KEMELUT HATI ENDAH

 Kejam dan tak pernah sekalipun memberi kesempatan untuk berbahagia. Itulah yang dipahami Endah tentang kehidupan. Lima tahun terlantar di jalanan telah membuat dia kenyang dengan beragam derita. Mulai dari penghinaan, cibiran, caci maki terhadap pekerjaannya. Disaat yang sama, pekerjaan itu tak pernah memberikannya penghidupan yang layak.
Dengan suara pas-pasan, alat musik seadanya, Endah mencoba menghibur penumpang di angkutan umum. Sekalipun dia memakai polesan make up tebal, dan kerudung ala hijaber, semua orang tahu bahwa dia bukan seorang perempuan tulen. Orang-orang menyebutnya banci, sekalipun dia lebih senang disebut transgender.
Gambar dari sini

Jilbab, jilbab putih, lambang kesucian...” belum selesai lagu itu ia dendangkan. Peluit panjang bersahutan, ditiup oleh petugas polisi yang berhamburan. Mengejar para waria yang kerap mangkal di lampu merah itu. Endah menjerit, berusaha lari ke trotoar. Rok ketat yang dikenakannya, diangkatnya selutut, sekalipun tak membuat larinya lebih cepat. Dengan mudah dia tertangkap dan diangkut ke dalam mobil oleh petugas keamanan lalu lintas.
“Gue berhasil! Lu gimana jeng?” dia mengirim pesan pada salah satu nomor kontak di handphonenya. Ada sesungging senyum di bibirnya saat mobil petugas selesai merazia dan melaju meninggalkan lampu merah. Tiba-tiba dia melupakan tawaran bekerja di pabrik yang beberapa hari ini menghantuinya.
Ada banyak waria lain yang tertangkap malam itu. Sebagian besar dari mereka meronta-ronta, menolak untuk diurus ke kantor polisi. Selebihnya hanya menurut pasrah. Seperti halnya Endah yang malah senang dirinya tertangkap petugas.
Lima tahun sudah berlalu sejak awal kedatangannya di kota ini. Tanpa bekal ijazah, hanya uang yang tak seberapa. Semua bermula saat kawannya mengajak dia bekerja di salon. Endah tak bertahan lama di salon itu, karena niat dia ke kota adalah mencari pekerjaan yang halal. Bukan menjual diri. Yah, itulah tuntutan pekerjaan lain di salon itu.
Turun ke jalan menjadi pengamen bukanlah keinginannya. Tetapi ini lebih baik daripada menjadi pekerja seks, pikirnya.
“Kalo punya kemampuan dan uang, orang-orang kaya kita ini bisa buka salon. Kalo gak yah ngamen.” Ujar Sutisna yang lebih dikenal dengan nama Siska, salah satu teman Endah sesama waria yang mencari duit lewat ngamen.  Mereka duduk di sebuah bangku, pada suatu malam. Para waria kerap ngumpul dan berbincang pada malam hari, sekedar melepas lelah setelah seharian bekerja.
Sedang kawannya yang pertama kali mengajak dia ke kota untuk bekerja di salon, masih bertahan di sana. Kehidupannya memang lebih baik. Selalu tampil mentereng dengan gadget mahal.
“Kalo harus ngejual diri, ih amit-amit!” tambah Siska lagi. “Gini-gini juga eke masih punya iman bo!” Siska membetulkan bulu mata palsunya yang nyaris copot karena tersibak angin.
“Kalo lu punya modal, apa yang bakal dilakuin?” ujar Endah yang telah melepas pashmina putih bunga-bunga pink yang biasa dia pakai saat ngamen.
“Ya buka salon lah.”
“Emang lu bisa?”
“Ya, kursus dulu ke! Ah gua punya ide!” Ujar Siska dengan mata mengerling pada Endah yang duduk di sampingnya. Endah mendengarkan dengan antusias. Mereka pun menghabiskan malam membincangkan rencana mereka untuk mendapatkan modal untuk usaha. Sukur-sukur ada yang mau memberikan pelatihan.
Endah mulai jengah dengan kehidupannya, penghasilan tiga puluh ribu sehari tak cukup memenuhi kebutuhannya. Uang segitu biasanya dia alokasikan untuk membayar preman lima ribu, makan lima belas ribu, sisanya untuk keperluan seperti make up dan pakaian. Bertahun-tahun hidup seperti ini tak akan membawanya kemana-mana.
Terlebih saat peraturan yang melarang warga untuk memberi uang kepada pengamen. Penghasilnya surut drastis, bahkan untuk makan pun tak cukup. Maka malam itu, seperti yang direncanakan, Endah berhasil tertangkap petugas keamanan. Begitu juga dengan Siska. Mereka diangkut ke kantor polisi dengan kendaraan yang berbeda.
Introgasi dilakukan sekedar formalitas. Bertanya alamat asal dan kegiatan mereka. Tidak seperti waria yang lain, Endah dan Siska terlihat sumringah. Sejauh ini rencana mereka berjalan lancar. Tinggal satu tahap lagi. Tujuan mereka adalah dikirim ke kantor dinas sosial.
Keesokan harinya, setelah semalaman menginap di kantor polisi. Endah kembali ke kontrakannya. Membanting pintu dan melepas paksa kerudungnya. Dia menggosokan punggung tangan pada bibirnya yang dipoles lipstik merah. Bulu mata palsu dia lepas, ada cairan bening meluncur dari pipinya.
Endah bergegas ke kamar mandi. Membersihkan dirinya secepat mungkin. Kemudian mengorek-orek dus pakaiannya yang paling bawah. Mencari sesuatu yang dia benci. Sebuah kemeja dan celana bahan. Dia menemukan KTP di saku celana itu. Endang Komara. Jenis kelamin: Laki-laki.
Secepat kilat dia memakai pakaian itu. Dan mematut diri di depan cermin. Rambutnya disisir rapi. Melangkah keluar dari pintu kontrakan.
Sepanjang jalan dia mengingat rencananya bersama Siska. Mereka pasrah saat ditangkap, ini adalah kali ketiga mereka ditangkap polisi. Harapan mereka, polisi akan menyerahkan pada dinas sosial. Agar mereka diberikan pelatihan keterampilan. Atau sekedar uang untuk modal usaha. Biar mereka tak lagi meresahkan masyarakat dan memiliki kehidupan yang lebih baik tanpa harus melepas identitas.
Yah, melepas identitas mereka sebagai transgender dan bekerja dengan status seperti yang tertera di KTP adalah pilihan terakhir dan terburuk  yang harus Endah ambil. Jika dia tak ingin hidupnya begini-begini saja.
Endah sampai di depan gerbang pabrik. Mereka sedang membuka lowongan untuk pekerja yang tak berbekal ijazah. Persyaratannya hanya tenaga dan tanggung jawab. Bibirnya masih bergumam tentang kejamnya kehidupan yang tak memberikannya kesempatan untuk berbahagia sebagai dirinya. Memaksa dia menjadi orang lain, hanya untuk mendapat sesuap nasi.

25-02-2014
Nufira Stalwart
#7 #MenantangDiri #30HariMenulis

Comments

Popular posts from this blog

REVIEW: Bulan Merah (Kisah Para Pembawa Pesan Rahasia)

SELEMBAR KERTAS

Mengalahkan Diri Sendiri