MATA SEMERAH DARAH
Orang bilang, ada Tuhan di titik-titik air
hujan yang turun ke bumi. Aku tak pernah mempercayai kebenarannya. Kecuali kali ini aku mencoba petuah ini. Meminta sesuatu yang barangkali telah mustahil bagiku.
Bukan, bukan agar leherku yang telah koyak ini
kembali utuh dan aku hidup lagi. Aku hanya meminta agar anak gadisku kembali.
Bukan pula agar permintaan maafku diterimanya. Aku bahkan berharap dia melupakan
bahwa aku adalah ayahnya.
Gambar diambil dari sini |
Perseteruanku dengan lelaki muda itu hanya
berlangsung sesingkat terbitnya mentari pagi. Sedang hubungan kami telah
terjalin bertahun-tahun. Bahkan sejak dia masih menjadi bocah ingusan.
Anak lelaki itu bernama Jatmiko. Dia rela
memangkas waktu bermain untuk membantu ibunya menggarap sawah. Mencari
rumput untuk kambing milik tetangga yang dipercayakan diurus olehnya. Termasuk
kambing milikku.
Aku kerap membawa dia ke hutan saat waktunya menebang
pohon. Aku menggarap usaha penjualan kayu. Dan aku membutuhkan banyak tenaga
untuk usahaku ini. Salah satunya meminta bocah ini untuk mengangkut kayu dari
hutan ke gudang.
Pekerjaan itu berlangsung hingga bocah berkulit
hitam dan rambut bau matahari itu beranjak remaja bahkan dewasa. Tidak seperti
pemuda lain yang pergi ke kota untuk mencari pekerjaan sebagai buruh pabrik
atau pekerja bangunan. Jatmiko betah menggembala kambing dan bermandi lumpur
di sawah serta sesekali memanggul kayu milikku.
Aku membutuhkan lelaki muda untuk usahaku. Sedang
di kampung ini yang tersisa hanya dia. Selebihnya memilih berleha-leha, menjadi
biang keributan gara-gara berebut perempuan atau minum miras murahan.
Barangkali lelaki muda itu pun pernah melakukannya. Tetapi demi menghidupi
perempuan janda dan adiknya yang masih sekolah itu dia memilih menjadi pekerja
serabutan.
Ayah lelaki muda itu telah lama meninggal. Maka
aku pun selalu ingin memberikannya sentuhan sebagai seorang bapak. Lagi pula,
istriku telah enggan melahirkan kembali setelah anak kedua kami lahir,
menggenapkan jumlah anakku yang keduanya perempuan.
Aku menyesali hubungan anak bapak yang kubangun
bertahun-tahun ini berujung kengerian. Di pagi itu, saat aku baru saja akan
berangkat ke gudang dan dia mencari rumput untuk kambing-kambingnya. Tangan
kanannya memegang arit. Sedang karung untuk rumput tersampir di pundaknya. Kami berpapasan
di pematang sawah.
Aku memang mencarinya sejak kemarin. Sejak anak cikalku meminta
untuk menemui lelaki muda itu. Aku mulai memahami bahwa anak gadisku itu
menaruh hati pada Jatmiko. Barangkali orang lain akan menganggap bahwa ini
adalah awal mula perseteruan kami. Anak gadisku calon bidan di kampung ini,
dan pemuda itu, semua orang juga tahu dia siapa. Mana pantas bersanding dengan anak gadisku.
“Nanti
malam, datanglah ke rumahku!” Aku menuturkan tujuanku tanpa babibu.
“Aku ingin menuntaskan urusanku sekarang.”
Ucapnya. Membuatku keheranan. Ada sesuatu yang ganjil di dalam sorot matanya.
Aku hanya tersenyum sinis.
Aku tak pernah tahu bahwa di pematang sawah
inilah, nyawaku akan dihabisinya. Bahwa mata merah itu yang terakhir kulihat
sebelum semuanya gelap. Dan urat leherku putus ditebas arit miliknya.
***
Laras adalah
putri pertama kami. Sejak sekolah dasar, dia selalu meraih prestasi yang
membuat kami bangga. Istriku selalu mengklaim bahwa kecerdasan Laras berasal
dari gen yang diturunkan olehnya. Ahh tapi lihatlah paras cantiknya, mata
bulat, hidung mencuat dan kulit seputih mutiara, tentu saja aku yang menurunkan
gen itu padanya.
Kebanggaanku
padanya berubah menjadi kekecewaan, ketika dia mulai dekat dengan seorang
pemuda di kampung ini, Jatmiko. Tidak bisakah dia memilih yang lebih pantas?
Ada banyak lelaki di desa ini yang bekerja di kota. Atau tidakkah dia memiliki
kawan lelaki di perguruan tinggi tempat dia belajar?
Aku tak pernah
melarang dia berkawan dengan siapapun. Tetapi untuk urusan yang lebih serius,
kenapa harus pemuda itu? Aku jelas melarangnya. Dan telah dua hari dia kabur
dari rumah. Pasti pemuda itu mengetahui keberadaannya.
Itulah yang
hendak kubicarakan padanya. Alasan kenapa aku harus mencarinya segera. Dan di
sinilah, di pematang sawah yang luasnya hanya cukup untuk dua orang berpapasan
ini, kami bertemu. Kemudian dia menggorok leherku, seperti yang kuceritakan di
awal.
“Aku mengetahui
sebuah kebenaran yang kau sembunyikan bertahun-tahun.” Ujar Jatmiko, tentu
sebelum kejadian dia menggorok leherku.
“Kebenaran
apa?” tanyaku, menyelidik ke dalam matanya yang bening dan tenang. Gerimis
turun tipis-tipis menghujani tubuh kami yang berjarak tak lebih dari satu
meter.
“Kebenaran
bahwa aku anakmu, kau menghamili ibuku 25 tahun lalu.” Suaranya masih tenang,
sedang dadaku mulai berdebum. Saat ini telah tiba, aku yakin cepat atau lambat,
rahasia ini bakal terkuak.
“Aku sudah
memperlakukanmu dengan baik selama ini.” Ujarku, sambil berpaling dari sorot
matanya. Sorot mata yang sama dengan perempuan yang membuatku tergoda puluhan
tahun silam. “Bukankah kau mencintai anakku?”
“Yah, memang.
Tetapi sejak awal aku telah menolaknya.”
“Seharusnya dia
tak pernah jatuh cinta padamu. Apakah ini pula alasan kenapa dia kabur beberapa
hari ini?” Jatmiko tak menghiraukan pertanyaan lelaki di hadapannya.
“Aku tak
meminta diakui sebagai seorang anak, tetapi nikahilah ibuku yang kini janda.
Tebuslah kesalahanmu dengan membahagiakannya.” Mata itu masih tajam menyorotku.
“Mungkin ibumu
mencintaiku, sedang aku tidak. Lagipula kejadian dua puluh lima tahun silam itu
hanya kecelakaan.” Kulihat gigi pemuda itu gemelutuk menahan amarah. Dan entah
kapan, arit ditangannya mengacung membelah hujan untuk kemudian mendarat di leherku, sekali tebasan
mengoyak urat nadiku. Kulihat matanya yang bening berubah merah, semerah darah
yang menghambur dari leherku.
18-02-2014
Nufira Stalwart
#2 #MenantangDiri #30HariMenulis
Comments
Post a Comment