Aku Biru Lalu Kelabu


Oleh: Nufira Stalwart

Ketika mentari belumlah tenggelam di ujung lautan sana. Aku tahu kau akan duduk memeluk lutut atau berdiri dengan kepala tengadah dan tangan terentang. Tubuhmu oranye menyilaukan mataku karena bermandikan cahaya senja. Tak alfa hari ini kau pun ada di sana, begitu juga aku. Bedanya, jika kau memandang bola api yang merona di ufuk barat itu, aku disini tertegun setidaknya beberapa menit sampai gelap mulai merangkak, memandangimu.
Bulan kini semakin jelas dan kita sama-sama bubar dari tempat itu, tanpa kau tahu dan tak perlu tahu keberadaanku.
Sampai suatu hari entah dari mana keberanian itu mencuat tak tertahankan. Aku melangkahkan kaki ke arah kau biasa melakukan ritual senjamu, terkadang kuhentikan, ragu menjalari setiap inci langkahku. Tapi terus kulanjutkan, hingga aku merasa dentuman di dadaku kian memekakan. Puncaknya ketika aku ikut duduk di sampingmu. Tanpa sepatah kata sekalipun "Hai". Kita sama-sama tahu, tidak ingin saling mengganggu di bawah rona jingga ini.
"Kamu akhirnya rindu senja!"
Aku terperangah dengan kalimatnya, "Aku rindu kamu!" kalimat yang akhirnya hanya tercekat di kerongkongan tak kuasa meluncur keluar kecuali hanya hembusan udara dari paru-paruku.
Hening.
"Apa kabar cuacamu?" ujarku lembut ditingkahi suara ombak yang berbenturan dengan bibir pantai.
"Aku tiba-tiba biru, karena kehadiranmu sekarang" Ujarmu, dengan sesungging senyum, miris. Hatiku melambung, ke angkasa. Terbang seumpama elang dengan pandangan bebas tak terbatas. Hingga pandanganku tertuju padamu dan kuberanikan diri menyapu wajahmu dengan kedua bola mataku.
"Tapi hari-hariku didominasi kelabu, sejak kepergianmu." Lanjutmu. Kini balas kau yang menatapku, tajam. Tatapan yang tak pernah ku kenal. Ada sendu, ada rindu, dan ada amarah di situ. Tapi setidaknya tak ku lihat kilatan bening yang hendak meluncur dari bola matamu. Kulemparkan lagi pandanganku pada karang yang kokoh di terjang ombak yang menggulung ganas. Sepertinya kau tak perlu menimbang ulang kata-katamu yang kontan menjatuhkan hatiku dari angkasa.
Tak ada sirat keangkuhan darimu ketika kau berujar bahwa kau biru karena kehadiranku. Sepertinya kau memang tidak diwarisi gen angkuh sepertiku. Ingatanku melambung jauh menuju lembaran masa lalu ketika kau tak pernah ragu berujar "Aku rindu. Aku butuh." Dan aku menyembunyikan diriku dari kalimatmu, secepatnya kabur dan melarikan diri, enggan isi hatiku kau baca. bahwa aku turut merasa apa yang kau rasa.
Mentari kini sudah benar-benar tenggelam di gantikan bulan. Hingga senja segera berlalu dan gelap perlahan membungkus malam. Hitam di atas sana, seperti jubah buludru dengan rembulan sepasi dan manik-manik bintang  mulai berkilauan.
Kau berdiri, lalu berbalik dan melangkah menjauh dari tempatku duduk. Refleks mataku mengikuti gerakanmu seraya membuntuti jejakmu.
"Maafkan aku Laras." Kalimat itu akhirnya meluncur dari mulutku, dengan suara bergetar bersaing dengan deru ombak.
Kau menghentikan langkahmu, mematung sesaat disana. Seolah kalimatku barusan adalah mantera yang membekukanmu. Namun masih kulihat bahumu naik turun dengan helaan nafas panjang. Aku mensejajari langkahmu. Mengulangi kalimatku. "Maafkan aku Laras."
Matamu yang sedari tadi tertuju pada pepasir di hadapanmu, kini tajam menikam mataku. Gigimu gemelutuk dengan senyum tertahan. Kini air mata itu meluncur tanpa permisi lantas meluluh lantakkanku.
"Terlambat, Zein." Ujarmu dengan suara berat, kata yang aku tahu begitu berat meluncur dari bibirmu. "Besok aku akan tetap melangsungkan pernikahanku dengan Remka. Lelaki yang akhirnya berani menjatuhkan pilihannya padaku, sekalipun hatiku memilih lelaki lain sejak lama."
Dan kau bergegas, kemudian berlari dengan air mata berhamburan. Sedang aku kini yang mematung, melihat tubuhmu ditelan kegelapan kemudian menghilang dari pandanganku.
Selaksa perasaan tak ku kenal bergumul di dadaku, sesal mungkin, sedih mungkin, kehilangan mungkin, dan bahagia hal terakhir yang akhirnya memulihkan kekuatanku untuk melangkah meninggalkan pantai ini. Aku bahagia dengan pilihanmu, kau benar dengan menerima seseorang yang berani mencintaimu dan berani menyatakannya padamu. Bukan sepertiku.

5/6/2012




Comments

Popular posts from this blog

Yang Terbaik Bagimu* (Puisi untuk Ayah)

Hanya Isyarat [Rectoverso]

5 Upaya agar Bisa Konsisten Ngeblog

Dapet Kerjaan Gara-gara Ngeblog

Seni Membuang Barang [Edisi Pakaian]

Tamasya Ingatan (Sebuah Surat untuk Fathia Mohaddisa)