LELAKI YANG MATI MEMINUM KOPI
Di usianya yang semakin senja, lelaki itu semakin
sering sesumbar. Bahwa kelak ia akan mati sambil meneguk kopi. Jika kelak ia
telah diambang ajalnya, ia meminta agar disediakan segelas kopi. Itulah
wasiatnya kepada orang sekitar.
Gambar dari sini |
Kehidupan memang telah demikian keras menghantamnya
dengan kesakitan paling nyeri. Tak ada sanak keluarga yang mengelilinginya saat
dia renta. Sedang orang-orang yang demikian karib dengannya saat dia berjaya di
masa muda menghilang satu persatu. Lupa dengan kebaikan lelaki itu. Namun, lelaki
itu enggan mengemis perhatian dari siapapun.
Kecuali aku. Ya, dia kerap memintaku melakukan ini
itu. Aku bukanlah cucu laki-lakinya. Aku juga bukan pembantunya. Aku hanya
seorang bocah yang selalu tergila-gila dengan beragam ceritanya. Kisah yang aku
tak peduli lagi tentang kebenaran atau kebohongannya. Yang pasti aku selalu
merasa terhibur, tergugah atau terhenyak hebat setiap kali mendengar dia
bercerita.
Maka, demi mendengar kisah hebatnya, aku rela
membantu menyapu rumahnya. Memasakan air atau memangkas rumput di halamannya. Aku
kerap menolak ajakan teman sepermainanku untuk bermai gundu, gatrik atau
kolecer. Pulangnya pun aku harus menutup telinga dari ocehan ibuku yang
melarangku berkunjung ke gubuk lelaki tua itu.
“Biarlah, Ha. Lagian Bah Wira juga ga akan lama
lagi hidupnya.” Hanya Ayahku yang selalu membela kelakuanku itu di depan ibu.
Membuat ibu bungkam seketika. Ayah berkata hal yang sama sejak bertahun-tahun
lalu. Sejak aku mulai sering berkunjung ke gubuk lelaki tua yang hidup
menyendiri itu. Barangkali muncul iba di benak ibuku, mengingat lelaki tua itu
hampir tak pernah berbincang selain dengan aku, anaknya. Masa tua yang
mengerikan.
Hal yang membuat ibuku kesal barangkali adalah
karena efek dari pertemuan itu bagi diriku. Aku kerap mengurung diri di kamar
atau tiba-tiba tidak ingin bermain dan memaksa ingin membantu pekerjaan ibu,
dengan hasil yang tidak memuaskan hatinya. Ibuku barangkali berpikir racun apa yang telah diberikan oleh
lelaki tua bangka itu pada anak lelakinya.
Dan yah, lelaki tua itu telah mati. Seperti yang
selama ini selalu dia katakan padaku. Dia akan mati dengan meminum kopi. Kopi
terakhir yang dia seduh sendiri. Aku bahkan menyeksikan dengan mata kepalaku
sendiri. Setua itu, dengan lihai dia meracik kopi. Aku sendiri tak pernah
mencobanya. Sejak kecil ibuku melarangku minum kopi.
“Anak-anak minumnya susu, bukan kopi.” Begitulah
kalimat yang selalu dia ucapkan ketika aku diam-diam membeli sebungkus kopi
instan. Di keluarga kami memang tidak ada budaya minum kopi seperti di keluarga
lain. Ibuku menganggap bahwa kebiasaan minum
kopi dan merokok pagi-pagi adalah budaya primitif.
Yah, jangan kaget. Karena kebiasaan itu banyak
dilakukan oleh perempuan atau laki-laki dewasa yang tinggal di gunung dan bekerja sebagai buruh tani. Sedang di
kampungku yang rata-rata berprofesi sebagai pedagang atau guru, jarang ada yang
melakukannya. Konon itu adalah budaya yang diturunkan oleh kakek buyut kami. Maka
kami menggantinya dengan budaya minum susu atau teh.
Barangkali hal itu juga yang menjadi alasan lelaki
tua itu dikucilkan di kampung kami. Dianggap primitif. Selain karena kebiasaan
dia mengurung diri di rumahnya yang terletak di ujung desa. Ditengah pematang
sawah.
Lelaki tua itu duduk di kursi rotan, seperti
biasanya. Namun tak seperti biasanya, dia membincangkan tentang keluarganya. Tadi
pagi anak lelakinya datang ke gubuknya ini. Meminta bagian warisan.
“Untung semua tanahku sudah kujual.” Ucapnya dengan
bersungut-sungut. “Takan kubiarkan hartaku tersisa untuk mewarisinya.” Tambahnya
kemudian.
Aku yang duduk tak lebih dari semeter dari lelaki itu melongo. Aku bahkan baru tahu
bahwa lelaki tua ini memiliki anak. Dia memang tak pernah bercerita tentang
keluarga. Hal-hal yang dia ceritakan adalah tentang petualangannya mengelilingi
nusantara. Dengan beragam petualangan menggetarkan.
Hari itu dia habiskan untuk berbicara tentang
keluarganya. Hal yang sama sekali tak pernah kudengar. Sebelum berpetualang, dia
adalah seorang petani kopi. Dia memiliki seoang anak lelaki. Namun, istrinya
selingkuh dan hal itulah yang menjadi alasan dia pergi dengan membawa seluruh
uangnya. Hingga dia akhirnya memutuskan
untuk menetap di kampung ini.
Langit beranjak gelap. Aku memutuskan untuk pulang
ke rumah. Sebelum melangkah kulirik secangkir kopi yang telah dingin. Tak sedikitpun
disentuh lelaki tua itu. Padahal biasanya tandas dalam waktu sekejap.
“Itu kopi kiriman anakku.” Ucapnya seolah memahami
tanda tanya di dalam hatiku, kenapa kopi itu tak segera diminumnya.
Begitulah, pagi harinya lelaki tua itu ditemukan
warga telah membusuk di atas kursi rotannya. Warga yang menemukannya mati itu hendak
menggarap sawah di samping rumah lelaki tua itu.
Sepertinya tak ada seorangpun yang merasa sedih
setelah kepergiannya, selain aku, tentu saja. Tak ada lagi cerita-cerita hebat
yang akan kudengar. Lelaki tua itulah yang mengajarkanku tentang filosofi
kehidupan yang bahkan tak pernah kudapat di sekolah.
Terlebih, dengan bantuan polisi. Ditemukan fakta
bahwa lelaki itu mati karena keracunan racun sianida yang terdapat dalam
cangkir kopi terakhirnya. Aku yang merasa paling dekat dengan lelaki tua itu
menolak mentah-mentah.
“Itu kopi kiriman anaknya!” Ujarku sambil
berteriak dan mencucurkan air mata.
“Dia tak pernah memiliki anak!” lelaki dewasa di
hadapanku menatapku iba.
“Dia punya, tadi pagi datang ke sini dan meminta
warisan.” Ucapku membeberkan apapun yang kuketahui. Warga yang berada di rumah
lelaki tua itu terperangah menatapku. Aku pun melanjutkan penjelasanku. Apapun yang
kuketahui, kubeberkan di depan mereka.
“Dia tak pernah pergi kemana-mana. Dia tak pernah
menikah.” Ucap salah satu warga padaku. “Dia hidup seorang diri sejak usia
remaja. Sejak orang tuanya meninggal. Dia mengasingkan dirinya di sini. Hingga ajalnya.”
Aku hanya menatap lelaki dewasa yang mengatakan
itu padaku. Aku tak pernah mendengar cerita tentang Bah Wira dari siapapun. Siapa
yang membohongiku? Lelaki dewasa di hadapanku yang selama ini kupanggil ayah
atau lelaki tua itu? Lelaki tua yang mati meminum kopi.
27-02-2014
Nufira Stalwart
#8 #MenantangDiri #30HariMenulis
Comments
Post a Comment