Rekaman Ingatan Kampus Fiksi Angkatan X
Jika kamu menulis sendirian di dalam kamar, kamu akan merasa bahwa tulisanmu yang paling keren. Tetapi, saat kamu keluar dari kamarmu, kamu akan menemukan banyak orang dengan tulisan yang lebih keren. –Edi Akhiles
Tulisan ini sudah saya buat sejak
selesai acara Kampus Fiksi, tetapi saya mengendapkannya terlalu lama, nyaris
sepuluh hari. Saya memang bukan orang yang senang menulis secara spontan, lalu
dalam waktu singkat mempostingnya di blog. Mungkin ini juga alasan saya tidak
pernah bisa mengejar deadline tantangan Kampus Fiksi (Hallaaah, alesan!).
Saya pun sempat berpikir bahwa tulisan
ini sudah basi. Sudahlah tak usah diposting! Pikir saya
sebelumnya. Sebab, saya juga melihat postingan teman-teman yang lain pada bagus.
Apalah tulisan saya ini dibandingkan tulisan mereka.
Akan tetapi, saya kemudian teringat
kalimat Pram yang selalu saya jadikan panduan, bahwa “Menulis adalah
sebuah keberanian.” Maka dengan prolog panjang lebar, saya dengan berani
memposting tulisan sederhana ini sebagai sebuah rekaman ingatan. Selain itu, jika bukan lewat tulisan ini, saya
tidak tahu lewat apa lagi harus menyampaikan ucapan terima kasih.
Berbicara tentang keberanian dalam
menulis, mengikuti Kampus Fiksi juga merupakan sebuah keberanian bagi saya.
Sebab ini kali pertama saya datang ke Yogyakarta dengan kereta. Beruntung, ada
salah satu peserta yang juga tinggal di Bandung, namanya Sani. Kami berencana untuk
berangkat bersama.
November 2013, saya mendapat
pengumuman bahwa saya adalah salah satu peserta Kampus Fiksi yang terpilih. Ya!
Saya harus menunggu selama satu tahun untuk bisa mengikuti pelatihan menulis
yang diadakan oleh Penerbit DIVA Press ini. Acara ini gratis! Hanya
tinggal duduk manis mengikuti seluruh rangkaian kegiatan.
Pada tanggal 28 November 2014, Kereta
Kahuripan berangkat dari Bandung pukul 20:05. Saya dan Sani naik beberapa menit
sebelum kereta berangkat, karena tepat saat kami duduk di bangku yang kami
pesan, kereta langsung melaju. Astaga, nyaris saja kami ketinggalan kereta!
Di kereta, saya mereka-reka akan
seperti apa acara ini. Siapa saja yang akan saya temui nanti? Saya juga
teringat bahwa saya masih memiliki hutang 4000 kata untuk NaNoWriMo. Saya
sempat sesumbar akan membereskannya sebelum ke Yogya, tetapi ternyata gagal. Akan
sedikit autis saat acara! Itulah yang terpikir di kepala saya. Sebab
saya harus mencuri-curi waktu untuk menyelesaikannya di sela-sela kegiatan.
Kereta sampai di Stasiun Lempuyangan
sekitar jam lima pagi. Kami salat subuh di mesjid stasiun. Dari stasiun, kami
dijemput oleh Mas Kiki yang beberapa saat kemudian jadi saya panggil A Kiki
karena ternyata dia orang Cimahi. Haha
Kami tiba di asrama Kampus Fiksi
sekitar pukul enam. Asrama Kampus Fiksi berada dekat redaksi dan tempat
produksi buku Penerbit DIVA Press. Kami menjadi dua peserta terakhir yang
datang. Lalu, kami menempati sebuah kamar yang dihuni oleh beberapa peserta
lain. Sudah saya kira sebelumnya, para peserta Kampus Fiksi masih pada muda.
Rata-rata masih kuliah, bahkan ada yang masih sekolah.
Dikumpulkan dengan orang-orang baru yang
memiliki ketertarikan yang sama dalam seputar kepenulisan adalah sebuah
kesempatan, berkah dan keberuntungan bagi saya. Seperti kutipan di atas bahwa
bertemu orang-orang yang menyenangi menulis juga membuka pikiran saya bahwa di
luar sana banyak orang yang tulisannya keren. Hal itu memicu saya untuk belajar
dan memperbaiki tulisan saya yang masih jauh dari kata bagus.
Materi yang didapatkan di acara Kampus
Fiksi tidak melulu tentang teknik kepenulisan tetapi juga seputar swasunting,
keredaksian hingga menyangkut industri buku yang diisi oleh para pakarnya
masing-masing.
Acara ini sangat bermanfaat bagi saya,
diantaranya meluaskan jaringan, bertemu banyak orang, memiliki partner dalam
menulis serta mendapatkan bimbingan online selama empat bulan. Bukankah
ini sebuah kesempatan berharga yang sayang untuk dilewatkan?
Selain memiliki prinsip totalitas
dalam berkarya, panitia Kampus Fiksi juga memiliki totalitas yang luar biasa
dalam “melayani” kami selama di Yogya. Mereka semua ramah dan menyenangkan.
Kami difasilitasi dengan baik, makanan
selalu ada tanpa menunggu perut kami lapar, pun kopi dan teh tersedia tinggal
kami bikin sendiri.
Acara yang paling berkesan adalah
ketika kami diminta membuat cerpen selama tiga jam dengan tema yang telah
ditentukan. Kami dibuat dalam sebuah kelompok lalu dibimbing oleh satu mentor.
Saya yang tidak biasa menulis secara spontan sudah pasti kewalahan. Tetapi, saat meihat peserta lain yang semangat-atau tepatnya pasrah dengan tugas-saya pun berusaha untuk menyelesaikan cerpen sesuai ketentuan.
Kelompok IV bersama Mbak Ita (mentor). |
Sabtu malam, secara berkelompok kami
juga diminta untuk membuat yel-yel, drama singkat, membaca penggalan cerpen
atau puisi bahkan battle narasi. Ini adalah salah satu sesi yang saya
senangi karena peserta, panitia serta alumni lebur dalam kehangatan dan tawa.
Demikian mengukuhkan bahwa kami telah menjadi sebuah keluarga.
Terima kasih kepada Pak Edi Akhiles,
sosok yang bagi saya bukan hanya sebatas guru menulis tetapi juga guru
kehidupan.
"Radar Neptunus!" :p |
Terima kasih untuk Penerbit DIVA Press,
panitia, alumni dan pemateri. Terima kasih untuk kesempatan berharga ini.
Terlebih, untuk oleh-oleh 55 buku yang saya bawa pulang. Saya tidak
khawatir kehabisan bacaan selama setahun ke depan.
Terima kasih juga kepada para peserta
Kampus Fiksi angkatan 10, untuk kehangatan dan kebersamaan kita.
Selamat untuk beberapa orang yang karyanya akan segera terbit! Kalian semua
mengagumkan!
Bandung, Desember 2014
Nufira Stalwart
Comments
Post a Comment