BALADA KADO ULANG TAHUN PERNIKAHAN

Mrs.Henry melongok halaman rumahnya lewat jendela. Salju masih turun tipis-tipis, sekalipun puncak musim dingin telah lama berlalu. Perempuan yang usianya telah melewati kepala lima itu mondar-mandir di ruang tengah. Tungku perapian masih menyala. Dan di atas meja cangkir tehnya masih mengepulkan uap.
Gambar dari sini
Sesekali dia memandangi jam dinding. Beberapa jam lagi suaminya akan pulang. Sedang dia belum bisa ke luar rumah. Ini adalah hari ulang tahun pernikahan mereka. Mrs. Henry ingin membelikan suaminya sesuatu yang istimewa, selain membuatkan kue.

Mereka memang tidak pernah saling bertukar hadiah di hari istimewa, baik itu saat hari Natal, hari ulang tahun masing-masing apalagi hari pernikahan. Ucapan selamat dan pelukan hangat telah cukup bagi pasangan yang tidak dikaruniai anak ini. Dapat makan tiap hari bersama saja sudah merupakan karunia yang sangat indah. Mereka hidup sangat sederhana, teramat sederhana.
Mrs.Henry duduk di kursi dan menyeruput tehnya. Dia mengeluarkan sebuah kotak dari sakunya. Dan mengambil bandul kalung di dalamnya. Bandul yang dulu pernah menggantung indah pada kalung miliknya. Kalung itu mereka jual untuk menambah biaya perbaikan rumah saat diterpa badai salju setahun lalu.
Bandul itu tak mereka jual karena Mrs.Henry menyukai bandul kalung yang dihadiahkan suaminya saat mereka menikah tiga puluh tahun lalu. Sekalipun mata dari bandul itu telah lepas. Dia berusaha untuk menabung dan kembali membeli mata untuk bandul itu sekalipun hanya berbahan kaca, bukan berlian. Sekalian dengan rantai kalungnya jika mereka memiliki uang berlebih.
Mrs.Henry mengumpulkan beberapa pound sisa belanjanya selama beberapa bulan terakhir untuk membeli mata untuk bandul dan kalung. Tetapi kini dia berubah pikiran. Dia ingin membelikan suaminya sesuatu yang dia pikir pasti diidamkan suaminya selama ini.
Maka, Mrs.Henry pun menerobos salju menuju pusat pertokoan. Dia menawarkan bandul emas yang telah lepas matanya itu kepada pelayan toko perhiasan. Kemudian petugas menimbang dan menaksir harganya.
“Sepuluh pound.” Ucap pelayan toko perhiasan.
Mrs.Henry mengela napas. Terlalu berharga untuk ditukar dengan uang segitu. Tetapi akhirnya dia mengiyakan dan memasukan selembar uang senilai sepuluh pound ke dalam sakunya.
Sepanjang jalan, setelah dia meninggalkan toko perhiasan dia menghitung uang di sakunya. Sepuluh pound hasil menjual bandul kalung dan tiga uang logam masing-masing satu pound hasil dia menabung, serta tiga buah uang logam masing-masing senilai sepuluh pence. Total uang yang dimilikinya sekarang adalah tiga belas pound tiga puluh pence.
Mrs.Henry merapatkan mantelnya, mengibaskan bulir-bulir salju yang menempel di pundaknya. Dia sampai di sebuah toko jam. Hatinya buncah ketika melihat beragam jam tangan yang dipajang berkilauan. Sangat cocok jika dipakaikan di lengan suaminya. Dipilihnya jam yang paling bagus. Dan mengamati bandrolnya.
Pelayan toko jam menghampiri dan Mrs. Henry menunjuk salah satu jam. Dia sangat familiar dengan jam itu. Ah, dan dia teringat bahwa itu adalah jam dengan merek yang sama seperti milik suaminya. Bedanya, jam tangan milik suaminya telah kusam dan rantainya patah. Selama ini suaminya masih mengenakan jam itu namun disimpan di sakunya.
“Harganya lima puluh pound.” Ujar pelayan toko jam setelah Mrs.Henry bertanya harga jam tangan itu.
Mrs.Henry terhenyak. Dia terlanjur menyukai jam tangan itu, namun di sakunya hanya ada tiga belas pound tiga puluh pence. Tetapi bukankah di bandrol tertera harganya sepuluh pound.
“Oh itu harga rantainya. Jika anda ingin membeli rantainya saja, harganya hanya sepuluh pound.”
Seulas senyum merekah di bibir Mrs.Henry, dia akan membelikan rantainya saja. Agar suaminya masih bisa mengenakan jam tangan tuanya dan tak perlu merogoh saku jika ingin melihat jam.
Mrs.Henry mengambil rantai jam tangan seharga sepuluh pound itu dan kembali ke rumah. Rantai jam tangan itu telah dibungkus rapi oleh pelayan toko. Tak henti-hentinya Mrs.Henry menatap kotak rantai jam tangan yang dia simpan di saku sweaternya.
Kue dan sepoci teh panas sudah tersedia di meja saat pintu terbuka dan Mr.Henry tiba di rumahnya. Lelaki itu bekerja di kantor pos dan masih harus bertugas pada musim dingin.
Aroma vanili tercium, hingga pintu depan. Mr.Henry lekas melepas mantelnya dan menuju ruang makan. Istrinya duduk di salah satu kursi yang paling dekat dengan perapian. Mrs.Henry menyambut suaminya. Mereka duduk berhadapan di depan meja.
Sebelum Mr.Henry mengambil potongan kue pertamanya, dia merogoh sakunya dan meletakan kotak kecil di meja. Disaat yang sama, Mrs.Henry menyimpan kotak yang sejak tadi dipegangnya di atas meja. Mereka berdua kaget dan tersenyum kecil.
“Kukira kau lupa.” Mrs.Henry melirik kotak yang dikeluarkan suaminya.
“Tiga puluh tahun adalah waktu yang teramat singkat untuk dihabiskan bersamamu.” Mr.Henry membuka kotaknya. “Tadi ada yang menawariku batu rubi dengan harga murah, kukira ini cocok untuk bandul kalungmu. Mungkin selanjutnya aku bisa menabung lagi untuk membeli rantai kalungnya.”
Mrs.Henry mengerutkan keningnya yang telah terlihat mulai keriput. “Bandulnya aku jual, untuk membelikanmu ini.” Dia menggeserkan kota rantai jam ke dekat suaminya. Mr.Henry membukanya dan tak kalah terhenyak.
“Aku menjual jam tanganku untuk membelikanmu mata bandul ini.” Mr.Henry tergagap. Tiba-tiba lehernya tercekat. Namun ia tersenyum pada istrinya yang membalas senyumannya.
“Sebaiknya kita segera makan kue-kue lezat ini, dan lupakan tentang kotak hadiah.” Mereka berdua mengambil potongan kue dan tertawa.

28-02-2014
Nufira Stalwart
#9 #MenantangDiri #30HariMenulis

Comments

Popular posts from this blog

REVIEW: Bulan Merah (Kisah Para Pembawa Pesan Rahasia)

SELEMBAR KERTAS

Mengalahkan Diri Sendiri