbahagia itu
cepat sekali merasa bosan. Hingga suatu hari, kembali tersiar kabar bahwa
perempuan itu telah ditemukan. Dia telah puas memamah segala kesedihan dan
berniat menjualnya kepada siapapun.
Orang-orang
datang mengunjunginya. Mereka berani membayar berapapun untuk sekerat
kesedihan. Tetapi jalan menuju kediaman perempuan itu tak mudah ditempuh.
Rumahnya berada jauh di luar kota, dengan akses jalan yang sulit.
“Kamu beruntung
masih bisa bersedih karena kepergian suamimu.” Ucap salah seorang teman saat saya
mengutarakan kesedihan saya. “Aku berani membeli berapa saja agar kehidupanku
kembali seperti dulu.” Tentu saja karena dia telah menjual kesedihan pada
perempuan itu tempo hari. “Aku bisa mati karena bosan!” ujarnya kemudian.
“Kemarin aku
mengunjungi tempat perempuan itu tinggal.” Ucap saya.
“Benarkah?”
Teman saya memasang wajah tak percaya. “Aku tahu, kepergian suamimu untuk
selamanya telah menyisakan luka. Tetapi mengunjungi perempuan itu bukan
solusi.”
“Bukankah
idenya brilian? Mengobati satu kesedihan, dengan kesedihan lain yang lebih
besar.”
“Jadi kamu
benar-benar pergi?”
Saya
mengangguk. “Antreannya panjang. Banyak orang yang datang. Kamu tahu? Aku
mengamati wajah mereka satu persatu. Wajah penuh kehampaan. Kosong. Hampa
sebenar-benarnya hampa. Dan aku mengurungkan niatku untuk menemui perempuan
itu.”
“Karena malas
mengantri?” Tanda tanya belum surut dari wajah teman saya itu.
Saya
menggeleng. “Aku hanya berpikir bahwa di antara tujuh
miliyar manusia di muka bumi ini aku bukan satu-satunya orang yang tersiksa.
Baik karena kesedihan atau kehampaan. Lalu aku kembali ke mobilku dan pulang.”
“Hanya itu?”
“Ya.”
Pada akhirnya, seperti Anda, para pembaca. Saya tidak
pernah benar-benar mengetahui apa yang dilakukan perempuan itu saat transaksi jual
beli kesedihan.
[1] Teringat dengan tokoh Si Macan dalam novel Seperti Dendam, Rindu Harus
Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan, jagoan yang memotong jari kelingkingnya
sendiri untuk mengobati sakit gigi.
Comments
Post a Comment