KEPULANGAN

Kosa kata “Pulang” bagi Runiah adalah serupa hujan bagi tanah kering di dusunnya yang gersang. Yang paling dia damba setelah bertahun-tahun merantau di negeri orang. Nyaris lima tahun dia bertahan menjadi pembantu rumah tangga di Arab Saudi.
Hujan pun menyambut kedatangan dia di dusun terakhir kabupaten Bandung itu. Dengan jasa tukang ojeg, dia memasuki jalan menuju dusun yang berbatu dan becek diguyur hujan. Tidak sabar ingin segera sampai.
Gambar diambil dari sini
Terbayang wajah gadis kecilnya yang mungkin sekarang telah beranjak remaja. Pun juga wajah Kang Pudin, suaminya yang harus merelakan kepergiannya demi impian kecil mereka. Sebuah rumah yang dia pesan untuk dibangun di belakan rumah Emak, agar mereka tak lagi menumpang. Betapa dadanya buncah setiap kali mengingat kehidupan lebih baik yang akan mereka jalani setelah ini. Pengorbanannya lima tahun terakhir tak berujung sia-sia.

Akhirnya dia terbebas dari cengkraman majikannya. Nyoya di rumah itu sangat baik, apalagi pekerjaannya sebagai dosen, terpelajar. Sehingga tak pernah bertindak kasar padanya. Lain hal dengan tuannya. Ketika nyonya tidak di rumah, dia harus menerima perlakuan tak senonoh. Bagi Runiah, tuannya itu tak jauh berbeda dari babi. Setiap kali dia membayangkan tuannya itu dia merinding. Disertai rasa bersalahnya pada suaminya yang selama ini setia di dusun menanti kepulangannya.
Meski selama lima tahun hidupnya di Saudi tak mudah. Dia mampu mengirimkan uang beberapa bulan sekali dengan jumlah yang lumayan untuk biaya hidup keluarganya. Membikin rumah serta biaya untuk menebus sawah yang dulu pernah mereka gadaikan untuk biaya keberangkatan Runiah ke Saudi.
Roda sepeda motor menggilas jalanan becek, menyipratkan lumpur ke baju terbaik yang dikenakan Runiah untuk kepulangannya. Runiah memeluk koper besar yang memakan tempat paling luas di jok motor itu. Koper berisi oleh-oleh untuk orang rumah. Berisi pakaian, kurma, dan beberapa aksesoris khas Saudi.
Ti Saudi, Ceu? Sabaraha lami?
Muhun, Mang. Tos lima taun teu uih.” Kalimat yang kelak akan dia sesali. Karena jika mereka tahu dia pulang dari Saudi, ongkosnya pasti dimahalkan. Dari bandara Jakarta dia naik travel dan turun di terminal terakhir menuju dusunnya. Karena selain akses jalan menuju dusunnya yang sempit dan berbatu, travel pun didemo tukang ojek untuk menurunkan penumpangnya di terminal.
Menjelang magrib, ketika Runiah memasuki dusun. Lima tahun kepergiannya telah banyak yang berubah di dusunnya. Beberapa bangunan rumah panggung berderetan di pinggir jalan, sebagian besar tidak dikenali Runiah.
Hingga sampailah dia di depan rumah Emak, mertua Runiah. Masih sama seperti saat dia meninggalkannya. Mereka pasti terkejut dengan kepulangannya yang tiba-tiba. Sudah setahun mereka tidak bertukar kabar karena Runiah kehilangan nomor telepon rumah tetangga sebelahnya. Kepada tetangganya itulah satu-satunya nomor yang biasa dihubunginya.
Di bawah bale-bale depan rumah panggung itu terlihat beberapa sandal berjejer, menunjukan pemiliknya ada di rumah. Dari jendel pun terlihat layar televisi yang berdenyar. Pasti kelak rumah itu sepi karena hanya akan ditempati oleh Emak seorang diri. Dulu Runiah, Kang Pudin dan seorang anaknya menumpang di sana. Kini mereka akan tinggal di rumah baru.
Runiah mendorong gagang pintu, melangkah memasuki rumah. Ruang tamu yang menyatu dengan ruang tengah itu lengang, hanya ada televisi yang berdenyar tanpa ada yang menonton. Dia beranjak ke dapur. Biasanya Emak sedang memasak di tungku tetapi tidak ada siapapun.
Tak berapa lama pintu depan pun terkuak dan terlihatlah gadis kecilnya dengan ujung baju yang basah. Bersama Emak berdiri di atas bale, tangannya menggenggam payung. Rupanya Emak baru saja menjemput gadis kecilnya itu pulang ngaji.
“Runiah...!”
Mereka berpelukan dan banjir air mata. Setahun terakhir tanpa kabar Runiah. Maka kepulangannya adalah mukjizat bagi Emak dan Nenden, gadis kecilnya.
“Mak, masakin air.” Belum sempat dia bertanya dimana suaminya, sebuah suara yang dikenalnya terdengar dari kamar belakang, dekat dapur. Kamar dia dan suaminya. Dia pun melangkah ke dapur, mendekati pintu. Sebelum dia memegang gagang pintu, pintu itu telah terkuak dengan seorang perempuan yang tak dikenalinya.
Apa yang mereka lakukan di kamarnya, berduaan? Siapa perempuan ini? Sederet pertanyaan memenuhi benaknya. Tiba-tiba tubuhnya lemas. Pudin membuka pintu lebih lebar. Melangkah ke luar kamar, mendekati tubuh Runiah yang tiba-tiba bergetar hebat.
Runiah kalap, caci dan maki berhamburan dari mulutnya di hadapan lelaki yang paling dirindukannya. Di matanya kini, Pudin tak lebih serupa babi. Pudin hanya terdiam menyambut pukulan dari perempuan yang dinikahinya sepuluh tahun yang lalu. Bekerja di Saudi dan tak ada kabar setahun terakhir.
Tak ada kesempatan bagi Pudin untuk menjelaskan siapa perempuan yang ada berdiri di belakangnya tak kalah gemetarnya. Runiah berlari membuka pintu belakang rumahnya, hendak berlindung di rumah barunya. Tetapi yang dia lihat hanya kebun yang penuh dengan ilalang, pohon pisang dan singkong. Tak berubah sedikitpun sejak dia meninggalkannya lima tahun lalu.


17-02-2014
#1 #MenantangDiri #30HariMenulis 

Comments

Popular posts from this blog

REVIEW: Bulan Merah (Kisah Para Pembawa Pesan Rahasia)

SELEMBAR KERTAS

Mengalahkan Diri Sendiri