Review Novel Hafalan Shalat Delisa


“Kau memiliki lebih banyak teman dibandingkan seluruh dunia ini dan segala isinya, sayang!”
D untuk Delisa. Sebuah kalung seberat 2 gram dengan gantungan inisial D, dibeli Ummi dengan setengah harga dari Toko Koh Acan yang 100% Konghuchu, sebagai hadiah jika Delisa berhasil menghafalkan seluruh bacaan shalatnya.
Sebuah kalung yang akhirnya membawa kita pada lingkaran kisah mengharukan ini.  Kisah seorang bocah usia enam tahun, rambutnya ikal pirang, bola matanya hijau, menggemaskan saat menyeringai, tersenyum, nyengir, atau manyun. Kritis, bawel, banyak bertanya, dan jago sekali main bola, meski teman-temannya mempercayai ia sebagai kiper, ia sangat membenci posisi itu, ia seorang pencetak gol. Tapi tetap saja ia seorang gadis cilik yang menggemaskan, sering sekali melepas kerudung mungilnya karena kegerahan. Ya, tetap saja ia hanya seorang anak kecil.
Seorang anak kecil yang diusianya yang belia itu, diuji dengan cobaan yang begitu besar, ia kehilangan Ummi, Ka Fatimah (Sang Pujangga besar), ka Zahra(pendiam namun begitu perhatian), Ka Aisyah (Jail, menyebalkan, tetapi penyayang), Ibu Guru Nur, Tiur, teman-teman juga sanak keluarganya karena bencana Tsunami Aceh 26 Desember 2004 lalu. 
Tsunami yang menyisakannya berdua bersama Abi. Mengajarkan ia banyak hal tentang kehidupan, tentang makna ikhlas, tentang makna memahami. Bahkan Ya Allah...bocah seusia itu bisa menerima kehilangan yang demikian rumit dengan cara yang sederhana. Bukan karena ia tidak tahu makna ditinggalkan, ia sangat memahami arti kesendirian, arti perpisahan, dan kata pergi, ia sangat membenci kata-kata itu karena dekat sekali dengan kata kesedihan, tapi ia punya cara untuk membuat segalanya terlihat demikian normal, wajar dan indah.
Tidak seperti kebanyakan orang dewasa di sekitarnya, termasuk Abi.
Abi yang akhirnya harus merawat Delisa, menjadi Ummi, Ka Fatimah, ka Zahra, dan Ka Aisyah bagi Delisa. Selalu berusaha tegar di hadapa Delisa. Abi yang bahkan untuk urusan sepele, masak-memasak saja seringkali hambar atau keasinan, tak karuan. Tapi tanpa Delisa, bungsunya, mutiaranya, entahlah apa ia bisa melewati ujian terberat dalam hidupnya ini atau tidak. Abi yang menjanjikan sebuah sepeda jika Delisa berhasil menghafal lengkap bacaan shalat. Masalah yang dihadapi Delisa, ia kehilangan hafalan shalatnya sejak ia nyaris menghafal semuanya saat Ibu Guru Nur mengetesnya di depan kelas tepat ketika tsunami itu menerjang setiap apa yang dilewatinya, Bacaan shalat yang belum ia hafal sempurna.
***
Hafalan Shalat Delisa adalah salah satu bukunya tere-liye (Penulis The Best dimata saya.hehe), demikian indah membawakan kisah mengharukan ini. Bukan hanya karena amanat yang demikian padat, tetapi juga penggarapan tokoh yang begitu kuat, ditambah penggambaran setting yang memikat.  (Ujungnya at,at,at...haha so puitis. Heh Serius Fit!)
Novel yang kabarnya bakalan difilmkan bulan Desember 2011, dan saat ini sudah mulai proses penggarapannya. Semoga dapat memenuhi dahaga kita, terutama anak-anak akan film-film yang bercerita tentang dunia mereka.
Ada satu teka-teki disini, sebagaimana layaknya sebuah karya fiksi, biasanya ada tokoh Protagonis dan Antagonis, sedangkan di novel ini dua sisi yang menjadi keniscayaan dalam kehidupan itu harus ditemukan dengan jeli. Karena melihat dua sisi itu sama halnya seperti melihat dengan utuh dua sisi dari sebuah koin dalam satu waktu.

NF
02Nov2011

Cung yang udah baca novel ini...Sharing yuuu....!

Comments

  1. kalo gue tebak kayaknya bakal jadi motivasi diri buat mensyuluri dan menjaga apa yang telah Allah berikan .

    Salam kenal ya . Anak UPI kah ?

    ReplyDelete
  2. nah itu dia, jadi Delisa ini terlihat sekali ketegarannya ketika kehilangan kakinya. Dan saya sendiri belajar banyak hal dari ketegaran Delisa ini.

    Salam kenal :) ya saya anak UPI.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Yang Terbaik Bagimu* (Puisi untuk Ayah)

Hanya Isyarat [Rectoverso]

5 Upaya agar Bisa Konsisten Ngeblog

Dapet Kerjaan Gara-gara Ngeblog

Seni Membuang Barang [Edisi Pakaian]

Tamasya Ingatan (Sebuah Surat untuk Fathia Mohaddisa)