Posts

Showing posts from September, 2014

Kembali #MenantangDiri #30HariMenulis Selesai

Image
Kembali#MenantangDiri #30HariMenulis selesai, kemarin. Harusnya postingan ini dipost kemarin. Tetapi karena ada emergency family , saya menundanya. Sambil berpikir semoga bisa membuat tulisan yang lebih bagus di hari spesial ini. Tetapi sayang sekali seharian tidak bisa membuka laptop, sampai kosan sudah sangat capek dan mati listrik :( Kembali#MenantangDiri #30HariMenulis selesai? Ya selesai! Ada rasa tidak percaya, ternyata saya bisa melangkah sekalipun masih tertatih-tatih. Mengingat pesan seorang filsuf China: It does not matter how slowly you go as long as you do not stop. (Confucius) Yes beres! Program pribadi ini memang tidak membawa saya kemana-mana, tidak memberikan banyak arti tetapi dari sini saya belajar. Belajar bagaimana rasanya setiap hari meracau tentang hal-hal yang dirasakan juga dialami atau sekedar imajinasi. Kemudian saya belajar untuk selalu peka, jujur dan memaklumi diri sendiri. Mengingat saya pernah bolos empat hari! Biarlaah biarlaah… yang pentin

Komunitas Taraje

Image
Pernah denger ada komunitas kepenulisan bernama Komunitas Taraje? Cuman pernah denger aja tapi nggak tau kegiatannya ngapain? Oke, ikutin deh Q&A berikut ini:   Q: Taraje apaan? A: Taraje itu bahasa Sunda. Artinya tangga terbuat dari bambu yang kokoh dan lentur. Q: Kenapa nama komunitasnya Taraje? A: Awalnya komunitas ini bernama Anak Muda Bikin Buku (AMBB), tapi akhirnya diganti jadi Komunitas Taraje. Filosofinya karena taraje melambangkan jalan ke atas atau ke puncak. Karena ini komunitas kepenulisan, harapannya komunitas ini bisa membawa anggotanya ke puncak kesuksesan dalam hal menulis.

Kepada Sajak

gambar-gambar mengadu kepada bungkam suara-suara merajuk kepada senyap sajak diinjak-injak lalu tumbuh lagi ditinggalkan lalu hidup lagi seperti akar rumput lalu kepada apa? jika bukan kepada sajak rindu serta amarahku berpulang jika bukan kepada sajak lalu kepada apa? Bandung, 2014

Seseorang yang Sudah Selesai dengan Dirinya Sendiri

Image
Apakah saya sudah selesai dengan diri sendiri?   Pertanyaan ini tidak tiba-tiba muncul, tetapi setelah mendengarkan cerita seorang teman lalu membaca beberapa artikel. Konon, orang-orang besar di negeri ini, seperti Soekarno, Hatta, atau orang-orang yang mau pergi ke pelosok untuk mengabdi tanpa dibayar adalah orang-orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri biasanya sudah tidak lagi menjadikan hal-hal sepele tentang dirinya adalah hal besar. Mereka sudah tidak akan lagi memikirkan: aku bete, aku kesepian, malam ini makan apa ya? cucian numpuk! atau merengek-rengek minta perhatian orang lain. Orang yang sudah selesai dengan diri sendiri akan menganggap bahwa kebahagiaan orang lain adalah kebahagiaannya juga. Tetapi bukan berarti dia mendahulukan kepentingan orang lain di atas dirinya. Toh pada akhirnya jika bukan diri sendiri siapa lagi yang akan mengurus dan membahagiakan diri kita kan? Dulu sekali, ada yang pernah ber

Mengejar Garis Start

Image
Jika ada yang bertanya sesungguhnya apa keahlian saya. Sesuatu yang bisa saya lakukan dengan baik dan telah menjadi kebiasaan adalah bahwa saya ahli mengeluh, penggerutu ulung dan tukang ngamuk (emosian) . Saya memang tidak melakukannya pada setiap orang. Tetapi orang terdekat saya tahu tentang keahlian saya itu. Beberapa hari yang lalu , saya baru mengeluh pada seorang teman. Saya bilang kenapa tulisan yang saya kirim ke media, tak kunjung dimuat. "Emang udah berapa kali ngirim?" Itulah pertanyaan yang diajukan teman saya. Pertanyaan paling menyebalkan terutama untuk saya yang gemar hal-hal instant dan malas berproses. Saya menyebutkan jumlah kira-kiranya. "Baru segitu? Ayolah, itu namanya dirimu belum melakukan apa-apa, bahkan bisa dibilang belum mulai. Kamu belum larut sama dunia menulis. Baru nyentuh-nyentuh aja, belum nyebur." Haa... saya mengerutkan kening (ini adalah kalimat yang sangat klise) Saya mulai bertanya-tanya emang gimana cara nge

Sudah Berapa Lama Kita Tidak Saling Bicara?

aku mengadu pada sebait sajak. tentang kerinduan yang menghantam dadaku. nyeri rasanya. aku lupa, sudah berapa lama kita tidak saling bicara? sekalipun baru kemarin kita berdua sama-sama bersandar pada tembok lalu mendengarkan sebuah lagu. tetapi sudah lama sekali kita tidak saling berbicara. sekalipun aku tak henti-hentinya mengoceh tentang kemacetan jalanan, tentang pertemuanku dengan seorang teman, tentang film yang habis kutonton. tetapi sesungguhnya sudah lama sekali kita tidak saling bicara.  aku mencintaimu, katamu. aku juga mencintaimu, kataku. aku cuman cinta sama kamu, katamu. aku juga, kataku. tetapi sudah lama sekali kita tidak saling berbicara. apakah aku harus mengunjungi rumahmu? aku ingin bicara. aku ingin kita bicara. “Aku menulis sebuah sajak untukmu. Baca ya!” lihat, kita akan kembali gagal saling berbicara.

Kesepian

"Kamu suka kesepian gak sih?" Pertanyaan itu kerap kuajukan pada banyak orang. Karena aku ngerasa heran aja, bagaimana bisa aku merasa sering kesepian. Apakah ini sesuatu hal yang normal? Apakah aku mengalami kelainan? Lalu aku mengamati satu persatu jawaban teman-temanku. "Pernah lah, aku pernah mengalami kesepian." Kata seorang temanku. "Aku sering, apalagi saat ditinggal suami kerja." Kata temanku yang lain. Oke dari beberapa orang yang pernah kutanyai, rata-rata mereka menjawab. Iya. Lalu aku sering bertanya sendiri. Apakah matahari kesepian? Dia cuman sendiri di langit. Dikelilingi delapan planet. Ribuan asteroid, puluhan satelit. Apakah dia pernah merasa kesepian? Aku mengandaikan bahwa matahari itu kesepian, atau bosan. Lalu sekali waktu dia merasa kebosanannya memuncak dengan terjadinya badai. Mungkin itu adalah saat-saat dia sudah mengalami klimaks atas semua kesepian dan kebosanan. Tetapi pada akhirnya dia harus menyelesaikan

Hidup Serupa Secangkir Kopi

Image
Hidup serupa secangkir kopi.

Tamasya Ingatan (Sebuah Surat untuk Fathia Mohaddisa)

Image
Untuk Fathia Mohaddisa Hari ini aku menuliskan sebuah surat singkat untukmu. Sengaja kutulis di sini. Hey, apakah aku latah dengan kebiasaan orang-orang yang menulis surat terbuka? Sebenarnya aku mau bilang tidak. Tetapi bukankah setiap tulisan yang dipubikasikan adalah sebuah surat terbuka. Sekalipun secara bentuknya bisa berupa puisi, novel atau artikel. Kali ini, biarkanlah tulisan yang kusebut surat singkat ini hanya semacam tamasya ingatan pada masa-masa yang telah terlewat. Terlebih ini adalah hari yang istimewa. Hari ini, Fath, 3 september 2014, kamu resmi menjadi ibu. Bagiamana rasanya menjadi ibu? Bagaimana rasanya setelah mengandung sembilan bulan? Sesakit apa rasanya melahirkan? Aku ingin membredelimu dengan pertanyaan-pertanyaan macam begitu. Pertanyaan yang tidak butuh jawaban sebenarnya. Karena paling jawabanmu, "Nanti juga kamu ngerasain sendiri." Ah rasanya baru kemarin, kita sekamar berdua. Sibuk mengerjakan skripsi. Sarapan bubur tiap pagi.

MENCINTAI DALAM DIAM

Image
“Aku jatuh cinta sama kamu.” Kuangkat wajahku. Seketika menghentikan gerakan tanganku yang sejak tadi mengaduk segelas susu coklat. Ada jeda yang membuat aliran listrik di kepalaku berhenti. “Serius?” Dari jutaan kata, entahlah kenapa kata itu yang keluar. Bibirku menggumamkannya tanpa kusadari. “Ya, aku...” lelaki di hadapanku itu menghentikan kalimatnya, menghela napas panjang. “Jatuh cinta sama kamu.” Tiba-tiba aku merasa dadaku sesak. Ada yang bergerak di perutku, mungkin kupu-kupu, seperti yang dikatakan orang lain. Kularikan pandanganku pada langit-langit, jendela, karpet atau apapun, selain wajahnya. “Aku minta maaf. Aku egois.” Ujarnya. Mata kami kemudian beradu. “Aku hanya ingin mengeluarkan apapun yang ada di pikiranku. Tanpa mempertimbangkan apakah ini saat yang tepat.” Dia menyandarkan tubuhnya ke senderan kursi. “Atau apakah lawan bicaraku siap mendengarkannya atau tidak.”

Aku Ingin Kau Menjadi Orang yang Terakhir Kulihat Saat Malam Kumenutup Mata dan Orang yang Pertama Kulihat Saat Pagi Kubuka Mata (Ini judul panjang banget, bodo ah!)

Image
Kau membuka pintu rumah, menjinjing koper dan membuka mobil yang terparkir di halaman rumah kita yang tak seberapa luas. VW Combi warna merah ceri, mobil yang sesuai dengan impian kita dua belas tahun silam. Aku melihatmu dari jendela kamar, dengan gesit mengangkat koper berisi baju kita juga baju dua malaikat kecil kita ke bangku belakang. Gambar dari sini Tak berapa lama kemudian kau menyalakan mesin mobil, kembali ke dalam rumah. Aku berhenti mengamati tubuhmu yang menghilang di balik pintu, beranjak mendekati pintu dan berpapasan denganmu. Kau memegang kepalaku, mengecup keningku lima detik tanpa bicara kemudian menuju kamar anak-anak. Aku hanya tersenyum, dua belas tahun pernikahan kita, kebiasaanmu tak pernah berubah selalu mengusap kepalaku, mengecup keningku lima detik setiap kali kita berpapasan. Aku pernah memprotes kebiasaan ini, karena kau tak pernah mengenal tempat atau keadaan. “Kau kan istriku, terus aku harus sun kening siapa lagi kalau bukan kamu? Maudy