MENCINTAI DALAM DIAM
“Aku
jatuh cinta sama kamu.”
Kuangkat
wajahku. Seketika menghentikan gerakan tanganku yang sejak tadi mengaduk segelas
susu coklat. Ada jeda yang membuat aliran listrik di kepalaku berhenti.
“Serius?”
Dari jutaan kata, entahlah kenapa kata itu yang keluar. Bibirku menggumamkannya
tanpa kusadari.
“Ya,
aku...” lelaki di hadapanku itu menghentikan kalimatnya, menghela napas panjang.
“Jatuh cinta sama kamu.”
Tiba-tiba
aku merasa dadaku sesak. Ada yang bergerak di perutku, mungkin kupu-kupu,
seperti yang dikatakan orang lain. Kularikan pandanganku pada langit-langit,
jendela, karpet atau apapun, selain wajahnya.
“Aku
minta maaf. Aku egois.” Ujarnya.
Mata
kami kemudian beradu.
“Aku
hanya ingin mengeluarkan apapun yang ada di pikiranku. Tanpa mempertimbangkan
apakah ini saat yang tepat.” Dia menyandarkan tubuhnya ke senderan kursi. “Atau
apakah lawan bicaraku siap mendengarkannya atau tidak.”
Aku
masih kehilangan kata-kata. Ada jeda yang cukup lama.
“Kok
diem? Biasanya kamu cerewet.”
Aku
menggeleng pelan. Memainkan kembali sendok. Mengaduk susu coklat agar uapnya
segera hilang, dan aku bisa meneguknya. Tidak, sebenarnya itu hanya untuk
menutupi kecanggunganku karena ucapannya.
“Oke,
sudah cukup! Lupakan! Gausah dibahas lagi.” Ucapnya. Mengangkat kedua telapak
tangannya, membentuk huruf X, dan secepat kilat menjauhkan keduanya.
“Kenapa?”
Aku menatapnya kembali. Kali ini aku menatap sosok yang tidak sama seperti
sosok yang lima tahun terakhir kukenal.
“Karena
ini bukan style obrolan kita.” Ucapnya.
“Bilang
sama aku, kamu becanda!” Entah kenapa aku sangat berharap ini jenis guyonan
baru dia. Aku mengenalnya sebagai sosok yang humoris, bukan serius seperti ini.
“Oke,
aku suka becanda. Dan sayangnya, kali ini aku berbicara apa adanya. Tapi, oke
lupain. Aku cuman ingin mengeluarkannya dari kepalaku. Dan sekarang aku merasa
lega.”
“Tapi
kenapa? Ahh kenapa aku nanya kenapa?” Aku meralat pertanyaanku. Kenapa kau mencintaiku? Bukankah kalimat
yang tak layak dipertanyakan? Bukankah terkadang tidak ada alasan kenapa kita
jatuh cinta kepada seseorang?
“Kenapa
tiba-tiba aku bilang gini?” dia mencoba menebak apa yang hendak kukatakan. “Kamu
tahu sendiri kan? aku suka tiba-tiba mengeluarkan apa yang aku pikirkan?”
“Sejak
kapan?” Aku pikir ini pertanyaan yang lebih relevan dibanding bertanya Kenapa kau mencintaiku?
“Sejak...”
matanya menatap langit-langit cafe, seolah jawabannya tergantung di sana. “Dua
tahun lalu.”
Aku
mengerenyitkan dahi. Selama itu, dan aku
terkecoh dengan sikapnya?
“Sebenarnya
mungkin aku sadarnya setahun terakhir. ‘Ko aku jatuh cinta gini sama kamu.’ Tapi
biar dramatis aku bilang dua tahun. Yah, walaupun sebenarnya aku tak pernah
tahu pastinya sejak kapan. Mungkin sejak pertama kita berjumpa.”
Kini
kesunyian mendominasi. Benar-benar bukan gaya obrolan kami.
“Nggg…”
Aku berusaha mengeluarkan suara sambil memperhitungkan kalimat apa yang bisa
aku utarakan. “Aku gak bisa. Kita gak bisa…”
Belum
selesai kalimatku, dia menggeleng cepat.
“Gini…
gini… Aku mencintaimu. Dan hanya itulah yang aku punya. Aku hanya ingin kamu
mengetahuinya. Sebelum kamu pergi jauh. Sebelum kamu menikah bulan depan.
Sebelum aku sudah tidak bisa lagi berbicara langsung padamu.” Ada getaran di
ujung suaranya. Ada sesuatu yang dia tahan hingga tidak ada lagi kalimat yang
meluncur dari bibirnya. Begitu juga dengan aku.
Kami
menutup pembicaraan malam itu dengan diam. Rintik hujan perlahan mengantarkanku
pulang menuju esok dan mengubur perasaan ini dalam-dalam. Perasaan yang sama
yang bahkan tak sanggup untuk kukatakan.
Adakah
yang lebih nyeri selain mencintai dalam diam? Saat kau sampai pada sebuah
kesadaran, bahkan untuk berharap bersama pun sudah tidak bisa lagi. Dan pada
akhirnya kau hanya dapat mencintai dengan cara paling sunyi.
Tulisan ini dibuat dalam rangka (Kembali)#MenantangDiri #30HariMenulis
Comments
Post a Comment