GERBONG MAUT
Gerbong tiga, saat mentari sedang terik-teriknya...
Kecepatan kereta berkurang dan terdengar bunyi derit roda dengan
rel berarti sebuah harapan baru bagi mereka. Semua penghuni gerbong kereta itu
berbondong-bondeng mendekati pintu, berharap seseorang membukanya memberi
makanan, minuman atau sekadar udara segar. Seharusnya, mereka mengubur harapan
itu dalam-dalam. Pintu itu tak kunjung terbuka. Tidak di sini, tidak di stasiun
lain, sebelum mereka benar-benar tiba di Surabaya.
"Air... Air...Air...."
"Tolong buka pintunya, Tuan!"
"Beri kami hawa!"
Nyaris semua orang menggedor-gedor dinding gerbong. Mereka
seolah terjebak di sebuah oven yang berada di atas panggangan dengan bara
menyala-nyala. Tak butuh waktu lama untuk membuat kulit mereka melepuh seperti
halnya gula yang lumer saat dipanaskan. Namun, sekuat apapun mereka berteriak,
sekeras apapun mereka menggedor dinding, pintu tak kunjung dibuka.
Belanda jahanam!
Seorang lelaki yang terbilang muda duduk di paling sudut
gerbong, memaki dengan napas tersendat. Sebut saja dia Rus. Dia tak beranjak
sejak kereta ini berangkat. Untuk apa juga memohon kepada para penjajah,
bisiknya dalam hati. Memang, pada masa seperti ini, kematian bisa menghampiri
dengan cara apa saja. Mulai dari tembakan peluru, siksaan di dalam tahanan,
pertempuran atau mengidap kegilaan sebelum akhirnya tewas di tempat
pengasingan.
Tanpa bukti atau pengadilan, Rus menjadi bagian dari para
tahanan. Dia ditahan hanya berdasar dicurigai sebagai grilyawan. Sebelumnya, dia dan para
tahanan di tiga gerbong ini mendekam di penjara Bodowaso yang sudah overload
sehingga mereka dipindahkan ke Surabaya.
Perjalanan dengan gerbong barang itu tentu saja jauh dari
kata menyenangkan. Hampir 40 orang ditempatkan dalam satu gerbong yang sama
dengan kegelapan total, tanpa makanan dan minuman. Paru-paru mereka berebut
hawa. Sebab, sebagaimana gerbong barang pada umumnya, tidak ada jendela ataupun
ventilasi udara.
Lebih dari satu jam, gerbong mereka tak bergerak dan tersengat
matahari. Maka selain sesak napas, mereka juga kepanasan. Semua orang membuka
pakaian, bahkan ada yang nekat telanjang.
Tersebab kesulitan bernapas dan rasa haus yang mendera, Rus
akhirnya menyerah dan menuntun kakinya mendekati pintu. Mengikuti instingnya.
Jika keinginan untuk keluar dan kabur dari gerbong ini terlalu mewah baginya,
setidaknya dia ingin bernapas lebih lega. Dia menarik lengan orang-orang yang
menghalangi jalannya mendekati pintu. Mereka balik menyikut dan mendorongnya.
"Air... Air...Air...."
Bibir Rus ikut meneriakkan kata yang sejak tadi orang-orang
sebutkan. Hingga dia lelah dan hanya berbisik lirih sambil terus terdorong dan
terombang-ambing di depan pintu. Akhirnya, dia terpental ke salah satu dinding
gerbong. Kulitnya tergores sudut lancip dari dinding gerbong. Dia meringis,
tetapi bibirnya kembali bergumam, memohon diberikan air.
Seseorang yang duduk di samping Rus meraba-raba kepalanya.
"Buka mulutmu!" ucapnya saat menyentuh wajah Rus.
Rus membuka mulutnya lebar-lebar. Lalu, lelaki itu
mendekatkan lengannya yang lain dan menyodorkan genggamannya ke mulut Rus. Aromannya
sangat dia kenali. Lelaki itu sempat bergumam maaf, tetapi tanpa pikir panjang
Rus menyeruput air dari lengan lelaki itu. Air seni.
Rus lupa untuk mengucapkan terima kasih. Dia kembali
meraba-raba dalam kegelapan, hendak kembali ke pojok gerbong. Tetapi, tangannya
menyentuh tubuh beberapa orang yang sudah tergeletak di lantai dan tak
bergerak.
"Sudah ada enam korban yang meninggal." Seperti
menyadari kekagetan Rus, lelaki yang tadi memberinya air seni berujar dengan
suara parau. Lalu, berteriak dan ikut menggedor dinding sambil menyebutkan
jumlah korban yang sudah meninggal.
"Beri kami air, Tuan! Sudah ada enam korban yang
meninggal!"
"Tidak ada air di sini, hanya ada peluru."
Itulah jawaban penjaga di luar. Ternyata penjagannya tak hanya orang Belanda,
ada orang pribumi juga.
Kereta kembali melaju, Rus meraba-raba melangkah menuju
pojok gerbong yang lebih lengang sebab kebanyakan orang menumpuk di depan
pintu. Kereta mulai melaju dengan kecepatan teratur.
Hari semakin terik, hawa di gerbong ini berkali lipat
panasnya. Rus tak lagi mendengar teriakan orang-orang. Mereka seakan dibungkam
dengan keadaan. Sesekali dia mendengar erangan dari orang yang meregang nyawa.
Entah berapa jumlah orang yang sudah meninggal.
Dia bersandar pada dinding yang terbuat dari baja itu.
Bibirnya tak berhenti merapal doa. Lalu bayangan kampung halaman muncul di
kegelapan. Dia benar-benar merindukan keluarganya. Merindukan seorang perempuan
yang belum lama dia pinang. Sebulir air mata menetes di pipinya. Tak ada suara
isakan dari mulutnya.
Tiba-tiba, Rus merasa suhu dinding gerbong perlahan
menurun seolah disiram air dari langit. Deru mesin lokomotif ditingkahi
paku-paku air yang menusuk atap gerbong. Matanya tiba-tiba merasa ngantuk, sesaat
kemudian terlelap.
Kereta akhirnya berhenti sekitar pukul delapan.
“Keluar!” teriak para penjaga.
Pintu gerbong tiga dibuka, tetapi tak ada yang bergerak
seperti di dua gerbong lain. Para penjaga memerintahkan para tahanan dari
gerbong lain untuk mengangkut mayat-mayat yang menumpuk di depan pintu gerbong
tiga. Kondisinya mengenaskan dengan kulit yang melepuh dan darah bersimbah
dimana-mana. Keluar dari mata, hidung dan telinga para korban.
“Ada dua orang yang duduk di pojok!” ujar salah satu
tahanan dari gerbong lain yang ditugaskan mengangkut mayat-mayat ini keluar.
Lelah dan lapar mereka hiraukan sebab ini adalah kawan mereka sendiri.
Dua orang tahanan naik ke dalam gerbong dan melangkahi
mayat-mayat di depan pintu. Mereka mendekati dua orang di pojokan, mengecek
urat nadi keduanya. Dua orang tahanan itu lalu saling bertukar pandang.
Stasiun Bondowoso, pagi buta menjelang keberangkatan...
Hari ini, 28 November 1947. Para tahanan dari penjara
Bondowoso akan dipindahkan. Ada tiga gerbong barang yang disiapkan untuk
seratus orang tahanan. Sekilas ketiga gerbong itu seperti gerbong barang tua pada umumnya, kecuali
yang ketiga, paling besar dan terlihat paling baru.
Para tahanan berebut memasuki gerbong tiga, ada 38 orang
yang berhasil memasuki gerbong itu. Tentu saja atas dasar pemikiran gerbong
baru akan membuat perjalanan 16 jam yang akan mereka tempuh terasa lebih
nyaman. Tanpa mereka tahu bahwa tidak ada satupun orang yang akan keluar dari
gerbong tiga ini dalam keadaan hidup. Sebab yang baru saja mereka masuki adalah
gerbong maut.
Bandung, 8 Februari 2015
*Cerpen ini diikutsertakan dalam tantangan Kampus Fiksi #KeretaAksara
Comments
Post a Comment