PERIHAL DUA ORANG LELAKI YANG BUNUH DIRI DARI ATAS MENARA MESJID
Apakah
Saudara pernah mendengar desas-desus mengenai dua lelaki yang bunuh diri dari
atas menara mesjid? Ah tentu saja, Saudara pasti membaca beritanya di koran
beberapa hari yang lalu.
Perihal
dua orang lelaki yang bunuh diri dari atas menara mesjid itu pun telah menjadi
gosip panas di kampung kami. Mereka memang tidak bunuh diri berbarengan.
Awalnya hanya Tarmujo kemudian disusul oleh kawan dekatnya, yaitu Kadir. Mereka berdua adalah marbot di mesjid itu.
Gambar dari sini |
“Bagaimana bisa?” Orang-orang mulai bertanya. Pasalnya, bunuh diri dari menara gedung yang tinggi atau melompat dari menara sutet memang banyak beritanya. Sedang dari menara tempat ibadah? Setan macam apa yang telah merasukinya? Saudara pun pasti bertanya-tanya dan menyesalkan kejadian tersebut.
Tetapi
tidak demikian halnya dengan tokoh kita yang satu ini. Sebut saja namanya Pardi.
Pemuda yang belum bekerja. Usianya masih terbilang muda, sekitar 25 tahun. Mendengar berita perihal dua
orang lelaki yang bunuh diri dari atas menara mesjid yang menggemparkan itu,
terbersit dalam pikirannya untuk melakukan hal yang sama.
Tak
ada yang mengetahui motif Tarmujo dan Kadir untuk melakukan dosa yang tak akan
diampuni Tuhan tersebut. Tetapi bagi Pardi, motifnya untuk bunuh diri sudah jelas. Beberapa hari yang
lalu, terjadi perseteruan antara dirinya dengan ayah kandungnya. Apakah Saudara
menjadi saksi mata kejadian itu juga seperti saya? Jika tidak, biar saya
ceritakan kisahnya.
Begini,
semuanya berawal ketika Pardi menerima kabar bahwa perempuan yang dikasihinya
akan menikah dengan pemuda lain, yang tak lain adalah karibnya sendiri. Seketika amarahnya
membuncah. Tangannya dikepal dan meninju meja. Segala benda yang ada di
rumahnya dia lemparkan. Pecahan piring dan gelas berserakan.
Ibu
Pardi berteriak meminta tolong. Tetangga pun berhamburan menuju sumber
keributan. Para lelaki dewasa memegangi Pardi yang masih meronta-ronta
menerjang apapun yang mampu dijangkaunya. Hingga dia tenang dan akhirnya
menangis sesegukan di sudut ruangan. Tetangga pun membubarkan diri.
Belum
berapa lama, keributan kembali terjadi. Kali ini Pardi baku hantam dengan ayahnya yang baru pulang dari pasar. Konon, dia meminta pada ayahnya untuk mencarikan perempuan yang bisa dinikahinya segera. Tak hanya itu, dia pun meminta sejumlah uang untuk biaya
pernikahannya.
Darimana ayahnya mendapatkan uang? Mereka bukanlah orang berada. Baku
hantam pun terjadi setelah sebelumnya mereka adu mulut. Pardi berlari ke luar rumah
ketika melihat ayahnya mengacungkan golok. Warga kampung berdatangan dan
melerai keduanya. Sejak kejadian itu pun Pardi kerap tak ada di rumah dan
numpang tidur di rumah saudaranya yang lain.
Perseteruan
bapak dan anak itu terjadi tak berapa lama sebelum kejadian dua orang lelaki
yang bunuh diri dari atas menara mesjid. Tersebab latar belakang tersebut,
mulailah terbersit di kepala Pardi untuk bunuh diri di tempat yang sama seperti
dua orang sebelumnya. Mengenai ide bunuh diri memang sudah tercetus sejak lama dipikirannya. Tetapi dia masih menimbang dengan cara apa dan di mana. Tak ada alasan pasti kenapa pada akhirnya dia memilih
tempat ini, hanya saja dia merasa tertarik untuk melakukannya.
Maka
pergilah dia menuju mesjid selepas isya. Agar tak akan ada banyak orang
yang lalu lalang. Dia mengintip dari kaca jendela. Sayang sekali ternyata di
mesjid itu masih ada satu orang yang duduk berzikir. Maka Pardi pun menunggu di
suatu tempat tersembunyi, menanti orang itu keluar.
Dia
tidak bisa naik ke menara, karena untuk menuju tangga menara mesjid, dia harus
melewati mimbar imam. Jika ada yang mengetahui dirinya naik ke menara, mungkin
saja orang itu berusaha mencegahnya, dan rencana Pardi pun bisa gagal total.
Dua
jam sudah, Pardi memerhatikan pintu masjid dan belum ada yang keluar. Dia pun
mendekati jendela, memastikan apakah orang itu masih di dalam atau sudah keluar
dan luput dari pandangannya. Ternyata orang itu masih duduk di salah satu
sejadah, belum beranjak sejak dua jam yang lalu dengan tasbih masih tergenggam.
Pardi pun memutuskan untuk pulang dan kembali esok pagi sebelum subuh.
Sebelum
azan subuh berkumandang, Pardi sudah ada di depan pintu mesjid dan melongok ke
jendela. Aman. Lelaki yang semalam duduk di sana sudah tidak ada. Dia
pun melangkah menuju pintu di samping mimbar dan naik ke tangga spiral menuju puncak menara.
Betapa
kagetnya Pardi, ternyata lelaki dengan pakaian yang sama seperti yang
dilihatnya semalam sudah berdiri di puncak menara dan menengadah ke langit.
“Hey,
hentikan!” teriak Pardi. Lelaki itu pun terhenyak. Ternyata lelaki itu
adalah Wawan, tetangganya sendiri, bagaimana mungkin Pardi tidak mengenalinya
sejak semalam.
“Pardi?
Ngapain kamu di sini? Mau bunuh diri?” sentak Wawan yang belum reda
kekagetannya.
Mata Pardi membelalak. Rencananya itu bisa ditebak oleh tetangganya sendiri.
“Bukannya kamu yang mau bunuh diri?” ujar Pardi seraya mengangkat alisnya.
Wawan
mendekati Pardi yang berdiri di ujung tangga tertinggi. “Aku ketiduran di mesjid kemudian bermimpi bertemu
Tarmujo dan Kadir. Mereka memintaku mengambil burung walet yang ada di puncak
menara. Masih kecil dan ditinggal induknya.”
Pardi
mengerutkan kening, “Apakah itu juga yang mereka lakukan di menara kemarin?”
“Ya,
mereka gagal menangkap anak burung walet itu dan akhirnya terjatuh.” Wawan
menunjuk burung walet yang masih terjebak di puncak menara.
“Jadi
mereka tidak benar-benar bunuh diri seperti yang dikatakan orang-orang?” Wawan
mengangguk mendengar pertanyaan Pardi.
“Lagi
pula mereka berdua orang baik, tak mungkin melakukan hal sehina itu.” Pardi
menatap kosong ke puncak menara. Tiba-tiba dia merasa ngeri dan mengurungkan
niat untuk menjatuhkan diri dari menara ini. Pikirnya, Tarmijo dan Kadir
dipanggil Tuhan pun telah memiliki banyak amal baik. Sedang dirinya?
Pardi
pun beranjak menggapai-gapai puncak menara, terlalu tinggi utuk digapai oleh
satu orang. Dia pun mengajak Wawan untuk melakukannya bersama-sama. Salah satu
diantara mereka menggendong yang lainnya.
“Hey!”
dari halaman mesjid terlihat seseorang berdiri dan menyorotkan senter. Pardi
dan Wawan kaget, seketika menghentikan aktivitas mereka. Sedang lelaki
yang berada di halaman mesjid berlari secepat kilat ke arah beduk dan
membunyikannya. Lelaki itu berteriak. "Ada yang mau bunuh diri di menara mesjid!"
Warga
di sekitar masjid berlarian ke luar. Berteriak menyuruh mereka turun sambil
mengucap istigfar berkali-kali. Ada juga yang berbisik-bisik.
“Ada
lagi yang mau bunuh diri?”
“Kali
ini dua orang sekaligus!”
“Dasar
orang-orang kurang iman!”
Warga
masih berdatangan, mereka panik, dan tak henti-hentinya berteriak. Sedang dua
orang di atas menara masih terpaku. Tak tahu harus berbuat apa.
*Bunuh Diri dari Atas
Mesjid dengan tokoh Tarmujo dan Kadir diambil dari cerpen Utomo Priyambodo yang
dimuat di PR hari Minggu 2 Februari 2014
21-02-2014
#5 #MenantangDiri
#30HariMenulis
Nufira Stalwart
Comments
Post a Comment