MIMPI PENULIS
Kau tahu
bukan apa cita-citaku? Apa impian terbesarku? Yah kau pasti tahu, karena kita
telah berbincang tentang itu sejak lama. Benar, karena
impian kita ternyata sama. Kita sama-sama ingin menjadi penulis. Penulis sukses
yang karyanya berjejeran di etalase juga rak-rak toko buku, menghadiri berbagai
undangan kepenulisan untuk membedah buku atau sekedar berbagi mengenai proses
kreatif dalam menulis, menginspirasi banyak orang untuk berubah menjadi lebih
baik, menghasilkan karya yang menghibur dan menemani para kutu buku yang
bertebaran di perpustakaan dengan kacamata tebal.
“Menulis itu
ada tiga kuncinya, satu menulis, dua menulis, tiga menulis.” Ujarmu dengan
senyum mengembang di ujung diskusi kepenulisan yang sering kita hadiri di
pelataran Mesjid kampus ketika sore menjelang.
Aku jelas
lebih hafal dengan kalimat itu, bukankah kita selalu membahasnya di pertengahan
malam hingga pagi menjelang dan kita meringkuk di bawah selimut yang sama.
Karena sekali lagi kita ini sama, sama-sama ingin menjadi penulis.
“Tar sore
jadi kan ke Book Fair?” Ajakanmu
selepas makan siang pukul 12.30 dengan mentari yang masih memanggang kota ini.
Aku ber-hmmm sesaat sebelum kemudian disusul anggukanku, mengiyakan. Hari ini
ada launching buku terbaru penulis favorit
kami, saban hari kami mendominasi tema perbincangan dengan karya dari penulis
yang satu ini.
Mengunjungi
toko buku, book fair, bedah buku atau
berburu buku di perpustakaan adalah ritual yang tak boleh kami lewatkan. Bukan
tanpa alasan, karena kami ini para calon penulis. Bukankah kita telah sama-sama
faham, bahwa untuk menulis,
minimal kita butuh tiga hal yaitu pengalaman, pengetahuan
dan imajinasi. Pengalaman adalah surga ide bagi setiap penulis, hal terkecil
seperti hujan, senja, asap knalpot pun bisa menginspirasi untuk dituliskan
menjadi sebuah cerita atau artikel. Kemudian pengetahuan, hal ini kita dapatkan
dari menggali literature yang berhubungan dengan tema yang akan kita tulis, so penulis pun bisa dipastikan merupakan
pembaca. Yang terakhir imajinasi, hal ini yang bikin tulisan kita edun, karena
Einstein bilang imajinasi ini lebih berharga dari pada ilmu pengetahuan itu
sendiri.
Keseharianku
sebagai penulis tentu tidak jauh-jauh dari pena dan kertas atau keyboard dan mouse teman setiaku meramu ide menjadi sebuah tulisan yang kelak
akan diterbtkan. Oia, ada yang penting sebelum menuangkan ide menjadi sebuah
tulisan, aku biasanya membuat outline, yaitu berupa catatan kecil mengenai
garis besar atau poin penting apa saja yang akan kita tulis. Hal ini sangat membantu,
ketika kita tidak bisa menyelesaikan tulisan saat ini, kita bisa lanjutkan
kapan saja karena poin pentingnya telah tercatat dalam outline.
“Re, beli
Koran PR sekarang juga.”
Pesan
singkatmu di pagi-pagi buta, hari minggu itu. Tak usah disuruh pun aku pasti
membelinya, aku tahu hari ini ada rubrik khazanah yang memuat tulisan bertema
sastra dan budaya. Ini rubrik kegemaranku, juga teman-temanku di komunitas
kepenulisan. Aku bergegas menuju konter koran terdekat dan langsung membuka
lembar khazanah. Bola mataku menyapu halaman itu dengan cepat, tapi kolom
cerpen dan puisi adalah yang pasti pertama kali aku baca.
Mataku
membulat, aku lihat judul cerpen dan nama penulisnya. Mulutku menganga dan aku
mengerejap-kerejapkan kelopak mataku. Ini sulit dipercaya, judul dan nama
penulisnya tidaklah asing bagiku. Ini tulisanmu Ta.
Reaksi
pertamaku, aku jelas bangga tulisan teman baiku mejeng di koran, kalau perlu
aku akan menulis status tentang ini di jejaring sosial. Tapi jika boleh jujur,
ada perasaan yang mengganjal di dadaku. Kami ini berteman, kami sama-sama ingin
menjadi penulis, tapi ternyata dia bisa melangkah terlebih dahulu. Aku
tertinggal satu poin di belakangnnya. Ini kenyataannya, tapi mengenai perasaan
pahit di ulu hatiku tak pernah aku mengerti.
Itu terjadi
setahun yang lalu, setelah itu aku tidak tertarik menulis di media masa, aku
ingin menulis sebuah novel atau buku dan mengirimkannya pada penerbit. Aku
masih ingin menjadi penulis, meski langkah ke arah sana tidak demikian mudah.
Bukankah
menjadi penulis yang sebenarnya itu yang berhasil menelurkan idenya menjadi
sebuah karya nyata. Aku rasa bukan hal yang sulit, karena aku memang telah
melahap berbagai teori menulis, hanya saja sebanyak apapun teori ia tinggal lah
berupa konsep yang bisa dipahami siapapun. Lain halnya dengan benar-benar
mempraktikan teori itu kemudian membuat karya nyata. Tak banyak orang yang
berani melakukannya.
Dan seperti
halnya hari ini aku duduk di sebuah bangku deretan terakhir sebuah aula,
menuliskan cerita ini. Hari ini ada seseorang yang telah berani menembus
batas-batas itu, bisa jadi tanpa teori. Tapi hari ini jelas dia telah membebaskan
dirinya dari kungkungan teori dan membuktikannya dengan meluncurkan sebuah
buku, coba tebak siapa? Yah, ini peluncuran bukumu teman. Coba katakan harus
kusebut apa sesuatu yang menggelitik sekaligus menyayat-nyayat kesadaranku ini?
Setahun terakhir kupingku sampai panas mendengar betapa kau begitu menikmatai
proses penulisan novel perdanamu ini, betapa kau jatuh cinta pada tokoh utama
yang kau bangun sendiri dalam novelmu.
Dan aku?
Kemana saja aku selama setahun terakhir ini, tiba-tiba aku berlari ke belakang
gedung, mencari pohon rindang dan bersila di bawahnya seraya menyalakan laptop
kembali. Telunjukku berputar-putar di atas touch
pad, aku lihat folder-folder karyaku, kubuka satu persatu. How come! Isinya sebagian besar berupa outline,
ide-ide cerita yang belum aku rampungkan, cerpen setengah jadi bahkan ada yang
baru satu paragraf. Kulirik folder lain, ada cerpen-cerpen yang telah kubereskan
juga tapi urung aku kirimkan ke media. Terlalu lama aku menimbang media mana
yang cocok aku kirimi karyaku, lantas aku lupakan, biar kusimpan saja. Terakhir
kuklik folder novel, di keterangannya ini aku buat setahun yang lalu, ketika
aku berniat membuat novel dan mengirimkannya ke penerbit, tapi masih berupa
gambaran umum cerita, belum juga aku selesaikan.
Kau benar,
kunci menjadi penulis ya menulis. Aku yakin kau bukan hanya mengerti kalimat
itu, tetapi juga membuktikannya. Buktinya adalah hari ini. Suara di aula
terdengar kian menggema. Aku lemas dan menyandarkan badanku pada batang pohon
di belakangku, hari ini aku jauh tertinggal di belakangmu kawan. Aku hanya
bermimpi ingin jadi penulis. Aku tak punya nyali untuk mewujudkannya. Jelas
hari ini aku tertinggal jauh di belakangmu, aku sudah tidak bisa lagi berjalan
lambat, aku harus berlari, mengejar sejumput mimpiku itu.
Nufira Stalwart
---Kamar Remang-remang @Violet79
---Kamar Remang-remang @Violet79
Comments
Post a Comment