KUE UNTUK IDA
“Harganya
mahal!” bentak bocah lelaki kepada adiknya.
Bocah
perempuan merengut. “Ida cuman mau liat gambarnya.”
“Bohong!
Kamu mau kan? Kalo kita diem lama di sana, dikiranya kita mau nyuri, Da!” Sentak bocah lelaki dengan nada tinggi.
“Ida
gak akan nyuri!” mata bocah perempuan itu membulat. Ada amarah dalam nada
bicaranya. Ida kemudian berlari meninggalkan bocah lelaki yang terpaku di
pinggir jalan.
Nama
bocah lelaki itu Pian. Usianya belum genap sepuluh tahun. Dia mengenakan baju yang kebesaran. Noda tanah tercetak di bagian punggung bagian atas dan pinggangnya,
karena dia tidur di mana saja.
Gambar dari sini |
Pada
pagi hari, disaat bocah lain seusianya sedang sekolah atau bermain. Dia harus
menyusuri selokan yang membentang sepanjang jalanan pemukiman untuk mencari
paku bekas.
Kadang-kadang
dia ditemani adik perempuannya, Ida. Pian menyadari, setiap kali berjalan
pulang. Langkah Ida tiba-tiba lambat ketika melewati sebuah toko kue. Pian
sering memergoki Ida memandang lama salah satu pojok etalase, diantara banyak
kue yang dipajang.
Seperti
sore itu, untuk kesekian kalinya, Ida berhenti sejenak di depan toko. Kali ini
Pian merasa jengah dengan sikap adiknya. Alhasil, seperti tebakannya. Ida pasti
marah.
Pian
mengejar adiknya yang berlari beberapa meter di depannya. Dia bisa lari lebih
cepat, tetapi tak dilakukannya. Adiknya sedang marah. Lagipula, ada hal lain
yang dipikirkannya.
Beberapa
hari setelah itu Ida tak menemani Pian mencari paku. Maka dia seorang diri
mengorek-orek selokan dengan sepotong kayu tergenggam di tangan kananya. Ujung
dari kayu tersebut dipasang magnet yang akan menangkap paku di selokan. Sedang
tangan kirinya memegang karung kecil berisi paku yang dia dapatkan.
Satu
kilogram paku dijualnya dengan harga dua ribu rupiah. Jika sehari dia mendapatkan
lima kilo, dia akan mendapatkan uang sepuluh ribu. Biasanya dia menyerahkan
seluruh pendapatannya kepada ibunya. Kali ini dia memiliki ide lain. Dia akan
mengambil beberapa ribu saja dari penghasilannya. Kemudian dia tabungkan agar bisa membeli kue untuk Ida. Ida pasti senang dan berhenti marah padanya.
“Cuman
segini?” Ibu Pian membeberkan selembar lima ribuan dan selembar dua
ribuan.
Pian
hanya menunduk. Biasanya dia selalu bisa menyetorkan sepuluh ribu setiap hari pada
ibunya. Kali ini dia menguranginya untuk ditabung. Sesuai dengan rencananya
untuk membelikan Ida kue.
“Jangan
pulang kalo belum dapet uang sepuluh ribu!” Ancaman ibunya membuat hati Pian
ciut. Berbagai strategi dipikirkannya agar mendapatkan paku lebih dari lima kilo setiap harinya.
Maka
keesokan harinya bocah itu berangkat lebih pagi, dia menyusuri selokan di
pemukiman lain. Tak terpancar rasa jijik dari wajahnya saat mengorek dasar selokan.
Bau busuk sampah telah menjadi teman sehari-harinya. Terlebih mereka tinggal di
sebuah rumah kardus tepat di samping tempat pembuangan sampah sementara.
Rasa
lelah tak digubrisnya. Sering kali dia melanjutkan mencari paku bahkan saat
hujan turun. Keinginan membelikan adiknya kue membuat dia abai dengan
keletihannya. Setidaknya enam kilo paku harus dia dapatkan. Namun sampai hari
mulai gelap, seringkali dia hanya memperoleh uang pas untuk dia setorkan pada
ibunya.
Butuh
lebih dari seminggu agar dia bisa mengumpukan uang sepuluh ribu. Sedang selama
itu, Ida masih saja tak mau menemaninya mencari paku, bahkan Ida tak mau
mengajaknya berbicara. Bocah perempuan dengan usia tiga tahun lebih muda dari
Pian itu, lebih sering sibuk membantu menyortir sampah yang didapatkan ayah
mereka.
Dengan
mengantongi uang sepuluh ribu rupiah, Pian pergi ke toko kue. Dia menanyakan
harga kue di salah satu sudut etalase. Ternyata masih kurang lima ribu agar
Pian dapat membelikan Ida kue berbentuk mangkuk itu.
Pian
pulang dengan hati sedih. Artinya butuh waktu beberapa hari lagi agar dia bisa
membeli kue itu. Hatinya lebih kecut ketika dia sampai di rumah kardusnya dan
melihat Ida masih cemberut. Kali ini Pian mengajaknya berbicara.
“Aku
mau ngasih kamu kue itu.” Bisiknya ke dekat telinga Ida. Sengaja dia pelankan
suaranya, takut ibunya akan mengetahui rencananya.
“Nyuri
kuenya?” tanya Ida, dengan suara tinggi karena kaget. Refleks, Pian membungkam
mulut adiknya. Menengok kanan kiri.
“Beli!”
ujar Pian sambil memperlihatkan uang tabungannya dari saku celana. Mata Ida
membelalak melihat kakak lelakinya memiliki beberapa uang lembaran dan logam.
“Besok,
bantu aku nyari paku. Uangnya masih kurang!” tambah Pian. Membuat Ida
kegirangan. Esoknya mereka kembali mencari paku bersama-sama. Dari pagi hingga
siang. Pulang sebentar kemudian kembali mencari paku hingga sore. Tak peduli
setiap hari hujan turun.
Dalam
waktu dua hari, uang tabungan Pian telah genap lima belas ribu. Mereka pun bersama-sama
ke toko kue untuk membeli kue keinginan Ida. Tangan Ida menyambar bungkusan kue yang diserahkan penjualnya. Pian menyerahkan uangnya sambil tertawa kecil melihat tingkah adiknya.
Mereka pun beranjak dari toko itu, mencari tempat yang nyaman untuk memakan kue itu bersama-sama. Ida telah sepakat akan membaginya dengan Pian. Toko kue masih terlihat di belakang mereka ketika hujan mulai turun. Mereka pun setengah berlari mencari tempat berlindung.
Mereka pun beranjak dari toko itu, mencari tempat yang nyaman untuk memakan kue itu bersama-sama. Ida telah sepakat akan membaginya dengan Pian. Toko kue masih terlihat di belakang mereka ketika hujan mulai turun. Mereka pun setengah berlari mencari tempat berlindung.
“Biar
aku yang bawa kuenya.” Ujar Pian ditengah hujan. Meraih bungkusan kue dalam
dekapan Ida. Namun Ida menolaknya, ia berlari mendahului Pian. Jalanan licin
karena air hujan, Ida tidak hati-hati dan dia terpeleset. Bungkusan kue terlepas
dari genggamannya dan terpelanting masuk ke dalam selokan di pinggir jalan.
Kue seharga
lima belas ribu itu terbawa arus selokan yang cepat. Meninggalkan kakak beradik
yang melongo melihat bungkusan itu semakin menjauh.
23-02-2014
Nufira Stalwart
#5 #MenantangDiri
#30HariMenulis
Comments
Post a Comment