SOSOK DI DALAM CERMIN (Inilah Koran, 15 Februari 2015)

Rumah itu hanya dihuni oleh seorang perempuan bersama suaminya. Di rumah itu tidak ada satu pun cermin. Bukan karena tidak mampu membelinya apalagi karena pengaruh film lokal yang pernah dia saksikan, seperti ada seseorang yang memiliki kemampuan memprediksi kematian hanya dengan melihat cermin. Atau, cerita pasaran tentang sesosok bayangan yang hanya muncul di dalam cermin. Hingga ada hantu yang keluar dari cermin.
Melainkan, ada satu hal yang tak akan pernah dia lupakan dan itu berhubungan dengan cermin. Yaitu pada suatu hari, saat dia beranjak dari meja riasnya, sesaat matanya melirik ke arah cermin dan melihat bayangannya tidak ikut bergerak.
***
Perihal bayangannya yang beberapa saat tetap terpaku pada cermin, perempuan itu memilih tak menceritakannya pada siapapun, termasuk pada suaminya. Terlebih, suaminya yang pendiam tak banyak bertanya saat dia menyingkirkan semua cermin di rumah. Bahkan, menutupi cermin yang menempel di lemari pakaian dengan koran.
Adalah sesuatu yang muskil bagi perempuan itu untuk menceritakan pengalaman irasionalnya pada yang lain. Mana ada yang mempercayai. Bahkan, jika bukan karena dia mengalaminya sendiri, tentu dia juga tidak akan percaya bila orang lain yang menceritakan pengalaman semacam ini pada dirinya.
Sesekali, saat dia menemukan cermin di tempat umum, seperti di mal atau toko pakaian yang biasa dikunjungi. Dia memberanikan diri memandang cermin beberapa lama, lalu menggerakkan badan serta mondar-mandir di depan cermin. Tetapi, tak ada hal aneh yang dia temukan. Akhirnya, dia anggap kejadian itu hanyalah ilusi optik. Sekalipun demikian, dia tak berniat mengembalikan cermin ke rumahnya atau membuka koran yang melapisi cermin di lemarinya.
Bersama suaminya, perempuan itu telah mendiami rumah tak seberapa luas itu seusia pernikahan mereka. Tujuh tahun. Dan selama itu, mereka belum dikaruniai anak. Seperti yang pernah disebutkan di atas, suaminya adalah lelaki pendiam, sangat pendiam. Sepulang dari kantor, suaminya lebih sering membenamkan diri di ruangan khusus tempat dia menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah.
Pintu ruangan itu selalu tertutup sekalipun tidak dikunci. Ini bukan hal aneh bagi suami istri tersebut. Sebab, sebelum mereka menikah, si suami meminta pada perempuan itu untuk memiliki ruangan khusus dan tidak ingin diganggu selama dia bekerja. Menulis cerita. Itulah profesi lain dari suaminya, selain bekerja di kantor. Perempuan itu juga tidak keberatan dengan permintaannya. Dia juga tidak keberatan sekalipun beberapa tahun terakhir suaminya lebih menghabiskan banyak waktu di ruangan itu daripada menemaninya.
Terlebih, perempuan itu menyadari, sekalipun mereka harus menghabiskan banyak waktu bersama dan bermesraan, semua itu akan sia-sia saja. Suaminya telah divonis mandul oleh dokter. Maka, dia membiarkan saja kehendak suaminya untuk berlama-lama bekerja di luar atau di ruangan itu.
“Siapa sebenarnya yang membunuh Andriana?” tanya perempuan itu saat mereka sedang sarapan. Sarapan adalah salah satu hal yang mereka sepakati untuk dilakukan bersama-sama. Ini adalah kesempatan perempuan itu untuk mengajak suaminya berbincang. Kali ini, dia bertanya tentang ending cerita karya suaminya yang hari ini dimuat di koran Ibu Kota. Perempuan itu memilih topik ini karena biasanya sang suami akan angkat bicara jika menyangkut kesenangannya.
“Tidak penting,” kata lelaki itu. Singkat.
“Bagiku ini penting. Juga bagi para pembacamu. Kau tidak menulis cerita sampai selesai,” kilah perempuan itu, menghentikan suapan nasi gorengnya dan menatap lurus lelaki di hadapannya yang terus saja melanjutkan sarapan.
“Aku menganggap ceritaku sudah selesai sampai si tokoh menemukan pacarnya dibunuh, padahal malamnya dia baru saja bersama lelaki lain. Aku yakin, para pembaca ceritaku yang cerdas juga akan langsung mafhum.”
Perempuan itu mendengus sebal sebab ia mengira pertanyaannya itu akan berujung pada obrolan asyik. Alih-alih mengasyikan, dia malah merasa tertohok, dianggap sebagai pembaca yang tidak cerdas. Ruang makan itu kembali hening sampai keduanya membereskan sarapan. Perempuan itu mengangkut piring kotor ke bak cucian, diikuti derit pintu ruang kerja suaminya yang tertutup.
Perhatian perempuan itu sudah beralih pada cucian piring dan aktivitas rumahan di hari libur, dilanjutkan urusan pakaian kotor dan membenamkannya ke mesin cuci. Pakaian mereka berdua selama seminggu. Maklum, mereka sibuk bekerja dan perempuan ini sering mengeluh dengan pelayanan jasa mencuci baju di dekat rumahnya.
Sebelum memasukan pakaiannya satu persatu ke dalam mesin, dia merogoh semua saku dan menemukan sebuah kartu nama perempuan di saku jas suaminya. Seharusnya ini bukan sesuatu hal yang membuat dia diam sejenak, mengerutkan kening lalu bertanya-tanya ini kartu nama “siapa”. Kata “siapa” yang dimaksud tentu bukan nama atau pekerjaannya, semuanya sudah tertera dengan jelas di sana. Tetapi, apa hubungan pemilik kartu nama itu dengan suaminya.
Suaminya adalah seorang lelaki yang rapi dan telaten, selalu menyimpan apapun pada tempatnya. Jika kartu nama ini penting, tentu akan disimpannya sementara di dompet. Sebelum akhirnya, menyatukannya ke dalam kotak khusus kartu nama yang sudah dikategorikan berdasarkan lingkaran pertemanannya. Apakah rekan kerja, teman sesama penulis atau yang lainnya.
Perempuan itu akhirnya menyimpan kartu nama di rak yang sama untuk menyimpan detergen. Kemudian, dia melanjutkan aktivitas mencucinya. Jika memang kartu itu penting, tentu suaminya akan bertanya atau mencarinya. Setelah semua selesai, dia kembali ke ruang tengah dan menyalakan televisi lalu duduk tepat dua meter dari ruang kerja suaminya.
Perempuan itu menatap pintu ruang kerja suaminya. Tiba-tiba muncul keinginan dalam dirinya untuk memasuki ruangan itu dan mencari tahu sebenarnya apa yang sedang dilakukan suaminya di dalam. Tulisan apa yang sedang dia buat atau buku apa yang sedang dia baca. Bukan sekali dua kali dia merasakan hal ini. Bahkan sejak awal pernikahan mereka, dia selalu ingin dijak masuk ke ruangan itu. Sebuah dunia yang hanya dimiliki suaminya.
Tetapi, sebesar apapun dorongan itu, dia tak bisa melakukannya. Perasaan saling percaya telah mereka bangun selama tujuh tahun. Selama itu suaminya juga tidak pernah melakukan sesuatu yang membuat dia kecewa. Dorongan itu masih bisa dia redam kecuali setelah beberapa hari berlalu, dia teringat dengan kartu nama dari saku jas suaminya dan mencarinya ke tempat dia menyimpannya di dekat detergen. Kartu itu sudah tidak ada.
Perasaan tidak menyenangkan mulai merambati hatinya. Dia tiba-tiba ingin masuk ke dalam ruangan itu atau mengunjungi kantor suaminya pada jam istirahat. Sekali lagi perempuan itu menepis keinginan bodohnya. Sebuah tindakan yang berlebihan hanya karena sebuah kartu nama. Ya, sekalipun selama ini hubungan mereka beku, bukan berarti dia tidak bisa lagi merasa cemburu.
***
“Apa yang kau lakukan di ruanganku?” tangan perempuan itu ditarik hingga badannya terduduk. Dengan setengah tersadar dan mata mengerejap karena dibangunkan begitu saja dari tidurnya. Perempuan itu hanya memasang wajah tidak mengerti dan terpaku menatap wajah galak suaminya.
“Apa maksudmu?”
“Apa maksudku? Aku yang seharusnya bertanya apa maksudmu? Kenapa kamu mengacak-acak ruang kerjaku? Setelah kemarin kamu datang ke kantor lalu berantem dengan klienku. Bikin malu saja!”
Perempuan itu tetap tidak bisa berkata apa-apa setelah diberondong kalimat pedas suaminya yang pendiam dan jarang marah itu. Dia terkesiap, ingin balik marah atas tuduhan sesuatu yang tak pernah dia lakukan. Dia ingin menampar lelaki di hadapannya yang memuntahkan kalimat menyakitkan. Tetapi, dia tidak melakukan apa-apa. Perempuan itu hanya diam.
Melihat istrinya yang hanya bungkam. Lelaki itu tak banyak cakap, langsung pergi dari kamar tidur istrinya. Setelah bantingan pintu, terdengar deru mesin motor yang tak lama kemudian suaranya menjauh dari beranda rumah.
Besoknya dia tak melihat tanda-tanda bahwa suaminya akan pulang. Dia menunggu sampai larut malam, tetapi tak terdengar deru mesin motornya kembali. Hingga, dia tertidur di sofa ruang tengah dengan televisi yang masih menyala.
Saat perempuan itu terbangun, dia terhenyak dan menjerit melihat lantai ruang tengah itu sudah penuh dengan darah. Dia juga melihat tubuh suaminya sudah terbujur kaku dengan pisau dapur menancap di dadanya. Kemeja putihnya sudah penuh dengan noda darah.
Perempuan itu mengguncang tubuh suaminya sambil meraung-raung. Dia menatap ke sekeliling barangkali pembunuh suaminya masih berada di rumah itu. Dia memutuskan untuk meminta bantuan tetangganya. Namun, masih dengan posisi setengah terduduk, matanya terpaku pada layar televisi yang sudah dimatikan. Dia menatap lekat-lekat bayangannya dengan tatapan ngeri. Samar-samar dia melihat ada selengkung senyum di bibirnya.
~Nufira Stalwart
Bandung, Februari 2015


Foto diambil setelah dipamerin kesana kemari sampai lecek dan kena noda minyak segala :p

Comments

Popular posts from this blog

Yang Terbaik Bagimu* (Puisi untuk Ayah)

Hanya Isyarat [Rectoverso]

5 Upaya agar Bisa Konsisten Ngeblog

Dapet Kerjaan Gara-gara Ngeblog

Seni Membuang Barang [Edisi Pakaian]

Tamasya Ingatan (Sebuah Surat untuk Fathia Mohaddisa)