Seseorang yang Sudah Selesai dengan Dirinya Sendiri

Apakah saya sudah selesai dengan diri sendiri? 
Pertanyaan ini tidak tiba-tiba muncul, tetapi setelah mendengarkan cerita seorang teman lalu membaca beberapa artikel. Konon, orang-orang besar di negeri ini, seperti Soekarno, Hatta, atau orang-orang yang mau pergi ke pelosok untuk mengabdi tanpa dibayar adalah orang-orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.
Orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri biasanya sudah tidak lagi menjadikan hal-hal sepele tentang dirinya adalah hal besar. Mereka sudah tidak akan lagi memikirkan: aku bete, aku kesepian, malam ini makan apa ya? cucian numpuk! atau merengek-rengek minta perhatian orang lain.
Orang yang sudah selesai dengan diri sendiri akan menganggap bahwa kebahagiaan orang lain adalah kebahagiaannya juga. Tetapi bukan berarti dia mendahulukan kepentingan orang lain di atas dirinya. Toh pada akhirnya jika bukan diri sendiri siapa lagi yang akan mengurus dan membahagiakan diri kita kan? Dulu sekali, ada yang pernah berpesan, “Cintailah orang yang mencintai dirinya. Jika dia belum bisa mencintai dirinya sendiri, bagaimana bisa dia mencintai orang lain.”

Orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri, artinya sudah membereskan permasalahan hidupnya lalu mulai mengabdikan dirinya untuk orang lain. Dia mulai memikirkan kebahagiaan orang lain. Urusan rakyat banyak. Bukankah sebaik-baik orang adalah yang bermanfaat untuk orang banyak?
Nah, saya? Jangankan untuk mengatasi permasalahan bangsa atau hal-hal yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak. Saya bahkan masih sering memikirkan diri sendiri dan melupakan orang sekitar. Keluarga, teman-teman, orang-orang terdekat juga seseorang yang saya cintai. Jadi goal saya saat ini, secepatnya menyelesaikan urusan dengan diri sendiri, lalu mulai memikirkan orang sekitar.
Lalu apa ukuran seseorang sudah selesai dengan dirinya sendiri?
Manusia itu memang makhluk kompleks. Susah untuk mengukur, kapan dia akan selesai dengan dirinya sendiri. Kapan pada akhirnya dia berkata cukup, dan mulai memikirkan orang lain. Tentu hal ini ukurannya personal dan datang dari kesadaran pribadinya.
Nyambung dengan hal yang kemarin saya tulis, bahwa menulis pun adalah milik mereka yang telah selesai dengan dirinya sendiri. Lalu mulai memikirkan untuk menyuarakan hal-hal yang akan membantu, menginspirasi atau menghibur orang lain. (Sekalipun ada karya yang dibikin untuk menuntaskan urusannya sendiri.)
Begitu juga dengan menikah, kukira. Dua orang yang menikah harus sudah selesai dengan dirinya sendiri dan mulai memikirkan orang lain (yang sesungguhnya bukan orang lain). Yaitu, memikirkan pasangan juga memikirkan anak-anak. Jika dia masih berkutat dengan masalahnya sendiri, dengan keinginan-keinginan pribadi. Alih-alih melepaskan ego pribadi malah mungkin mengorbankan keluarga demi egonya sendiri.
Menikah adalah melepaskan ego pribadi dan mulai melakukan banyak hal untuk orang yang dicintai atau mencintai kita. Pernikahan adalah milik mereka yang telah memiliki batas cukup untuk dirinya sendiri. Karena kalau seseorang tidak memiliki batas itu, dia tak akan pernah selesai dengan dirinya.
Nah, sudahkah kamu selesai dengan diri sendiri?

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Yang Terbaik Bagimu* (Puisi untuk Ayah)

Hanya Isyarat [Rectoverso]

Menulis sebagai Passion, Pekerjaan atau Hobi?

5 Upaya agar Bisa Konsisten Ngeblog

Dapet Kerjaan Gara-gara Ngeblog

Tamasya Ingatan (Sebuah Surat untuk Fathia Mohaddisa)