Catatan Kecil tentang Pertemuan

“Berapa tahun kita nggak ketemu?” tanya lelaki itu suatu hari. Pertanyaan ini terlontar lewat pesan singkat yang dia kirimkan. Pesan singkat yang saya maksud adalah SMS, bukan lewat WA, BBM dan sejenisnya.
“Sepuluh tahun, mungkin,” jawab saya ragu, sambil menghitung jari, sudah berapa tahun kami lulus sekolah menengah. Selepas lulus SMP, kami memang tidak pernah bertemu, baik sengaja ataupun tidak.
“Seandainya kita ketemu di jalan, apa kamu masih akan mengenaliku?”
“Entahlah!” jawab saya. Saya memang tidak begitu yakin apa saya masih akan mengenalinya atau tidak. Sepanjang sepuluh tahun ini, bayangan yang muncul dalam benak saya ketika mengingatnya tak lebih hanya sebatas bayangan seorang bocah belasan tahun. Foto yang sempat dia pasang di profil facebook bahkan tak pernah bisa menggantikan bayangan purba itu.
“Kita sering bertukar kabar, kan nggak lucu saat kita berpapasan di suatu tempat, kita tidak saling menyapa karena merasa nggak kenal,” lanjutnya kemudian.
“Apa kita mesti ketemu? Tapi buat apa? Buat saling menyimpan ingatan tentang wajah terbaru masing-masing? Haha...”
Obrolan untuk bertemu memang sering muncul sejak beberapa tahun yang lalu, tapi nggak pernah kesampaian hingga detik ini. Kalau saya perhatikan, ada beberapa ketakutan dalam benak kami, sekalipun semuanya nggak jelas, entah gara-gara kami sadar bahwa kami beda kutub dan itu akan sedikit berbahaya, terlebih tidak ada urusan penting dan mendesak yang mengharuskan kami untuk bertemu. Entah karena anggapan bahwa pertemuan (apalagi sering) akan membuat bosan. Atau memang pertemuan bukanlah prioritas dalam pertemanan kami.

Kalau bertemu dalam acara undangan pernikahan teman sekolah atau reuni yang tiap tahun diadakan? Percayalah, dia bukan makhluk yang bisa ditemukan dalam acara-acara semacam itu. Berlebihan memang kalau dibilang asosial, tapi pada dasarnya kami menganggap diri kami adalah alien yang sedang berusaha menjadi penghuni bumi yang baik. Tidak mudah mengikuti hal-hal yang umumnya dilakukan orang. Sebut saja perihal berkirim pesan. Sekalipun bisa saja kami berkirim pesan lewat WA, BBM atau Line, layaknya anak muda pada umumnya, tetapi kami memilih bertukar pesan lewat SMS. Tepatnya karena dia memilih tidak memakai aplikasi yang barusan saya sebutkan, sekalipun memakai smartphone. Begitu juga dengan kumpul-kumpul bersama teman lama. Saya masih bisa mengikutinya, sedangkan dia tidak. Jangan tanya apa alasannya, saya nggak pernah tahu.
Sesekali kami juga saling berkirim email jika ada file, foto atau link yang ingin dikirimkan. Isinya biasanya mendiskusikan sesuatu, lebih serius sampai butuh balasan berlembar-lembar kertas A4. Beberapa kali dia bilang lebih senang berkirim email karena privasi lebih terjaga dan mirip dengan kebiasaan tokoh anime kesenangannya. Alasan yang aneh.
Sekali waktu saya bertanya kenapa kami nggak memutuskan untuk bertemu saja. Jawaban dia cukup menggelikan.
“Aku takut bakal ng-addict.”
Ini adalah jawaban sama yang sempat dia bilang beberapa tahun ke belakang ketika obrolan tentang pertemuan ini muncul. Rasanya geli mendengar ada orang yang enggan bertemu saya karena takut ketagihan. Kadang-kadang dia memang berlebihan.
Tetapi, bukan sekali dua kali saya berpikir keras kenapa saya merasa tidak memiliki minat yang tinggi untuk menemuinya. Apa benar karena alasan-alasan takut bosan, takut ketagihan (seperti dia) atau alasan lain?
Bayangkan, kami tidak pernah bertemu selama sekitar sepuluh tahun, selama itu kami baik-baik saja dan menilai satu sama lain dari pesan-pesan yang kami kirimkan. Lalu, tiba-tiba harus bertemu dan membuat pandangan baru tentang diri kami masing-masing.
Bagaimana jika kami hanya nyambung dan bisa berteman sebatas lewat berkirim pesan tapi membosankan saat ngobrol langsung?
Lebih parah lagi, bagaimana jika pertemuan itu, seolah-olah membuka kotak pandora dan menjadi sesuatu yang akhirnya kami sesali dan seharusnya tidak perlu terjadi?

Comments

Popular posts from this blog

REVIEW: Bulan Merah (Kisah Para Pembawa Pesan Rahasia)

SELEMBAR KERTAS

Mengalahkan Diri Sendiri