Cyberbullying: What I Hate From Internet

Sumber Gambar
Beberapa bulan terakhir, saya menemukan postingan dari beberapa Youtuber yang mengungkap tentang depression atau mental health mereka yang terganggu gara-gara popularitas mereka di internet. Sebut saja video yang diunggah oleh booktuber favorit saya: Katytastic dan Zoe. Barangkali kita akan berpikir betapa menyenangkannya menjadi mereka. Orang yang awalnya bukan siapa-siapa tiba-tiba terkenal, kemudian menjadi influencer dan bisa dengan mudah mendapatkan uang dari internet. Di saat kita hanya menjadi penonton, penikmat postingan-postingan mereka, mereka bisa ribuan langkah lebih maju bahkan mendapatkan penghasilan dari sana.

Padahal kenyataannya tak semudah itu, mereka memulai dengan kerja keras dan penuh tekanan. Misal ketika stuck atau ketika memposting sesuatu yang justru membuat follower berkurang drastis, bahkan menuai komentar yang tidak diharapkan. Komentar yang dimaksud tidak melulu tentang komentar negatif. Tetapi juga misalnya yang diungkapkan Katytastic dalam salah satu videonya, ketika dia telah  mendedikasikan waktu, tenaga dan pikiran untuk membuat sebuah video dengan tema tertentu,  ternyata komentar yang dia dapatkan tidak berhubungan dengan video tersebut. Dia malah mendapatkan permintaan untuk membuat video yang lain. Ya, komentar sesederhana itu bisa membuat orang tertekan.


Para pengguna internet mungkin menganggap bahwa internet adalah tempat yang bebas, kita bisa memposting apa saja atau berkomentar apa saja tanpa memikirkan perasaan orang. That’s what I hate from internet. Dulu saya merasa heran mengapa haters mengerubungi akun-akun orang tertentu (terutama bad influencer) yang justru membuat orang tersebut tenar dan mereka semakin mendapatkan banyak uang dengan view dan komentar dari haters. Pada kenyataannya, apakah mereka berhenti bersosial media karena haters? Tidak! Sebagian besar dari mereka malah semakin merajalela. Ditambah dukungan dari olshop-olshop yang memanfaatkan peluang itu dengan meminta endorse, paid promote dan ngasih mereka sponsor karena tahu lalu lintas di akun tersebut tinggi sekalipun isinya haters semua.

Setelah ngbrol dengan seorang teman tentang hal ini, teman saya bilang bahwa para haters itu menang secara psikologis, haters nggak peduli dengan semakin kaya dan terkenalnya akun tersebut, karena yang terpenting adalah kolom komentar dipenuhi dengan ketidaksetujuan. Ya cukup masuk akal sih. Sebenarnya komentar negatif juga bisa jadi kontrol sosial di internet, terutama untuk postingan-postingan yang jauh dari nilai-nilai positif, sekalipun kadang-kadang komentar yang muncul pun menggunakan bahasa yang kasar. Kontradiktif bukan?

Saya pikir, untuk akun-akun bad influencer, wajar saja kalau mereka mendapatkan komentar negatif. Yang saya herankan, kenapa akun-akun dengan konten postif pun harus menuai cibiran? Misalnya channel Youtube Seonkyoung Longest yang baru-baru ini dikritik hanya karena intro yang kepanjangan, aksen dia yang dibilang aneh (dia orang Korea yang tinggal di Amerika setelah menikah) dan ketika urusan privasi dia diungkit-ungkit. Kalau mau memberikan masukan, kenapa tidak melakukannya secara personal dan kenapa tidak dengan kata-kata yang baik? She’s only a human. Mereka melakukan kesalahan seperti halnya kita. Mereka juga punya kekurangan seperti halnya semua orang.

Agung Hapsah pernah mengunggah video tentang Youtuber bocah yang kebanyakan menuai komentar negatif karena kualitas video seadanya, tanpa background memadai, tanpa editing, dsb. Komentar yang didapatkan sangat mengganggu mata. Please... mereka masihlah anak-anak, mereka terlalu muda untuk mendapatkan beban sebesar itu dari masyarakat. Saya sepakat dengan apa yang dikatakan Agung Hapsah, mereka tidak akan berkembang kalau misalnya mereka berhenti menjadi Youtuber karena tidak tahan dengan serangan feedback negatif yang mereka dapatkan. Mereka lebih butuh dukungan dalam proses pembelajaran, atau kalau tidak suka ya cukup diamkan saja. Biar mereka belajar dan memperbaiki kualitas.


Hufff... Tiba-tiba saya menyimpan impian muluk-muluk, melihat internet sebagai tempat yang hangat, positif dan harmonis. Sesuatu yang saya tahu akan tetap menjadi impian yang muluk-muluk.

Comments

  1. Aku suka bingung dengan org yg dengan gampangnya membully org lain. Sebenernya salah siapa ya ini.. Apa orang tuanya yg menjadi pintu pertama pelajaran etika, ato dr lingkungan.. :( .. Kuatir kalo anakku nanti bakal mengalami bully an bgini di sekolahnya.. Ato jgn sampe dia jd orang yg mudah menghujat org lain..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Menurut saya sih pendidikan di lingkungan keluarga punya peran penting buat menanamkan ke anak tentang sikap respek ke orang. Selain itu ya tontonan juga sama lingkungan. Jadi saling mempengaruhi gitu :D

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

REVIEW: Bulan Merah (Kisah Para Pembawa Pesan Rahasia)

SELEMBAR KERTAS

Mengalahkan Diri Sendiri