Maleficent (2014), Merekonstruksi Cerita Lama Menjadi Kekinian
Gambar diambil dari sini. |
Masih belum
terbiasa membuat review film, karena saya bukan orang yang begitu suka
nonton film atau televisi, jadi pengetahuan saya seputar perfilman atau
pertelevisian masih terbatas. Tetapi, akhirnya memutuskan untuk terus mencoba menulis
review mengingat obrolan dengan seorang teman bahwa membuat review itu bagus
untuk membangun kebiasaan menulis, syukur-syukur hingga mengembangkan kemampuan
berargumentasi.
Nah, kali ini
saya ingin berbagi tentang film yang baru saja saya tonton, judulnya
Maleficent. Film tahun 2014 yang dibintangi oleh Angelina Jolie. Saya tertarik
menonton ini, karena sedang mencari referensi tentang dongeng kontemporer dan rekonstruksi
dongeng. Film ini bikin saya mengangguk-angguk dan memuji
beberapa kali karena bagus banget.
Bercerita dari
sudut pandang Maleficent, direkonstruksi dari karakter antagonis dalam film
Sleeping Beauty (1959). Seorang peri muda tetapi memiliki kekuatan hebat yang hidup
di hutan ajaib, Moors. Dia jatuh cinta kepada seorang manusia bernama Stefan.
Bagaimanapun, mereka hidup di dunia yang berbeda dan dibesarkan dengan cara
berbeda sehingga harus terpisah.
Konflik bermula
ketika sebuah kerajaan ingin menaklukan Moors tetapi Maleficent menolak untuk
takluk. Kemudian, raja memerintahkan siapa saja untuk membunuh Maleficent
dengan imbalan tahta kerajaan dan pernikahan dengan putri raja. Stefan yang
sudah dewasa tergiur dengan tawaran sang raja lalu mendatangi Moors. Dia
meminumkan obat tidur kepada Maleficent dengan niat diam-diam membunuhnya saat
peri itu sedang tidur. Tetapi dia gagal, tidak tega tepatnya dan hanya memotong sayapnya lalu
menyerahkan kepada raja sebagai bukti bahwa dia telah membunuhnya. Apalah
arti seorang peri tanpa sayap? Peristiwa ini tentu saja membuat Maleficent murka
dan ingin menuntaskan dendamnya.
Saya tidak bisa
berkomentar tentang sinematografi, visual effect, make up Angelina Jolie dan
hal sejenisnya, tetapi saya berani bilang bahwa ini adalah salah satu film yang
berhasil merekonstruksi cerita lama menjadi lebih kekinian. Setidaknya, ada dua hal yang menurut saya
berhasil direkonstruksi, yaitu konsep cerita dan karakter.
Cerita Sleeping
Beauty tentu akrab dalam ingatan kita, sekalipun memiliki berbagai versi,
kita akan langsung menebak ceritanya seperti apa. Tetapi, Maleficent tetap
layak ditonton karena berhasil mengangkat konsep baru, misalnya saja pandangan baru tentang
cinta sejati. Sehingga, film ini tetap memberi kejutan sekaligus lebih bisa diterima akal
orang-orang yang hidup di era sekarang ketimbang konsep di cerita aslinya.
Selain konsep
cerita, Maleficent juga berhasil merekonstruksi karakter. Tokoh tidak lagi
dibuat hitam putih. Maksud saya, satu tokoh tidak melulu baik dari A-Z, juga tidak
terus saja jahat dari awal hingga akhir seperti dongeng pada umumnya. Melainkan, tokoh
dibuat abu-abu, atau sebut saja memiliki sisi terang dan gelap. Manusiawi banget, kan?
Ada sesuatu yang
menarik bagi saya, yaitu saat Stefan berhasil memotong sayap Maleficent. Ternyata
adegan ini dianggap multitafsir dan memiliki pelajaran moral yang bisa diambil.
Salah satunya, dari yang saya baca di Wikipedia, Hayley Khrichener di The Huffington Post menyebut
ini sebagai metafor dari tindakan pemerkosaan yang akan sangat merugikan pihak
perempuan. Namun, juga memberi harapan kepada korban untuk tidak putus asa dan
bisa bangkit lagi.
Melihat film ini,
saya menanti ada film maker dalam negeri yang merekonstruksi legenda seperti
Sangkuriang, Malin Kundang, dsb. (Apa mungkin saya yang kurang update dengan
film lokal semacam ini?) Saya kira, akan menarik jika legenda yang kita kenal direkonstruksi
menjadi cerita baru untuk mengangkat warisan cerita lokal yang mulai
terlupakan.
Comments
Post a Comment