DUKA SEBENTUK LENGKUNG SENYUM



Hari ini akan kutuntaskan janjiku. Ini juga akan menggenapkan usahaku untuk membahagiakanmu semampuku. Inilah yang akhirnya hanya bisa aku lakukan. Aku hanya bisa ikut berbahagia melihat kau bahagia, Tantri.
Mentari nampak begitu terik pagi ini, menyentuh lembut dedaunan. Kilatan cahaya yang terpantul dari bulir-bulir embun di permukaan daun membuat cerah sekeliling. Sebelum akhirnya menguap ke udara bergumul dengan sejuk angin.
Hari ini genap satu tahun aku kembali ke kampung, setahun terakhir aku habiskan di kota untuk menyelesaikan tugas akhir serta skripsi ku. Akhirnya hari ini datang juga, dulu aku mengira ini akan menjadi mimpi buruk bagiku, tapi ternyata hanya masalah waktu aku bisa menerima semua ini dengan hati yang lapang.
Jam menunjukan pukul sepuluh, bergegas aku panaskan motorku sebelum kemudian meluncur menyusuri gang-gang yang dikelilingi pesawahan juga beberapa pemukiman penduduk sebelum akhirnya melewati jalan utama beraspal. Hari ini jelas spesial, jika bukan spesial untukku, hari ini adalah hari spesial bagi orang yang spesial bagiku.
Aku mengenalnya sejak kami masih bocah ingusan, kemudian pertemanan kami berlanjut sampai kami menginjak bangku SMP dan SMA. Kami melewatkan SMP di sekolah yang sama. Saat istirahat, ketika semua anak ramai menyerbu kantin kami bergegas menuju perpustakaan. Aku memang tidak satu kelas dengan Tantri, tapi di perpustakaan sempit dengan buku yang berdebu ini kami selalu bertemu dan membincangkan buku apa yang telah kami baca. Sampai suatu hari di pertengahan kelas IX kami harus menelan kekecewaan bersekolah di kampung seperti ini.
“Yang ini udah.” Ujar Tantri dengan nada kecewa seraya melemparkan buku itu ke raknya menimbulkan suara sedikit gaduh diiringi debu yang terlempar ke udara.
Aku melihat ke sekeliling dan menganggukan kepala kepada beberapa pasang mata yang memandang ke arah kami.

“Pelan-pelan nyimpennya bisa kan?” ucapku seraya merapikan buku yang dia acak-acak sejak kami masuk ke ruangan ini.
“Coba cari novel yang belum kita baca! Udah semua kan?” seraya berdecak ia melangkah ke arah lain. Aku hanya tersenyum miris di dalam hati, bukan hanya karena menertawakan nasib perpustakaan sekolah kami yang minim buku bergenre fiksi untuk anak seusia kami tapi aku menyadari satu hal bahwa kami kini sebentar lagi ujian, saatnya membaca banyak buku pelajaran yang akan membantu kami menyelesaikan soal yang akan menentukan kelulusan kami dari jenjang sekolah ini.
“Kita bisa belajar banyak hal dari sebuah cerita, petualangan, atau kisah-kisah klasik, bukan hanya melulu dari buku paket Yadin.” Itu jawabnya ketika aku utarakan pikiranku. Baginya mudah saja menyelesaikan soal-soal di setiap ulangan dengan hanya bermodal mendengarkan penjelasan guru, berbeda denganku yang tidak sejenius dia sehingga mendengarkan penjelasan guru saja tak pernah cukup, aku harus membaca buku referensi lain juga banyak bertanya padanya.
Hal itu berlanjut sampai aku SMA dan kuliah, aku memang membaca banyak novel, tapi aku selalu memprioritaskan bacaan lain yang berupa nonfiksi. Jarak kita yang jauh membuat intensitas pertemuan kami berkurang. Ia melanjutkan kuliah di sebuah universitas cabang yang berkampus di daerah kami. Sedang aku menempuh kuliah di sebuah universitas negeri di kota.
Ketika pulang ke rumah, aku menyempatkan diri untuk mengunjungi dia di rumahnya yang masih berada di ujung kampung kami itu, bedanya jika dulu rumah ini hanya satu-satunya sekarang sudah banyak rumah disekitarnya. Aku memang cenderung jarang pulang, bukankah hari ini jarak telah diringkus oleh alat komunikasi yang semakin canggih, kita bisa mengetahui apa yang sedang dilakukan atau berbagi tentang apa yang dirasakan oleh kerabat kita yang berada jauh dari kita hanya dari sebuah layar komputer atau handphone?
Di kali ke sekian aku mengunjungi rumahnya, tak banyak yang kami lakukan atau obrolkan, aku biasanya hanya mengantarkan pesanan bukunya dari kota.
“Ini dua buah novel yang dikeluarkan oleh penulis yang sama dalam satu tahun ini.”
Dia terperangah mendengar ucapanku. “Keren sekali, rasa-rasanya aku pun ingin menjadi penulis.” Ujarnya sambil mengulum senyum. Tantri yang ku kenal sekarang memang begitu berbeda, selain aku jarang menemuinya, komunikasi dari handphone pun seperlunya. Aku menyadari bahwa kini dia telah tumbuh menjadi gadis yang dewasa dan matang. Aku pun sering mempertanyakan, harus kusebut apa desiran yang merambati dinding-dinding hatiku ketika mengingat namanya, menjumpainya seperti yang akan kulakukan juga hari ini.
Motor yang kubawa meluncur di kecepatan 20km/jam, sengaja aku melambatkan laju motorku. Berharap ada tangan-tangan malaikat yang merubah keputusan hari ini, atau melambatkan waktu yang meluncur deras, atau lemparkan saja aku ke tahun-tahun sebelum ini. Hanya demi satu hal, agar aku tak pernah terluka juga melukai orang lain.
Selama perjalanan ini pun kepingan kenangan berebut muncul mencari celah ke permukaan, mataku pun dipenuhi bayangan-bayangan itu. Bunyi klakson juga bayangan kendaraan yang menyalip melewati motorku mengantarkanku pada kilatan-kilatan kejadian yang kulewati setahun lalu.
“Tidak ada persahabatan abadi antara perempuan dan laki-laki.” Ujarnya di suatu hari setahun lalu, lewat pesan yang muncul di layar handphone ku. Aku lebih dari paham apa yang dia maksud. Selain itu dia pun memaksaku untuk pulang dalam waktu dekat ini, ada hal yang harus ia bicarakan. Tapi aku masih sibuk dengan kuliahku yang sedang padat-padatnya, aku menunda kepulanganku sampai libur semester dan aku dengan lega meninggalkan kampus, melepas lelah sejenak dengan pulang kampung.
Sesampainya di rumah aku baru sadar kalo aku melupakan sesuatu, sebuah novel terjemahan yang sudah lama tidak terbit lagi. Aku pun segera menuju rumahnya untuk meminta maaf, ia hanya tersenyum dan mengatakan bahwa ayahnya ingin berbicara denganku, aku merasa keheranan, aku memang cenderung dekat dengan keluarganya ketika aku bertandang ke rumahnya kakak juga ayah dan ibunya menyambutku dengan baik.
Tiba-tiba genangan air menggantung di kelopak mataku mengingat hari itu, hari yang membuatku berhenti menemui Tantri lagi, kalimat ayahnya itu jelas menujukan bahwa aku memang sudah saatnya memilih. Tantri bukan lagi gadis kecil yang dulu kukenal, sudah ada pemuda yang tertarik dan ingin melamarnya. Dan aku, apa dayaku selain berdamai dengan masa lalu yang kami lewati bersama yang seharusnya indah untuk dikenang menjelma duri-duri yang menusukku, membuatku meringis tak berdaya.
Aku mempercepat laju motorku, di depan sana terlihat keramaian, di sebuah rumah di ujung kampung kami, di pinggir sungai dengan air bening dan bongkahan batu yang tersebar terlihat dari permukaannya.
Aku memarkir motor di tempat yang disediakan, merapikan rambut juga kemejaku, dan mengeluarkan kotak berbalut sampul warna biru safir, sebuah buku terjemahan yang belum sempat aku berikan, novel dengan setting keindahan sebuah pedesaan di dataran Eropa. If Only They Could Talk karya James Herriot.
Kulangkahkan kaki menuju ruang resepsi, rumah itu kini disulap dengan ornamen yang cerah ditambah jambangan besar dengan bebungaan yang didesain untuk mempercantik ruangan. Degup jantungku semakin kencang, tangan juga kakiku bergetar, kuhela nafas panjang melihat sosok gadis yang terlihat anggun itu bersanding dengan seorang lelaki yang beruntung meminangnya. Terlihat senyum mereka mengembang ketika satu persatu menyalami tamu yang hadir. Beberapa detik aku terpaku, rasanya bumi berhenti berputar, ada yang bergemuruh di dada ini menyeruak tercekat di kerongkongan hingga membuat mataku mengembun, tapi kucoba tersenyum selebar mungkin, mendekati pelaminan itu.
Tantri yang melemparkan pandangannya padaku pun kulihat terkaget. Aku jelas melihat perubahan rona wajahnya, senyumnya menguncup dan matanya bening sebening kaca sebelum akhirnya meluncurlah butiran air mata di pipinya. Aku tak menghiraukan air matanya, aku masih tersenyum dan memberikan kotak itu padanya. Ia menerima dengan tangan bergetar, kemudian kusalami lelaki yang telah menjadi suaminya itu. Mengucapkan beberapa doa, kemudian berbalik dan pergi meninggalkan ruangan itu, aku lurus berjalan menuju motorku dan melaju dengan cepat. Meninggalkan rumah ini juga meninggalkan masa laluku yang terjebak di belakang sana.
Berbahagialah Tantri.

 By: Nufira Stalwart
Kamar Remang-remang @Violet79 

Comments

Popular posts from this blog

Yang Terbaik Bagimu* (Puisi untuk Ayah)

Hanya Isyarat [Rectoverso]

5 Upaya agar Bisa Konsisten Ngeblog

Dapet Kerjaan Gara-gara Ngeblog

Seni Membuang Barang [Edisi Pakaian]

Tamasya Ingatan (Sebuah Surat untuk Fathia Mohaddisa)