Mengejar Garis Start

Jika ada yang bertanya sesungguhnya apa keahlian saya. Sesuatu yang bisa saya lakukan dengan baik dan telah menjadi kebiasaan adalah bahwa saya ahli mengeluh, penggerutu ulung dan tukang ngamuk (emosian). Saya memang tidak melakukannya pada setiap orang. Tetapi orang terdekat saya tahu tentang keahlian saya itu.
Beberapa hari yang lalu, saya baru mengeluh pada seorang teman. Saya bilang kenapa tulisan yang saya kirim ke media, tak kunjung dimuat.
"Emang udah berapa kali ngirim?" Itulah pertanyaan yang diajukan teman saya. Pertanyaan paling menyebalkan terutama untuk saya yang gemar hal-hal instant dan malas berproses.
Saya menyebutkan jumlah kira-kiranya.
"Baru segitu? Ayolah, itu namanya dirimu belum melakukan apa-apa, bahkan bisa dibilang belum mulai. Kamu belum larut sama dunia menulis. Baru nyentuh-nyentuh aja, belum nyebur."
Haa... saya mengerutkan kening (ini adalah kalimat yang sangat klise) Saya mulai bertanya-tanya emang gimana cara ngebedain seseorang yang udah larut sama yang masih nyentuh-nyentuh?
"Coba sekarang kasih tahu aku, apa yang udah kamu lakukan untuk jadi penulis (selain menulis)?" Tanyanya lagi.
Gambar dari sini

Saya mikir dulu sebelum ngasih jawaban apa. Tapi akhirnya saya mengingat satu hal yang pernah dia pesankan, yaitu menyiapkan diri untuk jadi penulis. Menyiapkan mental dan tentu saja menyiapkan isi kepala. Saya sedang membaca sebanyak mungkin buku. Saya berikan jawaban itu.
"Terus?"
Saya bilang, cuman itu. Lalu dia bilang bahwa saya belum memulai. Bahkan sampai garis start aja belum, apalagi finish. Prosesnya masih akan sangat panjang. Menurutmu kapan seorang penulis menginjak garis start? Tanyanya lagi.
"Pas karyanya dimuat pertama kali? Atau bukunya terbit pertama kali?" Jawab saya. Ini seriusan jawabannya pake tanda tanya saking gak percayanya sama jawaban sendiri. Pasti bukan ini.
"Bukan," Nah kan, saya bilang juga apa. "Seorang penulis menginjak garis start ketika dia tahu apa yang mau dia suarakan (saat ini, sampai dia mati) lewat tulisan-tulisannya. Itu sebabnya Ayu Utami, Kang Abik, Tere Liye punya kekhasan dalam hal tema atau penokohan. Sebab mereka tahu mereka mau ngomong apa. yakin sampai mati, mereka gak akan bergeser, karena itulah "dakwah" mereka. Ketika sudah tahu, maka itulah titik start-nya, seterusnya mereka tinggal menulis saja."
Ya itulah kenapa, sulit membayangkan kalo Kang Abik nulis komedi dan Raditya Dika nulis sastra Islami. Jadi, pesanku find your cave! Temukan dulu apa yang sebenarnya mau kamu sampaikan. Tambahnya lagi.
Hati saya tiba-tiba merengut, jangankan untuk menyuarakan sesuatu kepada dunia luar. Bahkan saya belum selesai dengan diri sendiri. Sekalipun --masih kata teman saya itu-- seorang penulis biasanya punya satu karya untuk membereskan urusannya sendiri.
Sempet kepikiran buat berhenti, karena ternyata menulis itu tidak gampang. (Kalimat ini pasti dicerca lagi sama temen saya itu, "Jadi masih mikir nulis tu gampang?") Oke saya sudah berhenti menganggap bahwa menulis --dalam hal ini menghasilkan tulisan yang bagus-- itu gampang. Saat ini saya menghasilkan kata-kata hanya untuk diri saya sendiri. Untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, untuk membereskan permasalahan diri sendiri. Sambil terus mengejar garis start.

Comments

Popular posts from this blog

Yang Terbaik Bagimu* (Puisi untuk Ayah)

Hanya Isyarat [Rectoverso]

Menulis sebagai Passion, Pekerjaan atau Hobi?

5 Upaya agar Bisa Konsisten Ngeblog

Dapet Kerjaan Gara-gara Ngeblog

Tamasya Ingatan (Sebuah Surat untuk Fathia Mohaddisa)