Aku Mencintaimu seperti Mencintai Secangkir Cappuccino
Adakah yang lebih menarik dari secangkir cappuccino? Bagiku espresso atau bahkan latte kalah menarik darinya. Sebentar, aku memulai tulisan ini dengan gaya sok sekali menggunakan istilah jenis-jenis kopi yang aku sendiri susah payah mengejanya. Cappuccino yang kumaksud adalah kopi susu yang dilengkapi busa di atasnya serta taburan bubuk coklat. Aku biasa membelinya di warung depan dengan harga yang sedikit lebih mahal dari kopi instan pada umumnya. Terpaksa harus kugunakan istilah ini untuk membedakannya dengan kopi susu lain. Boleh, ya?
Seperti yang kubilang sebelumnya, setidaknya menurutku, cappuccino itu selalu terlihat cantik dan menarik di dalam cangkir, membuatku ingin mereguknya terus menerus hingga tandas. Aku bisa menghabiskannya dalam waktu sekejap. Setelahnya, seharian badanku gemetar, aku harus menetralisir lambungku dengan meminum banyak-banyak air putih sampai kembung. Sekalipun lambungku meradang, tak pernah sekalipun aku bosan.
Perutku memang udik! Dikasih kopi lebih mahal sedikit malah protes. Kalau aku hanya meminum kopi hitam dengan tambahan sedikit gula, dia adem ayem. Barangkali karena gayaku meminum kopi hitam sedikit berbeda. Ya, aku menyeruputnya sedikit demi sedikit. Secangkir bisa bertahan seharian, bahkan sampai kelupaan. Lambungku pun tak pernah protes, dia menerima dengan lapang, pahit dan manis dalam sekali tegukan.
Maka, aku mencintaimu seperti mencintai secangkir cappuccino. Sudah tahu bakal terluka, masih saja aku tak mau peduli. Mencintaimu terus berkali-kali.
Seperti yang kubilang sebelumnya, setidaknya menurutku, cappuccino itu selalu terlihat cantik dan menarik di dalam cangkir, membuatku ingin mereguknya terus menerus hingga tandas. Aku bisa menghabiskannya dalam waktu sekejap. Setelahnya, seharian badanku gemetar, aku harus menetralisir lambungku dengan meminum banyak-banyak air putih sampai kembung. Sekalipun lambungku meradang, tak pernah sekalipun aku bosan.
Perutku memang udik! Dikasih kopi lebih mahal sedikit malah protes. Kalau aku hanya meminum kopi hitam dengan tambahan sedikit gula, dia adem ayem. Barangkali karena gayaku meminum kopi hitam sedikit berbeda. Ya, aku menyeruputnya sedikit demi sedikit. Secangkir bisa bertahan seharian, bahkan sampai kelupaan. Lambungku pun tak pernah protes, dia menerima dengan lapang, pahit dan manis dalam sekali tegukan.
Maka, aku mencintaimu seperti mencintai secangkir cappuccino. Sudah tahu bakal terluka, masih saja aku tak mau peduli. Mencintaimu terus berkali-kali.
Bandung, saat hujan mengguyur Maret
dengan derasnya.
Comments
Post a Comment