Aku Ingin Kau Menjadi Orang yang Terakhir Kulihat Saat Malam Kumenutup Mata dan Orang yang Pertama Kulihat Saat Pagi Kubuka Mata (Ini judul panjang banget, bodo ah!)

Kau membuka pintu rumah, menjinjing koper dan membuka mobil yang terparkir di halaman rumah kita yang tak seberapa luas. VW Combi warna merah ceri, mobil yang sesuai dengan impian kita dua belas tahun silam. Aku melihatmu dari jendela kamar, dengan gesit mengangkat koper berisi baju kita juga baju dua malaikat kecil kita ke bangku belakang.
Gambar dari sini
Tak berapa lama kemudian kau menyalakan mesin mobil, kembali ke dalam rumah. Aku berhenti mengamati tubuhmu yang menghilang di balik pintu, beranjak mendekati pintu dan berpapasan denganmu. Kau memegang kepalaku, mengecup keningku lima detik tanpa bicara kemudian menuju kamar anak-anak.
Aku hanya tersenyum, dua belas tahun pernikahan kita, kebiasaanmu tak pernah berubah selalu mengusap kepalaku, mengecup keningku lima detik setiap kali kita berpapasan. Aku pernah memprotes kebiasaan ini, karena kau tak pernah mengenal tempat atau keadaan.
“Kau kan istriku, terus aku harus sun kening siapa lagi kalau bukan kamu? Maudy Ayunda?” jawabmu cuek.
“Lagian cuman lima detik, ga lama-lama.” Lanjutmu kemudian, dan aku hanya bisa tersenyum tanda menyerah.

Aku melihat kau kembali dari kamar anak-anak dan menggendong Senja. Caramu menggendongnya seolah dia masih bayi.
“Ayaaaah, tulunin Senjaaa!” kau hanya tertawa dan mulai mengayun-ayun tubuh mungil Senja di udara, tak peduli dengan rengekan gadis kecilmu. Tak berapa lama, kau menurunkannya, menyerah setelah gadis kecilmu mengelitiki tubuhmu.
“Bunda, ayah jahat gendong-gendong Senja, Senja kan udah besal.” Lihat, gadis kecilmu memajukan bibirnya untuk menunjukan bahwa dia ngambek dengan ulahmu. Tangan mungilnya juga mengibaskan bajunya, merasa ulah ayahnya telah membuat kusut baju barunya. Kita berdua hanya saling pandang dan tertawa. Sejak masuk sekolah dasar, Senja sudah berhenti minta digendong, dan marah jika ada yang melakukan itu padanya seolah dengan begitu merusak citra dia sebagai anak yang sudah besal. Dia cadel.
“Yuk, ke mobil. Senja bantu ayah bawa kotak makanan ya.” Meski masih cemberut, Senja menuruti perintah ayahnya. Aku melongok ke pintu kamar anak-anak. Fajar masih sibuk mengemasi sesuatu di tasnya. Aku melihat ada botol minum berbahan kaca diisi gulungan kertas.
“Botol apa itu, Nak?”
“Ini botol berisi impian-impian Fajar, mau Fajar hanyutin ke laut.” Aku sedikit kaget mendengarnya, keningku berkerut. Fajar melihat ekspresiku yang kini duduk di kasurnya.
“Kan, ini yang dilakukan sama Kalperina, gadis laut yang pernah Bunda dongengin ke kita dulu.” Ujarnya sambil memamerkan deretan giginya.
“Fajar cuman pengen ngikutin kata Bunda dulu, harus berani bermimpi. Yaudah Fajar tulis aja impian-impian Fajar terus di lemparin ke laut. Laut juga ciptaan Tuhan kan Bun? Biar semesta ikut doain Fajar buat dapetin impian-impian Fajar.”  Lanjutnya lagi, membuat mataku berkaca-kaca kalau bukan dikagetkan dengan keadiranmu di depan pintu.
“Berangkaaat!” ujarmu sambil memberi kode kepada kami berdua. Fajar bergegas dan mengendong tasnya menuju ke luar rumah. Aku memastikan semua jendela terkunci, dan mengambil kunci rumah. Kau mengamatiku di depan pintu. Aku tahu apa yang akan kau lakukan, lima detik terakhir sebelum berangkat.
Aku mendekatkan mulutku ke telingamu. “Hei kau pasti kaget kalau aku ceritain apa yang barusan terjadi. Anakmu mengagumkan!” aku mengunci pintu rumah dan bergegas menuju pintu mobil, meninggalkanmu yang berjalan mengikuti di belakangku dengan penuh tanda tanya.
****
 Dua belas tahun yang lalu. Ketika kita masih mengaku sebagai dua kekasih yang memiliki mimpi untuk bersama, menghabiskan waktu hingga tua. Saat aku ingin kau menjadi orang yang terakhir aku lihat saat malam kumenutup mata dan orang yang pertama kulihat saat pagi kubuka mata. Kita pernah mengunjungi tempat ini, bersama rombongan dari tempat kita kerja. Itulah kali pertama aku mengunjungi tempat ini, dan hari ini pun kali kedua.
Tak ada yang berubah dari tempat ini, ombaknya masih segemuruh dahulu, pantainya masih seputih waktu itu. Dan aku kembali mengunjungi tempat ini bersamamu. Bedanya, kali ini kita membawa serta dua bocah mungil yang sejak lama kita sepakati untuk diberi nama Fajar untuk anak lelaki dan Senja untuk anak perempuan, jarak mereka harus lima tahun, dan dua anak lebih baik. Begitu katamu dengan ngotot dulu.
Maka senja ini, kita duduk bersisian di pantai Barat, hendak menunggu parade tenggelamnya matahari. Dua bocah kita masih sibuk berebut menentukan desain kerajaan seperti apa yang mereka inginkan dengan pasir pantai itu.
Kita berdua hanya mengawasi. Sambil sesekali menertawakan mereka. Fajar yang ngotot seperti ayahnya, Senja yang gak mau ngalah seperti bundanya.
“Eh, tadi kau lihat Fajar memintaku menyewakan kapal, katanya dia pengen ke tengah laut, tapi gamau aku temani.”
“Iya aku liat, dan kamu tetap ngotot mau kita berempat naik kapal yang sama.”
“Kenapa kamu cuman diam aja?”
“Dia punya tugas khusus sama Neptunus kali.” Jawabku sambil tertawa
“Kamu racun apa dia? Jangan-jangan kisah idolamu, Kugy dan Keenan itu.” Tuduhmu dengan nada sebal sambil mengeratkan genggaman tanganmu.
“Enggak, aku cuman ngedongengin cerita putri yang terdampar di sebuah pulau, dia punya kebiasaan melemparkan botol berisi ceritanya ke laut, kemudian ada yang menemukannya. Fajar melakukan hal yang sama untuk tujuan yang berbeda.”
“Tunggu, tunggu... apakah mungkin dia menuliskan impian-impiannya.” Ujarmu sambil mengerutkan kening.
“Persis, seperti yang dulu nyaris kita lakukan juga. Tapi gagal karena penyakit lupamu yang amit-amit.” Aku mengucapkan kata amit-amit seraya mengelus perutku.
“Ada apa di perutnya, ko dielus-elus?” ujarmu penuh tanda tanya.
Aku hanya tersenyum sambil mengeluarkan sesuatu dari tas kecil yang kusoren sejak tadi. Sebuah testpack bertandakan positif hamil.
Kau memalingkan wajah padaku, ekspresi yang tidak dapat kuterjemahkan apa maknanya.

Bandung, 2 September 2013

Comments

Popular posts from this blog

Yang Terbaik Bagimu* (Puisi untuk Ayah)

Hanya Isyarat [Rectoverso]

Menulis sebagai Passion, Pekerjaan atau Hobi?

5 Upaya agar Bisa Konsisten Ngeblog

Dapet Kerjaan Gara-gara Ngeblog

Seni Membuang Barang [Edisi Pakaian]