Laa Tahzan Innallaha Ma’ana
Sebuah cerpen…
Karya: Nursaadah
Fitriani (P.B. Arab 2008)
Dalam
remang gua sempit di selatan kota Mekah itu Abu Bakar mulai terisak, isak yang
tertahan karena pedih menyergap. Air matanya mulai menetes, tetesan yang membangunkanmu
wahai Baginda Rasulullah. Membangunkanmu yang tengah tertidur di pangkuannya.
Lembut kau mulai bertanya apa yang menimpa sahabatmu itu. Ayah dari istri
tercintamu itu menjawab bahwa ada seekor hewan yang menggigit bagian tubuhnya.
Tapi ia tak berani membangunkanmu, ia segan mengusik lelap tidurmu wahai Nabi.
Sengatan
seekor hewan yang bahkan sebelum engkau memasuki gua ini, lubang-lubang itu
telah ditutup dengan sobekan kain dari bajunya juga menutupi lubang itu dengan
bagian tubuhnya. Dia rela jika ada hewan yang menggigit tubuhnya, demi
melindungimu, agar tak ada yang menyakitimu wahai Utusan Allah. Kemudian kau
mulai meniup dan meludahi luka sengatan itu sampai hilang sakit yang mendera
Abu Bakar.
Jubah
hitam mulai menyelimuti langit.Abdullah putra Abu Bakar tergopoh menuju gua
itu, mengendap-endap langkahnya, jinjit kakinya untuk menghilangkan jejak dari
kaum Qurays, lima mil ke arah selatan kota Makkah. Ia ditugasi untuk menyadap
berita dari petinggi Qurays. Ketika senja menjelang ia bergegas menuju gua itu
dan kembali ke Makkah saat pagi menyingsing. Tak ada masyarakat Makkah yang
tahu bahwa setiap malam ia pergi ke gua itu, karena saat pagi menjelang ia
telah berada di kota. Bersama Asma adiknya yang tengah mengandung anak dari
Zubair menyusuri padang gersang, namun tak pernah surut semangatnya
mengantarkan makanan untuk ayah mereka dan Rasulullah.
“Kaum
Quraisy tengah melakukan sayembara bagi siapa saja yang berhasil menemukan
mereka.” Ujar Abdullah di tengah jalan menuju gua.
“Ya,
aku pun mendengar kabar itu, kita harus lebih hati-hati agar tidak meninggalkan
jejak.”. Jawab Asma seraya membetulkan ikatan pinggangnya, ikatan yang kelak
mengantarka ia ke syurga, ikatan itu yang kemudian ia sobek menjadi dua, satu
untuk mengikat pinggangnnya, dan satu lagi mengikat bungkusan makanan yang akan
dibawa ayahnya menuju Quba ke arah Barat, jalan pintas menuju Madinah.
***
Keheningan
di mulut gua itu pecah, seekor merpati terbang rendah hinggap di bebatuan.
Sedang sang betina mengerami telurnya. Mulut gua itu tertutup sarang laba-laba.
Sehingga Nampak tak terjamah orang. Langkah kaki mulai terdengar, setidaknya
terdiri dari lima atau enam lelaki, tepat di bawah bukit gua itu, semakin
mendekat ke mulut gua. Langkah kaki para utusan Petinggi Qurays untuk mengejar
dan menangkap Rasulullah.
Langkah-langkah
kaki mereka semakin terdengar. Salah seorang dari mereka berdiri tepat di depan
gua. Abu Bakar melihat kaki-kaki mereka di mulut gua, ia mulai gemetar, ia
gentar. Tapi seketika itu, engkau menenangkan sahabatmu itu wahai Rasul,
seketika wahyu turun. “Laa Tahzan,
Innallaha ma’ana.”
Para
utusan Qurays itu pun bersepakat untuk menjauh dari gua itu, mereke mengira
tidak akan ada orang yang masuk ke gua tersebut karena mulut gua tertutup oleh
sarang laba-laba, dan tepat di depan gua tersebut ada burung yang sedang
mengerami telur-telurnya.
Tiga
malam telah dilalui di gua itu, gua Tsur biasa orang-orang menyebutnya. Saatnya
bergegas menuju kota hijrah tujuan, yaitu Yatsrib. Bersama seorang penunjuk
jalan dari suku Badui yang belum memeluk Islam mereka melanjutkan perjalanan.
Ketika
hendak menuruni bukit gua menuju lembah, Abu Bakar menawarkan unta terbaik
untuk kau tunggangi wahai Rasulullah. Tapi kemudian kau berkata:
“Aku
tidak akan menunggangi unta yang bukan miliku sendiri.”
“Tapi
ini milikmu hai Rasulallah.” Kata Abu Bakar.
“Tidak!”
Ujarmu. “Berapa harga unta itu.”
Abu
Bakar menyebutkan harga unta itu.
“Aku
mengambilnya dengan harga itu.”
Abu
Bakar ingin sekali memberikan itu sebagai hadiah, namun ini adalah hijrah Nabi,
putusnnya segala ikatan dengan rumah dan tanah airnmu demi Allah. Persembahanmu
dalam hijrah ini mestilah milikmu sepenuhnya. Nama unta itu adalah Qashwa’ dan
itu tetap menjadi unta kesayanganmu wahai Nabi.
Pemandu
jalan itu mengarahkan mereka menuju ke pantai Laut Merah, menyusuri jalan yang
jarang sekali dilalui orang, perjalanan ini akan memakan waktu beberapa hari. Malam
bergelanyut, langit hitam kelam penuh bintang, bagai karpet beludru yang
ditaburi mutiara, berkilauan. Di depan sana, tampak oasis di tengah gurun
Nubian, dan bulan sabit menggantung di atasnya, bulan baru, bulan Rabiul Awal.
“Wahai
bulan sabit yang indah dan menjadi petunjuk arah, aku beriman kepada Dia yang
menciptakanmu.” Itulah yang terurai dari lisanmu wahai Manusia Mulia. Kalimat
itu yang selalu kau ucapkan ketika melihat bulan baru.
Mentari
perlahan naik, sinarnya yang lembut memantulkan warna gurun pasir. Dari
kejauhan terlihat sebuah kafilah kecil, kecemasan menyergap rombongan kecil
ini. Apakah itu adalah kafilah utusan Qurays untuk menangkap mereka. Tapi
tiba-tiba awan kebahagiaan menaungi mereka, karena ternyata yang datang adalah
sepupu Abu Bakar, Thalhah. Ia sedang dalam perjalanan dari Syiria, tempat ia
membeli baju dan barang perdagangan lain yang dimuat untanya.
Thalhah
mengabarkan bahwa masyarakat Yatsrib telah menanti kehadiran Rasulullah.
Kemudian sebelum berpisah ia memberikan dua lembar baju untuk dipakai oleh
mereka. Baju berwarna putih, dari Syiria, baju yang sebenarnya hendak ia jual
kepada orang-orang kaya Qurays.
Sementara
di utara sana, di sebuah tanah yang banyak pohon kurma, masyarakat muslim
Yatsrib menanti kedatangan muhajirin yang paling ditunggu, yakni Rasulullah
SAW. Ketika pagi menjelang, kesibukan dimulai, mereka berbondong-bondong menuju
gerbang, ada juga yang naik ke atas pohon sambil melihat-lihat ke arah gurun,
mereka ingin menjadi orang pertama yang melihat kedatangan Utusan Allah itu.
Dan mereka kembali pada aktivitas masing-masing setelah matahari mulai naik,
dan panas menyengat.
Hingga
pagi itu, seorang Yahudi merasa keheranan dengan tingkah laku orang-orang
Muslim. Ia pun ikut-ikutan naik ke atas pohon dan melihat ada sebuah pergerakan
diujung sana, warna baju yang dikenakan mereka begitu kontras dengan bebatuan
hitam di sekelilingnya. Ia pun meneriaki kaum Muslim, dan disambut dengan gegap
gempita, kebahagiaan yang meluap tak tertahankan. “Selamat datang Wahai
Nabi…selamat datang wahai utusan Allah...”
Comments
Post a Comment