SADRAH

 Sudah lewat magrib, ketika lelaki itu mengetuk pintu rumah kelarga Rukmana. Lelaki yang diramalkan ayahnya akan datang ke sini, cepat atau lambat. Lelaki yang menghilang dua puluh tahun lalu, tepat lima menit setelah dia dilahirkan.
Baiknya kuceritakan terlebih dahulu kejadian dua puluh tahun silam. Kejadian yang menggemparkan keluarga Rukmana sekaligus mereka rahasiakan dari para tetangga dan orang kampung. Semenit setelah istri Hadiana, ipar dari Rukmana melahirkan sepasang bayi kembar, bidan yang membantu persalinannya tergopoh menghampiri Hadiana.
Gambar dari sini
“Anakmu kembar, tetapi yang laki-laki menghilang.”

Hadiana yang menunggu di ruang tengah langsung masuk ke kamar dimana istrinya terbaring lemah dengan lumuran darah di daerah selangkangannya. Seorang bayi perempuan berbaring dialasi beberapa lapis kain sarung di samping jolang yang airnya telah bercampur darah bekas memandikan bayi.
“Anak lelakimu kubaringkan di sini. Saat aku beres memandikan yang perempuan, yang lelaki menghilang.” Bisik bidan itu dengan suara gemetar. Setelah menghilangnya bayi laki-laki, mereka kembali dikagetkan dengan suara bayi perempuan yang tidak menangis sebagaimana bayi pada umumnya. Bayi perempuan itu berteriak, “Emaaak!” di sela-sela tangisnya.
Rukmana tidak heran melihat kejadian ini. Karena adiknya itu memang sudah terbiasa berhubungan dengan makhluk halus. Kesenangannya menuntut ilmu tentang hal-hal gaib membuat dia harus pergi ke tempat-tempat jauh meninggalkan keluarga bahkan enggan menikah. Di penghujung usia empat puluh akhirnya dia bertemu perempuan yang kini menjadi istrinya. Perempuan janda yang telah memiliki anak  beranjak remaja.
Maka, Rukmana yang saat itu sedang berada di rumah Hadiana tak bisa menahan diri untuk tak berbisik kepada istrinya yang duduk di ruang tengah. “Mungkin anaknya diculik jin.”
“Hush! Ngaco!” Melihat istrinya melotot, Rukmana pun diam, tetapi pikirannya tentu saja tidak. Dia mereka-reka beragam kemungkinan yang terjadi pada keponakan mereka yang menghilang.
Selain keanehan menghilangnya anak lelaki mereka, anak perempuannya pun tumbuh dengan beragam keunikan. Di usianya yang belum beranjak dua tahun, dia masih minum ASI ibunya dan tak pernah rewel minta susu kalengan, kecuali pada malam wedalnya, yaitu selasa malam. Semalaman dia tak akan tidur, dan tak berhenti menangis jika tak disediakan segelas susu formula serta setoples kecil biskuit.
Rukmana yang mendengar cerita itu dari adiknya kembali berbisik pada istrinya, “Barangkali si anak lelaki selalu kembali di malam wedalnya.” Dan seperti biasa, istrinya akan melotot, mengatai Rukmana macam-macam, tahayul lah, parno lah dan sebagainya. Bahkan istri Rukmana masih saja berpendapat bahwa bidan itu telah salah melihat, atau ada yang menculik, tentunya bukan makhluk gaib, atau memang istri adik mereka tidak benar-benar melahirkan anak kembar. Sekalipun istri Rukmana pernah bertanya langsung pada istri Hadiana.
“Kamu beneran ngelahirin kembar?”
“Iya, Ceu. Saya ngerasa ada dua bayi yang keluar. Bidan juga langsung bilang bayiku kembar.” Istri Rukmana tak kunjung percaya. Dia masih menganggap tak pernah ada bayi laki-laki.
Keanehan dari anak perempuan Hadiana semakin menjadi di usianya yang semakin berkembang. Dia kerap berbincang dan asik bermain dengan, entah dengan siapa. Rukmana menyangka, sejak kecil anak perempuan itu sudah berbincang dengan makhluk halus.
Rumah keluarga Hadiana memang berada di pinggir kebun tempat pembuangan, bukan hanya sampah untuk dibakar, tetapi juga pembuangan makhluk halus. Yang memindahkan berbagai makhluk halus dari tempat lain ke kebun itu tak lain adalah adik Rukmana sendiri. Pikirnya mungkin akan lebih aman dan mudah dia kendalikan.
Mari lupakan tentang keanehan anak perempuan mereka. Ada hal yang lebih penting, hal yang bersangkutan dengan Rukmana. Beberapa hari setelah istri Hadiana itu melahirkan anak kembar dan anak lelaki mereka menghilang, Hadiana mengunjungi rumah Rukmana yang berada di kota. 
Awal akhir, manehna bakal datang kadieu. Omat, kahayang manehna kudu dicumponan."[1]
“Jadi benar anak lelaki itu memang ada dan diculik jin?” Adiknya pun tak memberikan jawaban atas pertanyaan Rukmana. Hadiana hanya mewanti-wanti tentang kedatangannya.
Anak perempuan Hadiana tumbuh dan beranjak dewasa dengan segala keanehan yang dimilikinya. Kebiasaan berbicara dan asik bermain seorang diri masih melekat dalam kesehariannya.
Hal gaib apa yang dia lihat juga mampu dilihat ayahnya, Hadiana. Jadilah mereka anak beranak saling berbincang tentang hal yang tak dipahami anggota keluarga lain. Istri Hadiana maklum, ini resiko yang harus diterimanya karena menikah dengan lelaki yang menggemari hal-hal berbau gaib.
Rukmana sering membincangkan pesan adiknya bertahun-tahun lalu itu pada istrinya. Bahwa anak lelaki yang menghilang itu akan kembali. Istrinya telah berhenti menuduh Rukmana tahayul seperti yang sering dilontarkannya tiap kali Rukmana menyebut-nyebut anak lelaki itu.
“Dia sering datang ke mimpi saya, Kang.” Ujar istri Rukmana di suatu hari selepas mereka salat magrib. Pandangannya mengawang ke luar jendela ruang tamu mereka yang gordennya setikit terkuak.
“Datang ke mimpi bagaimana?” Rukmana terhenyak di sofa ruang tamu. Menyelidik ke wajah istrinya yang beberapa bulan terakhir memang sering memandang kosong ke halaman rumah. Terutama saat anak perempuan mereka yang masih berusia SD tak ada di rumah. Atau bermain di halaman.
“Di mimpi saya, dia suka berubah menjadi ular dan melilit tubuh anak kita.”
“Jangan bercanda! Berapa kali kamu memimpikannya? Bagaimana kamu tahu itu adalah anak Hadian?” Mereka kini saling tatap. Ada yang berdesir di dada Rukmana. Setengah tak percaya dengan kata-kata istrinya.
“Hati saya mengatakan itu anak mereka. Anak lelaki yang hilang lima menit setelah dilahirkan.” Rukmana terkesiap, bukankah selama ini istrinya menolak asumsi itu. “Cepat atau lambat dia akan datang ke sini, mencelakakan anak kita, Kang.”
“Tetapi tidak seperti itu pesan Hadiana. Dia mewanti-wanti, apapun keinginanya harus dilaksanakan.” Belum sempat istri Rukmana menyela perkataan suaminya. Terdengar ketukan di pintu depan. Rukmana segera membukanya.
Seorang lelaki berusia dua puluhan berdiri dengan kemeja lusuh, ransel tersampir di pundaknya. Dengan wajah oval dan bersih. Dia tersenyum dan dengan sopan berkata, “Saya kemalaman di jalan, boleh ikut nginap?”
Rukmana disusul istrinya memandangi wajah anak lelaki itu, mereka merasa familiar dengan wajah itu, wajah menyenangkan dengan sorot mata penuh rasa ingin tahu. Raut wajah Hadiana saat remaja. Sepasang suami istri yang mematung di depan pintu itu saling menatap, sadrah.


19-02-2014
Nufira Stalwart
#3 #MenantangDiri #30HariMenulis


[1] Cepat atau lambat dia akan datang ke sini. Ingat, keinginannya harus dilaksanakan!

Comments

Popular posts from this blog

Yang Terbaik Bagimu* (Puisi untuk Ayah)

5 Upaya agar Bisa Konsisten Ngeblog

Menulis sebagai Passion, Pekerjaan atau Hobi?

Hanya Isyarat [Rectoverso]

Dapet Kerjaan Gara-gara Ngeblog

Belajar tentang Gaya Hidup Minimalis dari 5 Youtubers Ini